Wednesday, September 23, 2009

KERETA DUA GERBONG YANG HUMORIS

Pagi itu kawasan Stasiun Ciroyom mulai menggeliat. Para pengais rezeki dengan bermodalkan selembar kain untuk alas dagangannya, sudah menduduki posisi masing-masing yang mereka anggap hoki, mungkin. Dagangan pun digelar. Mulai kaos kaki, mainan anak, hingga sepatu/sandal. Suasana ini tampaknya tidak banyak berubah sejak 1970-an.

Serangkaian kereta api berwarna oranye, tampak menunggu dengan sabar agar gerbong-gerbongnya terisi muatan. Hingga waktu yang ditetapkan sebagai jadwal keberangkatan (pukul 07.45) tiba, si kereta masih betah nongkrong di stasiun ini. Gerbong-gerbong dengan kursi berhadap-hadapan seperti di angkot ini, memang masih belum terisi penuh. Sepertinya tak ada beban bagi dia untuk berangkat tepat waktu.

Kereta ini tak ada bedanya dengan kereta api ekonomi pada umumnya: dekil, dhuafa, proletar, dan sejenisnya. Hal ini berbanding sejajar dengan tarif tiketnya yang cuma Rp 1.500, hingga Stasiun Cianjur (boooo!!!). Meski begitu, penampilan penumpangnya tidak se-dhuafa yang dibayangkan. Mereka kebetulan saja hanya rakyat yang rezekinya tidak sebaik mereka yang memilih naik travel, bus AC, atau kendaraan sendiri.

Baru ketika waktu sudah mau beranjak ke pukul 09.00, ketika mulai tampak ada penumpang yang berdiri --menandakan kursi-kursi sudah terisi-- mulailah sang lokomotif terbangun dari kantuknya. “Tuiiit!!…tuiiiit!!” seru si lokomotif. Loh kok, haree geenee suara kereta masih seperti itu, mengingatkan pada kereta-kereka uap abad pencerahan?? Dan, entah disengaja atau tidak, kereta ini lah yang saban harinya menapaktilasi jalur “Si Gombar”, kereta uap yang pada masa awal abad ke-19 juga merayapi jalur yang sama.

Lepas dari Stasiun Ciroyom yang berantakan bagai usus terburai, suasana gerbong masih lapang, seolah-olah tidak ada masalah untuk menjadi rakyat jelata. Sang kepala suku rombongan Tur Megalitik Gunung Padang dari P2PAR ITB yang punya ide '"aneh" ini, masih bisa bergaya laksana guide kereta wisata ke pergunungan Swiss. Dengan corong megafon yang mengacung-acung di tengah penumpang yang terbengong-bengong keheranan, mulailah diterangkan “bab pendahuluan” dari tur ini.

Kira-kira lepas Stasiun Cibeureum, suasana gerbong --setidaknya di gerbong kedua-- mulai krodit (ini serapan dari kata crowded). Penumpang mulai banyak yang tak kebagian tempat duduk. Bau-bauan tujuh rupa mulai menyambar-sambar hidung. Untung masih pagi, jadi belum terlalu menyengat. Yang tak terhindarkan adalah kemunculan para “lokomotif” berbahan bakar bako di dalam gerbong (lokomotif kok naik lokomotif). Kalau yang model begini mah, tak peduli di tempat jelata ataupun tempat elit, klepas-klepus teruuus.

Para biduan amatiran pun mulai cari posisi, berbagi giliran memamerkan suara-suaranya yang lumayan lah daripada lumanyun. Mulai lagu pop sampai dangdut. Dan bagikan sudah ada koordinasi antar masing-masing pencari nafkah, semua mendapat giliran melintasi gerbong secara rapi. Ada tukang tahu bahenol nan menor yang menepuk-nepukan lembaran duitnya ke tahu-tahu dagangannya yang tak kalah bahenol, seraya berteriak “penglaris…penglaris.” Waw, tahu bahenol itu kini beraroma uang kertas dekil nan lecek, vaksinasi alami bagi rakyat jelata.

Tukang-tukang minuman kemasan bermodalkan roda dengan wadah dari ember-ember besar bekas cat tembok, bergiliran melintas. Ada barang 10 kali bolak-balik selama jarak antara Stasiun Ciroyom dengan tujuan akhir rombongan, Stasiun Cipeuyeum. “Eyooooow!!!” teriak nyaring salah seorang di antaranya, berusaha menarik perhatian, sekaligus menyingkap kepadatan penumpang. Wajah si pemilik hak cipta teriakan ini begitu percaya diri, bagaikan melintas di wilayah kekuasaan. Tak ada senyuman ramah apalagi genit demi merayu penumpang. Toh, dagangannya teteeep laris.

Lepas persimpangan dengan jalur rel buat kereta-kereta gagah yang menuju Jakarta, tepatnya di daerah Purwakarta, “Si Gombar” abad 21 ini bisa menghela napas legaaa. Di jalur berikutnya yakni jalur kereta yang menghubungkan Bandung menuju Cianjur ini (dulu sampai Sukabumi), tak ada para kereta ningrat yang harus didahulukan melintas. '"Si Gombar" adalah penguasa di dataran ini.

Maka, tak ubahnya angkot-angkot di Bandung yang kalau mau berhenti atau maju hanya Tuhan yang tahu, begitu pulalah kereta kami tercinta ini. Kalau masinisnya pengen pipis, bisa saja kereta direm mendadak. Pokonya, Merdekaaa!!! (kebetulan saat acara ini digelar, bertepatan dengan dua hari menjelang HUT RI). Inilah jalur wisata “Wild Wild West Ciroyom-Gunung Padang” (pinjem istilah Budi Brahmantyo, sang guide tur).
Setahu saya, di jalur “bebas merdeka” ini, ada sebuah desa atau kampung bernama Tungturunan. Selidik punya selidik, di kampung ini banyak penumpang yang turun sementara kereta sengaja digenjot pelan. Tujuannya, memberi kesempatan kepada para penumpang untuk meloncat turun, baik penumpang yang berada di dalam, maupun dari atap gerbong jika di masa-masa padat penumpang. Hohoho…I love you full, Indonesia!!

Di tengah-tengah penumpang yang padat merapat akrab, kepala suku kami tidak menyerah. Pasalnya, atraksi sejarah geologi Bandung, antara lain mengenai Ci Meta, sungai yang erat kaitannya dengan peristiwa bobolnya Danau Bandung Purba, ada di jalur ini. Maka, meski kini yang terlihat dari jauh tinggal corong megafon-nya saja, namun suaranya bisa didengar ke seluruh penjuru gerbong kedua. "Ngamen gaya baru neeh," begitu mungkin pikir para penumpang "asli". Untung ternyata tak ada kencleng yang beredar.
Sekitar pukul 10, kereta kami tiba di Stasiun Cipeuyeum. Jujur, legaaa!!! Karena bisa keluar dari kungkungan asap rokok yang tak mau peduli pada para pembencinya. Selamat jalan kereta kami yang lucu, semoga tidak lelah melayani masyarakat menggapai cita-citanya di pelosok daerah.

Kedatangan kami disambut bus AC ITB yang masih gress, yang parkir di halaman Stasiun Cipeuyeum. Bus AC yang menjadikan perjalanan senilai Rp 125 ribu ini menjadi lebih layak diperjuangkan, meskipun goodie bag yang dijanjikan, tidak ada…. ------ruri andayani.

(tulisan ini serial dengan "Gunung Padang, Nasi Liwetmu Nendang", cekidot: http://cekunganbandung.blogspot.com/2009/11/gunung-padang-nasi-liwetmu-nendang.html)