Pagi itu, sekitar pukul 10.00, di tengah kemarau Juli 2009 yang sedang merekah-rekahnya pada hari ke-12, puncak Gunung Batu - Lembang memang sedang menyuguhkan tampilan terbaiknya. Panorama Cekungan Bandung di arah selatan kami --para peserta Jajal Geotrek I-- itu, bak lukisan alam yang menyihir untuk tidak banyak-banyak memalingkan wajah ke arah lain
Satu-satunya pesaing adalah pemandangan ke arah utara, yakni ke penampakan Gunung Burangrang dan Gunung Tangkubanparahu, yang terjelas yang pernah dilihat penulis dalam beberapa kali kunjungan ke puncak Gunung Batu. Namun tak ada drama aktual yang bisa dibayangkan di sana kecuali legenda ala mitologi Yunani, Oedipus: yakni Sangkuriang yang menendang perahu setengah jadi karena cintanya ditolak sang ibu kandung. Sedangkan di bawah sana, di arah selatan, drama kehidupan manusia terkini membentang di hadapan mata: drama keindahan alam ciptaan-Nya, sekaligus keprihatinan ciptaan manusia.
Dari ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut ini, sulit diterima bahwa sehari-harinya --sebagai warga Bandung-- kami hidup dengan ditelikung kabut polusi, kabut yang sarat zat karsinogenik si pencetus kanker. Kami pun berdecak --sampai muncrat-muncrat-- demi melihat panorama pergunungan yang juga menelikung Cekungan Bandung. Di selatan sana, berjajar pergunungan, mulai G.Malabar dan G.Patuha. Menerus ke barat bisa terlihat citra G.Gede-Pangrango (Sukabumi-Bogor). Bahkan ciri strato G.Cikurai yang bagaikan piramid (pada foto di atas, tampak paling kiri), mencuat penuh pesona, mewakili Garut.
Andai berdiri di posisi sebaliknya, misalnya dari ketinggian G.Puntang yang memuntang (menggelayuti) pergunungan Malabar di posisi selatan, tentulah yang tersaji adalah hamparan pemandangan Cekungan Bandung arah utara dengan latar G.Burangrang, G.Tangkubanparahu, G.Bukittunggul, G.Palasari, G.Manglayang, dan boleh jadi G.Tampomas di Sumedang. Komplitlah sudah pesona keindahan Cekungan Bandung. Akan tetapi keindahan ini ternyata, menyimpan ancaman.
"Silent Killer"
Nyata sudah ancaman itu. Dari puncak “monumen” Patahan Lembang ini (bukit batu yang tampak pada kiri foto bawah), kian ke barat kabut polusi tampak kian kecoklatan. Kami menduga-duga --dugaan yang sangat beralasan-- bahwa semakin ke barat Bandung semakin dipadati pabrik. Tentu saja ditambah emisi gas buang kendaraan berbahan bakar fosil, yang jumlahnya semakin menyesakkan dada.
Sekedar mengingatkan kembali, Gunung Batu (bukit batu yang tampak pada kanan foto di atas) adalah bukit batu yang pada 27.000-an tahu lalu mencuat ke permukaan akibat gerakan dahsyat kerak bumi yang terpicu meletusnya G.Tangkubanparahu kala itu. Bayangkan jika patahan ini suatu saat aktif kembali, dampaknya akan sangat berat bagi kota Bandung. Sayangnya, pembangunan di Cekungan Bandung tidak didasarkan pada konsep mitigasi bencana, bahkan di masa penjajahan Belanda pun. Mungkin karena aktivitas Patahan Lembang memang teramat sangat langka. Patahan ini bergerak terakhir pada 500 tahun yang lalu dan menghasilkan gempa dengan magnitud 6,6 SR. (*)
Ke-46 peserta "Jajal Geotrek I", berpose dengan latar plang "Bukittunggul", seusai mengunjungi situs Batuloceng di Lereng G. Palasari yang berada di seberang G.Bukittunggul, Minggu (12/7/09). Jajal Geotrek I adalah bagian dari upaya "membuktikan" rute "Geotrek 2" yang terdapat di buku Wisata Bumi Cekungan Bandung. Kegiatan ini dipandu langsung oleh kedua penulis buku tersebut, Budi Brahmantyo dan T.Bachtiar. Kegiatan ini diselenggarakan oleh penerbit Truedee Pustaka Sejati
Menimang "Jabang Bayi", Memeluk Menhir
BIARPUN orang "bule" dikenal rasional dan sangat tidak percaya tahayul, namun Alison Victoria Thackray, tak peduli anggapan itu. Barangkali, kalau sudah berada di negeri berjuta mistisisme, siapapun akan menjadi lebih kompromis terhadap irasionalitas.
Sesampainya di lokasi tempat batuloceng disimpan, di suatu keteduhan lereng Gunung Palasari, Lembang Timur, wanita asal Inggris ini tak perlu menunggu antrian panjang para peserta "Jajal Geotrek I" untuk memutuskan "menimang" si jabang bayi batuloceng. Menurut kuncen batuloceng, Maman, ritual tersebut harus dilakukan sebelum seseorang dapat memeluk satu situs menhir bernama batukujang (??), seraya memanjatkan permintaan pada Tuhan.