Tuesday, February 28, 2012

Delapan Jam Bagai “Domba Garut” demi Malela

Wajah-wajah mengerikan itu bermunculan di sela-sela curahan airnya yang hari itu sedang cukup besar. Kadang berwujud wajah kakek-kakek berjanggut panjang, kadang seperti sebentuk wajah hantu, kadang juga mirip monster berhidung bak umbi ginseng. Ini mengingatkan pada penampakan-penampakan wajah setan pada kepulan asap WTC yang terbakar dan ambruk pada 11 September 2001. Sayang, tak pernah bagaikan wajah cowok ganteng.

Kendati (melantur dulu) begitu, curahan air raksasa ini menciptakan pemandangan yang justru tak habis-habisnya membuat mata ingin menatap dan menatap lagi, seperti juga kamera di tangan yang tak bosan ingin menjepret dan menjepret lagi. Padahal hasilnya bahkan hampir tak ada bedanya dengan jepretan teman yang pernah lebih dulu ke sana—hasil jepretan yang berhasil bikin penulis penasaran, dan membuat Malela masuk dalam agenda tempat yang harus dikunjungi sebelum segalanya menjadi semakin tidak memungkinkan.

Berbeda dengan curug (air terjun)pada umumnya yang posisinya biasanya sembunyi di sela pepohonan hutan nan rimbun, Malela tak malu-malu menunjukkan diri sejak dari kejauhan dan ketinggian. Kondisi ini membuat curug yang memiliki lebar 70 meter dan tinggi 60 meter ini menjadi sedap ditangkap kamera dan aduhai dijadikan latar bernarsisria.

Ada yang mengatakan Malela mirip Niagara. Tidak penting! Di tengah-tengah kehijauan alam pergunungan, Malela menciptakan pemandangan unik tersendiri terutama jika dilihat dari kejauhan—bagai kapas yang ditempelkan pada pohon cemara.(foto kiri: lihat tanda panah--wajah setan di malela, hehe...)

Nama curug Malela berasal dari nama tokoh kerajaan di tatar Sunda yang hidup pada abad ke-14, yakni Prabu Resi Tajimalela. Konon, Prabu Tajimalela dimakamkan di dekat curug ini. Nah, salah satu wajah yang diinterpretasikan sering menampakkan diri pada curahan curug Malela adalah wajah sang prabu.
***
Secara administratif, curug Malela berada di Kampung Manglid, Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat. Pusat Kecamatan Rongga berada kira-kira 20 km lebih jauh dari pusat Kecamatan Gunung Halu. Mengapa penting menyebut nama Gunung Halu, karena nama kota kecamatan penghasil batu mulia ini boleh jadi lebih dikenal. Nama curug Malela sendiri tampaknya baru lebih ngetop di akhir 2000-an. Alasannya, selain memang aksesnya cukup berat, juga karena curug ini pada awalnya dianggap angker.

Sumber air curug Malela berasal dari pergunungan di Ciwidey, Kabupaten Bandung, dengan ketinggian lokasi sekitar 1000 meter. Dia mengalir di ruas sungai Cicurug, lalu bersatu dengan sungai Cidadap untuk kemudian bergabung dengan aliran sungai Cisokan, di Cianjur Selatan. Jika melihat batuan yang mendasari aliran sekitar curug Malela, tampaknya berasal dari aliran lava pijar jutaan tahun lampau. Lava ini diduga berasal dari letusan gunung-gunung api di kawasan Ciwidey (selatan Bandung) yang memang banyak memiliki situs vulkanis.

Malela tak sendiri. Di sekitarnya banyak pula air terjun lainnya, baik yang terbentuk dari aliran Cidadap sendiri, maupun dari sungai-sungai kecil di sekitar Malela yang berair bening. Warga di sana menyebut setidaknya lima nama curug lainnya, antara lain adalah curug Ngebul dan Katumiri.(foto kiri: malela pada aliran sungai Cidadap (Cicurug?))

Buat penulis, Malela sangat menarik sebagai obyek penglihatan dan obyek foto, namun tidak sebagai tempat mencumbui airnya yang kuning kecoklatan. Diduga pada posisi lebih hulu banyak terjadi pencemaran baik akibat limbah kotoran ternak (sapi), juga oleh tanah-tanah pucuk gembur yang terkikis oleh curah air hujan.

Kendati elevasinya tidak setinggi kawasan Ciwidey, di lokasi ini juga terhampar perkebunan teh bernama Montaya. Akan tetapi suhu udara di sana tidak sesejuk umumnya di perkebunan teh. Ini mengingatkan penulis pada Gunung Padang di Cianjur Selatan yang berada di dekat perkebunan teh, namun bersuhu panas.
Setidaknya saat penulis ke Malela, suhu terasa ngelekeb, padahal keadaan langit seharian itu mendung. Bahkan, karena memang masih dalam siklus musim hujan, hujan ringan turun sejak rombongan berangkat dari meeting point di patung Husein Sastranegara, Bandung, pukul 08.00 (dari seharusnya sudah berangkat pukul 07.00, tapi… biasaaa, mental jam karet ternyata menurun lebih parah pada pemuda-pemuda usia 20-an ini). Akan tetapi syukurlah hujan tak turun selama kami di Malela.

Suara azan dzuhur, menandai sampainya rombongan di Desa Cicadas, desa terakhir sebelum sampai di curug. Empat jam kami berada di dalam kendaraan “kabin ganda”—kabin depan untuk sopir, kabin belakang untuk domba, alias truk “domba garut”. Di masa lalu, penulis ingat, jika ada orang-orang naik truk model begini akan diteriaki domba garut!! domba garut!! Tak heran jika sepanjang perjalanan kami tak bisa mengetahui sudah ada di mana. Kalau ingin melihat-lihat pemandangan, kami harus berdiri dan menongolkan kepala, lalu tinggal teriak mbeeeeee!!!

Untuk rombongan berjumlah hampir 30-an orang, ke Malela menggunakan truk model begini memang masuk akal, baik secara biaya maupun kemampuan jelajahnya. Sementara jika menyewa elf atau bus, selain jauh lebih mahal, sopirnya pun belum tentu mau disewa hingga desa terujung. Truk tentara mungkin lebih manusiawi, sedikit lebih mahal, tapi tidak setiap saat ada ketersediaannya. Sekali-kali tak apalah meresapi bagaimana rasanya bagaikan TKI gelap. Dan yang penting, dengan adanya truk ini, kami tak perlu bermalam di Malela.(foto kiri: curug yang vis a vis dengan Malela. Terbentuk dari sungai kecil yang mengalir di sekitar Malela dengan kondisi air yang jernih)
***
Suatu waktu penulis pernah bertanya pada teman yang pernah lebih dulu ke Malela: apakah curug ini layak diperjuangkan. Pasalnya, sebelum Wagub Jabar (Dede Yusuf) berkunjung ke sana, siapa pun yang bercerita tentang akses ke Malela pasti sarat kisah perjuangan. Ada yang mengaku stang motornya patah karena jalanan yang buruk—becek (meskipun banyak ojek) dan juga jeblog alias berlumpur setinggi-tinggi betis. Saking jauhnya, banyak juga yang mengaku terpaksa bermalam, terutama yang perginya hanya bermodalkan gonta-ganti kendaraan umum. Belum lagi yang terpaksa ngojek sehingga harus merogoh kocek lebih dalam.

Problem lain yang tak kalah eksotisnya, sulit ditemukan kamar mandi. Bahkan di desa terakhir sebelum curug Malela, warga tidak mempunyai kamar mandi di rumahnya (ada mungkin, tapi segan juga menyulitkan penduduk). Seorang warga lalu menunjukkan “toilet” yang katanya rada raos (cukup nyaman). Aksesnya harus menuruni jalan setapak barang 20 meteran jaraknya dari satu masjid kecil di sisi Jalan Raya Malela.

Cari punya cari, ternyata, dia hanya sebentuk pancuran di tengah sawah dan ladang yang bahkan dinding biliknya pun berdiri di satu sisi saja. Terpaksa kami harus saling membuat barikade hidup. Yang tidak sabar, pada nekat pipis di tengah kebon—InsyaAllah tak ada penduduk yang kebetulan lewat. Soal sumber airnya yang terbuka seperti kolam, sudah tidak kami pedulikan. Warna airnya seperti air tajin—mungkin karena tanahnya berkapur—tapi toh tidak berbau dan tampaknya tidak kotor.

Sejak Wagub Jabar Dede Yusuf berkunjung, sepertinya cukup banyak perubahan. Sejumlah ruas jalan terutama yang masih dekat-dekat Kecamatan Gunung Halu, sudah dibeton. Bahkan jalan setapak menuju curug—dimana Malela sudah menampakkan diri—sebagian sudah dibangun undakan semen dan jembatan beton. Ada pula bangunan peristirahatan, masjid, dan toilet, yang karena tidak ada pegawainya maka tidak terawat. Ada sepasang wadah penampungan air berwarna oranye, namun ternyata kosong.
Sebenarnya, dilema selalu menjadi sisi mata uang lainnya pada setiap pembangunan obyek wisata di Indonesia. Dengan dana terbatas dan niat pas-pasan—pas pengen jadi gubernur doang mungkin—selalu muncul sisi negatif dari pembangunan ketimbang jika dibiarkan alami saja. Perbaikan jalan raya, memang membuat waktu perjalanan agak menyingkat. Namun, kemudahan mengakses Malela ditakutkan sejumlah pecinta lingkungan akan berdampak negatif. Yang sudah tampak dan ini klise di negeri ini, adalah sampah.

Jika akses sulit saja sudah bikin area sekitar curug terlihat kumuh dengan ceceran sampah plastik, styrofoam, dan sisa-sisa makanan, apalagi kalau dipermudah. Jika pemerintah serius, seharusnya mereka tak cuma mengucurkan dana blok untuk kemudian melepas pemeliharaannya begitu saja, sehingga terkesan lebih seperti untuk keperluan politis tersebut.
***
Pada kesempatan pulang, penulis dengan segan menaiki bak truk untuk duduk menggelesot di atas lantai kayunya. Semoga saja kantuk menyerang sehingga perjalanan pulang tak akan terlalu menyiksa—apalagi, tak ada alasan untuk berdiri karena tak ada yang bisa dilihat pada malam hari, kecuali sekedar untuk meluruskan badan.(foto kiri: undakan yang dibangun setelah kedatangan Wagub Jabar. Kurang kokoh ah...)

Namun ketika “panitia” menawari untuk duduk di samping pak sopir yang mengendali truk supaya baik jalannya, dengan semangat revolusi ’98, penulis bersedia! Teman-teman mudaku ini mungkin memaklumi salah satu pesertanya sudah berumur dan banyak mengeluh (heu), sehingga peserta yang dapat giliran duduk di depan saat pergi, juga mau bergiliran duduk di “kabin” belakang.

Anehnya, perjalanan pulang dengan duduk dalam posisi normal di samping pak sopir, tidak terasa lebih singkat ketimbang saat pergi. Apalagi rasa pegal menyerang pada pinggang dan kaki—kondisi sama ternyata terjadi juga pada teman di samping saya yang masih berusia 20-an, syukurlah (:D). Namun saya yakin, menghuni kabin belakang pastinya tetap lebih menderita, sehingga saya masih anteng menikmati duduk di depan.Terlebih walaupun malam, saya masih bisa menikmati aktivitas penduduk di sepajang jalur Malela-Cililin. Seorang bapak berpakaian rapi-berkopiah tampak bergegas di kegelapan malam, menggendong anak perempuan balitanya yang berjilbab, di punggung. Dia memanfaatkan cahaya lampu truk kami yang melaju terseok-seok di jalan tanah yang berkontur berat. Mau ke mana mereka?

Setelah mereka tersusul, sekitar 200-an meter kemudian ada keriaan di sisi jalan. Sebuah panggung kecil dengan backdrop bertuliskan “Peringatan Maulud Nabi Muhammad saw” tampak meriah. Terjawab sudah ke mana bapak dan anak di punggungnya itu menuju.

Jam menunjukkan pukul 21.30. Sudah dua jam perjalanan,namun suasana perkampungan masih tampak sama. Kondisi jalan pun masih buruk. Truk baru sampai di kota kecamatan lebih besar, yakni Cililin, sekitar pukul 22.30, dengan suasana jalanan mulai berbeda. Setidaknya jalan lebih lebar, mulus, banyak cabang, dan seliweran kendaraan lebih ramai.
Dalam perjalanan pulang sore itu antara curug Malela dengan Desa Cicadas, pucuk Gunung Gede-Pangrango tampak menyembul di "atas awan". Emaizing!! (*Tukul Arwana mode on)

Memasuki Jalan Raya Cimahi, kira-kira pukul 23.00, truk mulai sering berhenti. Teman-teman yang duduk di belakang rupanya banyak yang turun di tengah perjalanan. Sementara, meski malam semakin larut, jujur, penulis tenang-tenang saja, tak seperti teman di samping yang gelisah. Pasalnya truk berada pada jalur jalan yang tepat melintas di samping rumah penulis. Saat pintu rumah terbuka, jam dinding sedang menunjuk pukul 23.35. Mungkinkah ini yang terakhir?(ruri andayani)

Thursday, February 23, 2012

Mimpi Taman Jasper di Tasikmalaya: Akankah Terbeli?

Warisan Aktivitas Purba Gunung Api Bawah Laut
 
Judul Buku: Merahnya Batu Merah (Taman Jasper Tasikmalaya)/Harga: Rp 65.000/Jumlah halaman: sekitar 200 (full color)/Penyunting: Sujatmiko dan Eko Yulianto/Jenis Buku: Bunga rampai (berisi kepedulian 21 penulis dari berbagai latar belakang keilmuan dan profesi, terhadap fenomena langka yang terdapat di Ci Medang-Tasikmalaya)/Penerbit: Kelompok Riset Cekungan Bandung

BONGKAH-bongkah batu berwarna merah menyala itu berserakan begitu saja di lebarnya Sungai Cimedang (Ci Medang). Ukurannya mulai sebesar kepalan tangan hingga rumah tipe 21. Suatu pemandangan yang langka dan atraktif.

Batu-batu ini bahkan tersebar hingga persawahan dan halaman-halaman rumah penduduk yang bermukim di Kampung Pasirgintung, Desa Buniasih, Kecamatan Pancatengah, Kabupaten Tasikmalaya. Awalnya jumlahnya lebih banyak, namun kini menyusut secara dramatis. Berton-ton lainnya kini sudah hijrah ke negeri sakura. Lagi-lagi, bangsa ini kecolongan.

Menurut Sujatmiko, seorang geologis yang juga pengusaha batu mulia, fenomena Ci Medang ini sangat langka. “Di 20 negara yang pernah kami kunjungi, kami belum pernah menemukan yang seperti ini,” ujarnya. Jika dipetakan, serakan batuan merah ini tak hanya terdapat di Kecamatan Pancatengah saja, melainkan juga di wilayah-wilayah tetangganya seperti Karangnunggal, Cipatujah, hingga Cisasah.

Mengapa batuan merah ini demikian menarik perhatian, bahkan Jepang begitu meminatinya? Batuan merah yang terserak di Ci Medang adalah salah satu jenis batu mulia yang dikenal dengan nama jasper. 

Batu mulia dari keluarga mineral kuarsa (SiO2) ini tak hanya berwarna merah, melainkan ada juga coklat, kuning, dan hijau. Sejarah terbentuknya batuan jasper terkait dengan aktivitas kegunungapian.

Diketahui bahwa pada 25-30 juta tahun lalu, di sekitar wilayah Kampung Pasirgintung terdapat komplek gunung api bawah laut. Komplek gunung api ini dengan indahnya mengitari laut dangkal di wilayah ini. 

Singkat cerita, gunung-gunung bawah laut ini meletus. Dia mengeluarkan material vulkanisnya, antara lain lava pijar. Karena bersentuhan langsung dengan air laut, maka material vulkanis yang dikeluarkan gunung api ini mengalami proses hidrotermal, suatu tahap awal pembentukan—salah satunya—batuan jasper. 

Sebelum pihak Kabupaten Tasikmalaya mengeluarkan aturan menghentikan penambangan jasper di kawasan ini, penduduk setempat yang tanahnya diseraki batuan jasper sudah sempat menyewakan lahan-lahannya ke para penambang yang antara lain “berbendera” selain Jepang juga Korea Selatan. 

Salah satu kasus penyewaan lahan mengungkapkan bahwa untuk sewa satu tahun, pemilik lahan mendapat imbalan hingga Rp 60 juta. Jumlah yang menggiurkan, apalagi untuk warga desa yang hidup jauh dari perkotaan, tanpa harus kehilangan tanahnya. Namun jumlah tersebut sebenarnya menjadi tidak sebanding dengan nilai batuan yang ditambang, belum lagi kemungkinan kerusakan ekosistem akibat penambangan.

Sayangnya, warga setempat tampaknya kurang memiliki kepekaan terhadap lingkungannya sendiri. Padahal jika saja mereka masih memegang teguh kearifan lokal warisan nenek moyangnya, tentunya menyerahkan lahan untuk ditambang habis-habisan adalah keputusan yang bertentangan dengan keseimbangan lingkungan yang biasanya secara tradisional diwariskan temurun oleh penduduk asli setempat. 

Namun apa daya, kapitalisme tampaknya sudah teramat jauh menggerogoti pola hidup warga yang hidup nun di Kampung Pasirgintung, pun. (disarikan dari buku “Merahnya Batu Merah”/Judul diambil dari salah satu artikel di buku ini)

Untuk pemesanan silakan kontak ke: ruri_and@yahoo.com
PERSEDIAAN TERBATAS!!!