Dari kejauhan, dermaga Pulau Sebesi tampak manarik. Saya pikir saya
akan mendapati satu resort yang eksklusif semacam di Maldives (:P). Namun
setelah mendekat, ternyata tidak lebih baik ketimbang dermaga Canti, Lampung.
Rupanya banyak peserta lain yang berpikiran sama :D
Video perjalanan ke Krakatau.
Produksi "visual storyteller" Kompas.com
Produksi "visual storyteller" Kompas.com
Tadinya juga saya pikir bisa mendapati pasar suvenir seperti di Pangandaran, dengan harapan bisa membeli kaos bertuliskan Pulau Sebesi. Aiih tapi ternyata Sebesi hanya sekadar pulau yang cukup besar, mengandung sumber air tawar sehingga layak dihuni manusia, serta memuat satu gunung api yang sudah tidak aktif. Jika dilihat dari kejauhan, gunung ini hampir tiga per empat menguasai daratan P.Sebesi. Atau bisa jadi Sebesi memang pulau gunungapi seperti halnya gunung Krakatau.
Kenyataannya, jangankan disambut dermaga mewah, gerbang ala gapura Agustusan bertuliskan
“Selamat Datang di Pulau Sebesi” pun tak ada; kecuali selembar spanduk plastik
bertulisan sama dalam bahasa Inggris yang dibentangkan di plang. Sepertinya
plang bekas iklan.
Di bawah plang tersebut terdapat satu warung. Saya sempat memesan
kopi instan panas seharga Rp 4000 di warung ini; sejak berangkat dari Bandung saya belum bertemu lagi minuman panas. Di sini juga kami dibagi homestay. Jujur, saya agak cemas; tapi dalam hati saya berharap semoga minimal kamar mandinya bersih.
Dermaga Canti, Kalianda, Lampung, Sumatera Barat |
Prasangka buruk saya ihwal tempat menginap di pulau rada terpencil ini,
terbantahkan. Meskipun terkadang ada ayam masuk rumah, namun rumahnya bersih.
Di ruang depan dihamparkan kasur-kasur berseprei, beraroma baru dicuci. Dengan begitu, syarat
untuk molor orang kota yang manja, terpenuhi.
Kamar mandinya luas. Sebagai yang dibesarkan dengan gaya kamar mandi tradisional Indonesia; ada bak dan toilet jongkok, hanya satu yang penting: BERSIH! Di tengah kamar mandi ini ada sumur sebagai
sumber air tawar. Keberadaan sumur ini agak horor juga di malam hari; berharap tak ada Sadako di dalamnya. Sepulang dari Krakatau, saya sempat nekat kembali ke homestay ini hanya untuk mendapati
kamar mandi yang lega dan bersih (tapi ternyata: wakwaw!! :D ikuti terus
ceritanya).
Dengan kondisi seperti tersebut, saya berani merekomendasikan rumah milik Ibu Supiani (hmm…sepertinya
namanya tidak tepat demikian) ini kepada orang lain yang berniat bermalam di Sebesi. Hanya saja listrik tidak menyala di siang hari. Bagi yang tidak membawa power bank, gawat juga. Padahal batere kamera saya waktu itu sudah
menguning. Bisa mewek saya kalau pulang tak membawa bukti dari kamera saya sendiri bahwa sudah pernah mendarat di
Krakatau.
Pintu masuk ke Pulau Sebesi yang... kumuh. |
Menurut Supiani, dia sempat harus meyakinkan suaminya yang sempat tak setuju rumahnya dijadikan homestay. Sebelum rumahnya menjadi salah satu yang bisa dijadikan homestay, si agen mengajukan sejumlah standar yang harus dipenuhi: tentu saja salah satunya soal kebersihan. Dan itu berhasil.
Wanita yang usianya saya duga tak jauh dari saya ini mengungkapkan,
rumahnya disewa semalam Rp 200 ribu. Uang itu masuk kantong agennya lebih dulu.
Dengan upaya Supiani menata rumahnya untuk menyambut kami, tarif itu terasa terlalu murah.
Maka kami pun bersepakat udunan memberi uang tambahan untuknya. Apalagi setibanya
kami di homsetay, Supiani menyuguhi
kami pisang goreng dan bala-bala.
Sebenarnya kami tak sempat bermalam karena panitia menjadwalkan pukul dua dini hari adalah waktunya
melaut ke Krakatau, sekaligus pamit dari Sebesi. Namun saya sempat memanfaatkan kasur-kasur yang digelar untuk tidur
sepulang dari “berburu sunset yang gagal”, dan melelahkan pula.
Ihwal berburu sunset ini, semula konsep yang saya dengar adalah dengan
naik kapal ke tengah laut. Tapi ternyata ada perubahan, yakni dengan semi
“cross country”. Saya pikir, lokasi nonton sunset ini hanya berjarak 100-200
meter, tapi.......1-2-3-4-5 kilometer… masih juga belum sampai. Desas-desus yang
beredar setelah sampai di Bandung, kami berjalan hampir 12 kilometer! Walaaaah…
Hampir semua peserta tidak siap: banyak yang tidak membawa minum
padahal hausnya bukan kepalang. Saking tak sampai-sampainya, saya dan teman
dari grup homestay 3, mengikuti saran seorang warga untuk numpang “commuter
line” berupa dua mobil pick-up.
Sampai berganti dua pick-up, lokasi untuk menonton sunset masih juga belum telihat. Sebelum kedua pick-up ini pergi, kami minta si supir untuk menjemput
kami di lokasi terakhir kami turun.
Di depan "homestay" bersama nyonya rumah. Entah kenapa semua merem. |
Akan tetapi teras karang di Gubuk Seng merupakan fenomena alam yang tidak biasa juga, maka kami pun berfoto-foto. Kami tak mendapat pengetahuan bahwa air pasang akan terjadi.
Ketika kami semua baru saja kembali ke sisi terdalam pantai untuk pulang, air laut tiba-tiba meninggi dan menghempas garang ke
posisi dimana sempat bertebaran. Fiuhhh… keputusan yang pas! Allah swt masih melindungi
kami.
Syukurlah komunikasi terjalin baik dengan para supir pick-up. Hanya
sekitar 1 km bejalan kaki dari Gubuk Seng, waktu itu suasana sudah gelap, kedua pick-up sudah
menunggu di tikungan. Alhamduillah. Di tengah perjalanan, muncul obrolan ihwal
cara warga mengangkut kedua pick-up tersebut ke Sebesi.
Sudah pasti bukan “Hercules” yang mengangkutnya. Seperti halnya sepeda
motor yang ikut menumpang salah satu kapal kami ke Sebesi, kedua pick-up ini
tampaknya juga diangkut dengan cara sama.
Kedua pick-up ini memang wara-wiri di jalur “mengejar sunset”
tersebut, karena keduanya dipakai mengangkut hasil panen cokelat. Warga Sebesi
memang mengandalkan salah satu penghasilannya dari menanam cokelat dibanding
hasil laut. Tanaman cokelat tak hanya tampak di sepanjang jalur hingga Gubuk Seng, melainkan juga di sekitar homestay.
Sepulang mengejar sunset yang
gagal, saya menyempatkan mandi lagi karena pakaian yang basah oleh keringat. Saya melewatkan acara makan malam, juga acara
barbekyuan (entah apa yang dibakar, mungkin ikan yang dibeli di Jawa, hehe...) karena saya memilih tidur.
Ketika terbangun sekitar pukul 12 malam, rumah gelap gulita. Ah ya, pasokan
listrik diputus, karena saya melihat Supiani memasang lampu tenaga surya.
Untung batere hp dan kamera saya sudah penuh.
![]() |
Gubuk Seng: gak dapet sunset, mejeng tetep wajib (foto punya BB) |
Seorang peserta tampak cemas. Dia berbicara tanpa ditanya bahwa melaut dalam cuaca
buruk begini tidak baik. Tapi lalu saya bilang bahwa hujan akan berhenti, seperti tiga
sebelumnya. Benar saja, saat berjalan kaki ke dermaga, hujan sudah berhenti.
Semula, kami ingin nongkrong di atas kapal seperti saat berangkat.
Namun panitia menyuruh masuk ke dalam. Selain mengkhawatirkan angin laut yang
katanya tak baik, apa pula yang bisa dilihat dalam gelap gulita laut.
Perjalanan di tempuh sepertinya sekitar satu jam, namun rasanya lamaaa sekali.
Beda Kasta
Transit di Pulau Sebesi adalah satu alternatif ke Krakatau. Alternatif lainnya adalah melalui Pantai Carita, Anyer, Banten, Jawa. Kalo gitu ngapain
jauh-jauh menyeberang dulu ke Sumatra? Rupanya ada perbedaan kasta.
Mereka yang berangkat dari Banten, umumnya menggunakan speed boat yang tarifnya sekitar Rp 4,5
jutaan per delapan orang. Sementara kapal tradisional tarifnya hanya sekitar
sejuta, dan bisa mengangkut sekitar 30 orang.
Saat kapal meninggalkan Krakatau, saya sempat melihat pasangan
bule--yang perempuan berbikini--merapat di Krakatau menggunakan speed boat. Pastinya mereka dari Banten,
karena kami tak melihat ada speed boat
bersandar di Sebesi.
Ah, bule kolokan. Padahal dengan homestay
seperti yang dikelola Supiani, rasanya worthit
worthit saja transit dulu di Sebesi. Bagi saya, kemerakyatan kadang lebih
memperkaya pengalaman dan wawasan hidup. Lagipula kemerakyatan semestinya tak
melulu harus kumuh dan bau. Cuma memang, para bule mungkin akan sulit untuk
beradaptasi dengan gayung dan toilet jongkok, dan agak kurang praivet pastinya untuk
berbikiniria :D.
Sebesi dan Masalahnya
Pulau Sebesi, yang mungkin diambil dari nama pohon sebesi, sebenarnya
pulau yang cukup penting untuk wisatawan Krakatau kelas backpacker. Namun, entah mungkin saya yang salah persepsi, sektor pariwisata pulau
ini seperti hidup segan mati tak mau. Warga
seolah-olah melayani wisatawan yang datang sedatangnya saja.
![]() |
Pulau Sebesi dari Google Earth. Sebesi pada hakikatnya adalah pulau gunungapi, tak ubahnya Krakatau. |
Saya sempat mengobrol dengan ibu-ibu tetangga Supiani, dan terlontarlah
masalahnya. Rupanya Sebesi pulau sengketa. Pemerintah, beginilah kira-kira
persepsi saya, ogah memberdayakan pulau ini sebagai tujuan wisata karena warga
yang menghuni pulau ini juga dinilai tak berhak atas tanah-tanah yang
ditempatinya.
Sejarahnya, dulu ada seseorang bernama Ali Hasan, begitu kata salah
seorang tetangga Supiani yang tampak lebih vokalis ketimbang yang lainnya, yang
karena jasanya diberi hadiah pulau ini oleh seorang raja setempat. Namun kata
dia, Ali Hasan tidak menarik uang apa pun terhadap warga, dan malah keluarganya
hidup miskin di Jawa.
Warga yang kini menetap, jelas dia, memang tidak punya sertifikat atas
rumah dan tanah yang mereka tempati, namun mereka berharap suatu saat bisa memilikinya.
Mereka berharap pemerintah dapat memfasilitasi alih hak tersebut.
Warga Sebesi tidak memiliki tradisi sebagai nelayan. Menurut Supiani,
kalaupun ada, ikan ditangkap secara tradisional saja dan hanya untuk konsumsi
warga Sebesi dan mungkin sedikit ke luar pulau. Warga Sebesi berasal dari
wilayah beragam, bukan asli orang Sumatera, apalagi asli Sebesi. Selain asli
Lampung seperti Supiani, banyak juga dari Banten seperti halnya suami Supiani,
dan bahkan yang merantau dari Sumedang.
Menurut Supiani yang mengaku sudah 20 tahun menetap di Sebesi, masih
mending sekarang sudah ada SMA. Saat awal menetap, SD pun tak ada.
Drama Perjalanan Pulang
![]() |
Pusat kota Pulau Sebesi tampak lebih padat |
Cemas menjalari jiwa. Selain mengantri, toilet umum ini juga kecil,
dan sepertinya kurang bersih. Dengan keberanian ekstra saya akhirnya memutuskan
untuk kembali ke rumah Supiani dengan menumpang sepeda motor warga yang
kebetulan melintas di depan toilet umum.
Saya mengiming-imingi Rp 20.000, untuk pergi-pulang. Tentu saja dia
bersedia. Hanya semenit, sudah sampai di rumah Supiani. Si warga pemilik motor
saya minta menunggu di uar. Dia rupanya kenal juga dengan Supiani. Aiih, mimpi apa
harus balik lagi ke homestay yang pemiliknya sudah saya pemiti ini.
Saya berteriak-teriak memanggil Bu Supiani, tapi dia tak ada.
Kasur-kasur bekas kami tidur rupanya belum dibereskan sedikit pun. Ah, tak ada
waktu menunggu Supiani muncul, saya langsung menerobos menuju kamar mandi.
Tapi betapa kagetnya saya. Kamar mandi itu padat dengan cucian piring,
panci, dsb. Wuaduh! Saya sampai harus melangkahi cucian-cucian itu saking
numpuknya. Syukurlah, di bak masih tersisa air yang bisa saya gunakan untuk
sekalian buang air kecil.
Dengan adrenalin membanjiri otak sehingga kurang hati-hati, tiba-tiba
celana panjang ganti yang sudah saya siapkan terjatuh ke lantai kamar mandi yang kotor
dan becek. Satu dua tiga detik, sempat terbengong. Aah, tak boleh mikir lebih lama dari
itu. Ya sutralah, tak ada opsi lain, hajaaarrr! Syukurlah tak terasa basah di kulit
(hihi).
Jarak yang ternyata sangat dekat dengan dermaga, membuat saya akhirnya
memutuskan untuk jalan kaki saja. Ojek dadakan itu hanya saya bayar Rp 10.000.
Di toilet umum masih ada peserta yang antri. Wuiiih, legaa… meskipun kalau
mengingat celana yang jatuh di kamar mandi, rasanya ada sesuatu yang
mengganjal. Namun sampai kembali ke Bandung, toh tak terasa ada rasa gatal
di paha, hahaha…
Meski sempat jauh meninggalkan kapal kedua, gara-gara merapat dulu di
Sebesi, kami sampai di Canti kalah cepat oleh kapal kedua. Sementara itu saya sudah tak mau ambil
pusing dengan rasa cemas. Saya bungkus rasa cemas itu dengan memesan kopi
instan di salah satu warung di Canti, sebelum kembali merayapi jalur yang sama,
menggunakan angkot, menuju Bakauheni.
Drama berikutnya adalah kondisi Ferry yang lebih jelata. Sebenarnya
kabin eksekutif seperti Ferry sebelumnya ada juga. Namun mungkin demi mengirit
biaya, panitia memesan tempat duduk yang berjejer di luar, mirip ruang tunggu.
Ajibnya lagi, tempat-tempat duduk ini menghadap tepat ke pintu toilet. Dan saya
keburu kebagian duduk tepat di depan pintu toilet tersebut. SEMPURNA!!
Akhirnya, jatah kursi saya gunakan untuk menyimpan tas-tas saja. Seperti
saat pergi dua malam lalu, saya lagi-lagi berdiri sepanjang perjalanan di dekat
pagar pembatas ke laut. Setiap ada perokok yang mendekat, saya tegur agar mencari tempat lain yang agak jauh dari saya (kejam!). Ferry berjalan lambaaat sekali, kadang hampir seperti
tidak bergerak; sehingga tak ada angin yang menyapu udara yang pengap dan
gerah.
Tampaknya lalu lintas laut ke Merak di siang hari cukup padat. Syukurlah
saya tidak merasa lelah, bahkan Ferry seolah sampai lebih cepat dari yang saya
duga. Sebenarnya dengan membayar Rp 20 ribu di atas kapal, bisa saja kami masuk
ke kabin eksekutif. Tapi seperti saat pergi, tak ada jaminan mendapati udara
yang lebih segar di dalam sana.
Menjelang magrib, sampai juga kami di Merak. Saya menyempatkan mampir ke
toilet yang super bersih dan modern di koridor yang menghubungkan antara dermaga
dan tempat parkir mobil. Saya juga berganti pakaian atas yang sudah sejak di Krakatau menempel di tubuh, supaya bisa pulang dengan damai
dan wangi, serta semua yang saya bawa termanfaatkan.
Tadinya saya pikir tarif toilet ini mahal, ternyata kata peserta lain
yang juga masuk toilet dan membayari saya, hanya Rp 2000. Di pelataran parkir,
bus kinclong ber-AC menjemput kami untuk kembali ke Bandung. Saya pun merasakan
kelegaan teramat sangat, seolah sudah dekat ke rumah saja. Sesampainya di
rumah, jam menunjukkan pukul satu malam. Saya pun bisa tidur dengan senyum
lebar. (cek tulisan ke-1 di sini)***