Sunday, August 16, 2015

Melaut ke Krakatau (2): Ber-homestay di Pulau Sebesi



Dari kejauhan, dermaga Pulau Sebesi tampak manarik. Saya pikir saya akan mendapati satu resort yang eksklusif semacam di Maldives (:P). Namun setelah mendekat, ternyata tidak lebih baik ketimbang dermaga Canti, Lampung. Rupanya banyak peserta lain yang berpikiran sama :D

Video perjalanan ke Krakatau. 
Produksi "visual storyteller" Kompas.com 

Tadinya juga saya pikir bisa mendapati pasar suvenir seperti di Pangandaran, dengan harapan bisa membeli kaos bertuliskan Pulau Sebesi. Aiih tapi ternyata Sebesi hanya sekadar pulau yang cukup besar, mengandung sumber air tawar sehingga layak dihuni manusia, serta memuat satu gunung api yang sudah tidak aktif. Jika dilihat dari kejauhan, gunung ini hampir tiga per empat menguasai daratan P.Sebesi. Atau bisa jadi Sebesi memang pulau gunungapi seperti halnya gunung Krakatau.

Kenyataannya, jangankan disambut dermaga mewah, gerbang ala gapura Agustusan bertuliskan “Selamat Datang di Pulau Sebesi” pun tak ada; kecuali selembar spanduk plastik bertulisan sama dalam bahasa Inggris yang dibentangkan di plang. Sepertinya plang bekas iklan.

Di bawah plang tersebut terdapat satu warung. Saya sempat memesan kopi instan panas seharga Rp 4000 di warung ini; sejak berangkat dari Bandung saya belum bertemu lagi minuman panas. Di sini juga kami dibagi homestay. Jujur, saya agak cemas; tapi dalam hati saya berharap semoga minimal kamar mandinya bersih.

Dermaga Canti, Kalianda, Lampung, Sumatera Barat
Homestay yang saya tempati bersama sembilan peserta lain berada di jalan utama Pulau Sebesi; jalan tanah yang cukup lebar. Dari dermaga jaraknya 100 meteran; berupa rumah penduduk di antara rumah penduduk lainnya. 

Prasangka buruk saya ihwal tempat menginap di pulau rada terpencil ini, terbantahkan. Meskipun terkadang ada ayam masuk rumah, namun rumahnya bersih. Di ruang depan dihamparkan kasur-kasur berseprei, beraroma baru dicuci. Dengan begitu, syarat untuk molor orang kota yang manja, terpenuhi.

Kamar mandinya luas. Sebagai yang dibesarkan dengan gaya kamar mandi tradisional Indonesia; ada bak dan toilet jongkok, hanya satu yang penting: BERSIH! Di tengah kamar mandi ini ada sumur sebagai sumber air tawar. Keberadaan sumur ini agak horor juga di malam hari; berharap tak ada Sadako di dalamnya. Sepulang dari Krakatau, saya sempat nekat kembali ke homestay ini hanya untuk mendapati kamar mandi yang lega dan bersih (tapi ternyata: wakwaw!! :D ikuti terus ceritanya).

Dengan kondisi seperti tersebut, saya berani merekomendasikan rumah milik Ibu Supiani (hmm…sepertinya namanya tidak tepat demikian) ini kepada orang lain yang berniat bermalam di Sebesi. Hanya saja listrik tidak menyala di siang hari. Bagi yang tidak membawa power bank, gawat juga. Padahal batere kamera saya waktu itu sudah menguning. Bisa mewek saya kalau pulang tak membawa bukti dari kamera saya sendiri  bahwa sudah pernah mendarat di Krakatau.

Pintu masuk ke Pulau Sebesi yang... kumuh.
Karena saya menghabiskan kopi dulu, saya tiba di homestay terlambat dibanding peserta lain. Di depan rumah, Ibu Supiani tampak sedang mengobrol dengan teman satu homestay. Saya nimbrung sebelum masuk ke dalam. Mengenai "program" homestay yang diikuti Supiani, dikataannya bahwa dia tidak langsung menyewakan rumahnya ke wisatawan, melainkan ada agen yang mengoordinasikannya.

Menurut Supiani, dia sempat harus meyakinkan suaminya yang sempat tak setuju rumahnya dijadikan homestay. Sebelum rumahnya menjadi salah satu yang bisa dijadikan homestay, si agen mengajukan sejumlah standar yang harus dipenuhi: tentu saja salah satunya soal kebersihan. Dan itu berhasil.

Wanita yang usianya saya duga tak jauh dari saya ini mengungkapkan, rumahnya disewa semalam Rp 200 ribu. Uang itu masuk kantong agennya lebih dulu. Dengan upaya Supiani menata rumahnya untuk menyambut kami, tarif itu terasa terlalu murah. Maka kami pun bersepakat udunan memberi uang tambahan untuknya. Apalagi setibanya kami di homsetay, Supiani menyuguhi kami pisang goreng dan bala-bala.

Sebenarnya kami tak sempat bermalam karena panitia menjadwalkan pukul dua dini hari adalah waktunya melaut ke Krakatau, sekaligus pamit dari Sebesi. Namun saya sempat memanfaatkan kasur-kasur yang digelar untuk tidur sepulang dari “berburu sunset yang gagal”, dan melelahkan pula.

Ihwal berburu sunset ini, semula konsep yang saya dengar adalah dengan naik kapal ke tengah laut. Tapi ternyata ada perubahan, yakni dengan semi “cross country”. Saya pikir, lokasi nonton sunset ini hanya berjarak 100-200 meter, tapi.......1-2-3-4-5 kilometer… masih juga belum sampai. Desas-desus yang beredar setelah sampai di Bandung, kami berjalan hampir 12 kilometer! Walaaaah…

Hampir semua peserta tidak siap: banyak yang tidak membawa minum padahal hausnya bukan kepalang. Saking tak sampai-sampainya, saya dan teman dari grup  homestay 3, mengikuti saran seorang warga untuk numpang “commuter line” berupa dua mobil pick-up.

Sampai berganti dua pick-up, lokasi untuk menonton sunset masih juga belum telihat. Sebelum kedua pick-up ini pergi, kami minta si supir untuk menjemput kami di lokasi terakhir kami turun.

Di depan "homestay" bersama nyonya rumah. Entah kenapa semua merem.
Ketika magrib tiba, kami sampai di satu tempat berupa teras karang yang cukup luas. Warga menyebut lokasi ini sebagai Gubuk Seng. Namun sunset itu tak tampak. Malah langit seperti pucat saja, seolah salah posisi.

Akan tetapi teras karang di Gubuk Seng merupakan fenomena alam yang tidak biasa juga, maka kami pun berfoto-foto. Kami tak mendapat pengetahuan bahwa air pasang akan terjadi.

Ketika kami semua baru saja kembali ke sisi terdalam pantai untuk pulang, air laut tiba-tiba meninggi dan menghempas garang ke posisi dimana sempat bertebaran. Fiuhhh… keputusan yang pas! Allah swt masih  melindungi kami.

Syukurlah komunikasi terjalin baik dengan para supir pick-up. Hanya sekitar 1 km bejalan kaki dari Gubuk Seng, waktu itu suasana sudah gelap, kedua pick-up sudah menunggu di tikungan. Alhamduillah. Di tengah perjalanan, muncul obrolan ihwal cara warga mengangkut kedua pick-up tersebut ke Sebesi.

Sudah pasti bukan “Hercules” yang mengangkutnya. Seperti halnya sepeda motor yang ikut menumpang salah satu kapal kami ke Sebesi, kedua pick-up ini tampaknya juga diangkut dengan cara sama.  

Kedua pick-up ini memang wara-wiri di jalur “mengejar sunset” tersebut, karena keduanya dipakai mengangkut hasil panen cokelat. Warga Sebesi memang mengandalkan salah satu penghasilannya dari menanam cokelat dibanding hasil laut. Tanaman cokelat tak hanya tampak di sepanjang jalur hingga Gubuk Seng, melainkan juga di sekitar homestay.

Sepulang  mengejar sunset yang gagal, saya menyempatkan mandi lagi karena pakaian yang basah oleh keringat. Saya melewatkan acara makan malam, juga acara barbekyuan (entah apa yang dibakar, mungkin ikan yang dibeli di Jawa, hehe...) karena saya memilih tidur. Ketika terbangun sekitar pukul 12 malam, rumah gelap gulita. Ah ya, pasokan listrik diputus, karena saya melihat Supiani memasang lampu tenaga surya. Untung batere hp dan kamera saya sudah penuh.

Gubuk Seng: gak dapet sunset, mejeng tetep wajib (foto punya BB)
Saya mecoba tidur lagi, tapi tidak bisa. Apalagi nyamuk tak henti berusaha mencicip darah saya, meskipun agak terminimalisasi karena saya menggunakan krim anti-nyamuk. Sepanjang terjaga hingga waktu melaut ke Krakatau tiba, saya mendengar hujan turun hingga empat kali (berarti berhenti empat kali juga). Keempatnya deras. Hujan terakhir turun bertepatan dengan persiapan kami meninggalkan homestay, sekitar pukul dua malam.

Seorang peserta tampak cemas. Dia berbicara tanpa ditanya bahwa melaut dalam cuaca buruk begini tidak baik. Tapi lalu saya bilang bahwa hujan akan berhenti, seperti tiga sebelumnya. Benar saja, saat berjalan kaki ke dermaga, hujan sudah berhenti.

Semula, kami ingin nongkrong di atas kapal seperti saat berangkat. Namun panitia menyuruh masuk ke dalam. Selain mengkhawatirkan angin laut yang katanya tak baik, apa pula yang bisa dilihat dalam gelap gulita laut. Perjalanan di tempuh sepertinya sekitar satu jam, namun rasanya lamaaa sekali.

Beda Kasta
Transit di Pulau Sebesi adalah satu alternatif ke Krakatau. Alternatif lainnya adalah melalui Pantai Carita, Anyer, Banten, Jawa. Kalo gitu ngapain jauh-jauh menyeberang dulu ke Sumatra? Rupanya ada perbedaan kasta.

Mereka yang berangkat dari Banten, umumnya menggunakan speed boat yang tarifnya sekitar Rp 4,5 jutaan per delapan orang. Sementara kapal tradisional tarifnya hanya sekitar sejuta, dan bisa mengangkut sekitar 30 orang.

Saat kapal meninggalkan Krakatau, saya sempat melihat pasangan bule--yang perempuan berbikini--merapat di Krakatau menggunakan speed boat. Pastinya mereka dari Banten, karena kami tak melihat ada speed boat bersandar di Sebesi.

Ah, bule kolokan. Padahal dengan homestay seperti yang dikelola Supiani, rasanya worthit worthit saja transit dulu di Sebesi. Bagi saya, kemerakyatan kadang lebih memperkaya pengalaman dan wawasan hidup. Lagipula kemerakyatan semestinya tak melulu harus kumuh dan bau. Cuma memang, para bule mungkin akan sulit untuk beradaptasi dengan gayung dan toilet jongkok, dan agak kurang praivet pastinya untuk berbikiniria :D.

Sebesi dan Masalahnya
Pulau Sebesi, yang mungkin diambil dari nama pohon sebesi, sebenarnya pulau yang cukup penting untuk wisatawan Krakatau kelas backpacker. Namun, entah mungkin saya yang salah persepsi, sektor pariwisata pulau ini seperti hidup segan mati tak mau. Warga seolah-olah melayani wisatawan yang datang sedatangnya saja.

Pulau Sebesi dari Google Earth. Sebesi pada hakikatnya adalah pulau gunungapi, tak ubahnya Krakatau.
Memang tak jauh dari dermaga tampak sejumlah bangunan yang sepertinya memang sengaja dibangun untuk penginapan, tapi seperti kurang terurus. Memang juga, jumlah wisatawan yang datang ke Sebesi tak melimpah. Waktu itu saja, padahal akhir pekan, hanya kami wisatawan yang datang (padahal Krakatau sendiri ramai pengunjung, mungkin yang langsung berlayar dari Canti).

Saya sempat mengobrol dengan ibu-ibu tetangga Supiani, dan terlontarlah masalahnya. Rupanya Sebesi pulau sengketa. Pemerintah, beginilah kira-kira persepsi saya, ogah memberdayakan pulau ini sebagai tujuan wisata karena warga yang menghuni pulau ini juga dinilai tak berhak atas tanah-tanah yang ditempatinya.

Sejarahnya, dulu ada seseorang bernama Ali Hasan, begitu kata salah seorang tetangga Supiani yang tampak lebih vokalis ketimbang yang lainnya, yang karena jasanya diberi hadiah pulau ini oleh seorang raja setempat. Namun kata dia, Ali Hasan tidak menarik uang apa pun terhadap warga, dan malah keluarganya hidup miskin di Jawa.
1. Pulau Sebesi. 2. Krakatau.

Warga yang kini menetap, jelas dia, memang tidak punya sertifikat atas rumah dan tanah yang mereka tempati, namun mereka berharap suatu saat bisa memilikinya. Mereka berharap pemerintah dapat memfasilitasi alih hak tersebut.

Warga Sebesi tidak memiliki tradisi sebagai nelayan. Menurut Supiani, kalaupun ada, ikan ditangkap secara tradisional saja dan hanya untuk konsumsi warga Sebesi dan mungkin sedikit ke luar pulau. Warga Sebesi berasal dari wilayah beragam, bukan asli orang Sumatera, apalagi asli Sebesi. Selain asli Lampung seperti Supiani, banyak juga dari Banten seperti halnya suami Supiani, dan bahkan yang merantau dari Sumedang.

Menurut Supiani yang mengaku sudah 20 tahun menetap di Sebesi, masih mending sekarang sudah ada SMA. Saat awal menetap, SD pun tak ada.

Drama Perjalanan Pulang
Pusat kota Pulau Sebesi tampak lebih padat
Pulang dari Krakatau, kapal yang saya tumpangi ternyata merapat kembali di Sebesi. Panitia rupanya memesan nasi bungkus dari warga Sebesi untuk makan siang peserta. Saya adalah peserta paling berkepentingan untuk mendarat dulu; mencari toilet. Alasannya amat sangat darurat sekali. Ada toilet umum di dekat dermaga, namun saya kalah cepat oleh sejumlah peserta lain.

Cemas menjalari jiwa. Selain mengantri, toilet umum ini juga kecil, dan sepertinya kurang bersih. Dengan keberanian ekstra saya akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah Supiani dengan menumpang sepeda motor warga yang kebetulan melintas di depan toilet umum.

Saya mengiming-imingi Rp 20.000, untuk pergi-pulang. Tentu saja dia bersedia. Hanya semenit, sudah sampai di rumah Supiani. Si warga pemilik motor saya minta menunggu di uar. Dia rupanya kenal juga dengan Supiani. Aiih, mimpi apa harus balik lagi ke homestay yang pemiliknya sudah saya pemiti ini.

Saya berteriak-teriak memanggil Bu Supiani, tapi dia tak ada. Kasur-kasur bekas kami tidur rupanya belum dibereskan sedikit pun. Ah, tak ada waktu menunggu Supiani muncul, saya langsung menerobos menuju kamar mandi.

Tapi betapa kagetnya saya. Kamar mandi itu padat dengan cucian piring, panci, dsb. Wuaduh! Saya sampai harus melangkahi cucian-cucian itu saking numpuknya. Syukurlah, di bak masih tersisa air yang bisa saya gunakan untuk sekalian buang air kecil.

Dengan adrenalin membanjiri otak sehingga kurang hati-hati, tiba-tiba celana panjang ganti yang sudah saya siapkan terjatuh ke lantai kamar mandi yang kotor dan becek. Satu dua tiga detik, sempat terbengong. Aah, tak boleh mikir lebih lama dari itu. Ya sutralah, tak ada opsi lain, hajaaarrr! Syukurlah tak terasa basah di kulit (hihi).

Jarak yang ternyata sangat dekat dengan dermaga, membuat saya akhirnya memutuskan untuk jalan kaki saja. Ojek dadakan itu hanya saya bayar Rp 10.000. Di toilet umum masih ada peserta yang antri. Wuiiih, legaa… meskipun kalau mengingat celana yang jatuh di kamar mandi, rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Namun sampai kembali ke Bandung, toh tak terasa ada rasa gatal di paha, hahaha…

Meski sempat jauh meninggalkan kapal kedua, gara-gara merapat dulu di Sebesi, kami sampai di Canti kalah cepat oleh kapal kedua. Sementara itu saya sudah tak mau ambil pusing dengan rasa cemas. Saya bungkus rasa cemas itu dengan memesan kopi instan di salah satu warung di Canti, sebelum kembali merayapi jalur yang sama, menggunakan angkot, menuju Bakauheni.

Drama berikutnya adalah kondisi Ferry yang lebih jelata. Sebenarnya kabin eksekutif seperti Ferry sebelumnya ada juga. Namun mungkin demi mengirit biaya, panitia memesan tempat duduk yang berjejer di luar, mirip ruang tunggu. Ajibnya lagi, tempat-tempat duduk ini menghadap tepat ke pintu toilet. Dan saya keburu kebagian duduk tepat di depan pintu toilet tersebut. SEMPURNA!!

Akhirnya, jatah kursi saya gunakan untuk menyimpan tas-tas saja. Seperti saat pergi dua malam lalu, saya lagi-lagi berdiri sepanjang perjalanan di dekat pagar pembatas ke laut. Setiap ada perokok yang mendekat, saya tegur agar mencari tempat lain yang agak jauh dari saya (kejam!). Ferry berjalan lambaaat sekali, kadang hampir seperti tidak bergerak; sehingga tak ada angin yang menyapu udara yang pengap dan gerah.

Tampaknya lalu lintas laut ke Merak di siang hari cukup padat. Syukurlah saya tidak merasa lelah, bahkan Ferry seolah sampai lebih cepat dari yang saya duga. Sebenarnya dengan membayar Rp 20 ribu di atas kapal, bisa saja kami masuk ke kabin eksekutif. Tapi seperti saat pergi, tak ada jaminan mendapati udara yang lebih segar di dalam sana.

Menjelang magrib, sampai juga kami di Merak. Saya menyempatkan mampir ke toilet yang super bersih dan modern di koridor yang menghubungkan antara dermaga dan tempat parkir mobil. Saya juga berganti pakaian atas yang sudah sejak di Krakatau menempel di tubuh, supaya bisa pulang dengan damai dan wangi, serta semua yang saya bawa termanfaatkan.

Tadinya saya pikir tarif toilet ini mahal, ternyata kata peserta lain yang juga masuk toilet dan membayari saya, hanya Rp 2000. Di pelataran parkir, bus kinclong ber-AC menjemput kami untuk kembali ke Bandung. Saya pun merasakan kelegaan teramat sangat, seolah sudah dekat ke rumah saja. Sesampainya di rumah, jam menunjukkan pukul satu malam. Saya pun bisa tidur dengan senyum lebar. (cek tulisan ke-1 di sini)***