Monday, October 3, 2011

Lava Basalt Purba: Karpet Merah bagi Ci Mahi

Bagaikan gulali merah yang encer karena panas, lava bersuhu ribuan derajat Celcius itu mengalir deras, menerobos, menerabas, menerjang segala hambatan di depannya, mematuhi hukum gravitasi. Pada saat bertemu posisi landai dia menggumpal, bertumpuk-tumpuk, mendorong ujung terdepannya untuk melanjutkan perjalanan.

PADA kontur yang curam, dia terjun bebas memecah genangan air di bawahnya. Sebagian tertinggal dan membeku, sebagian lagi melanjutkan misinya—misi menyusun sejarah alam yang membentuk bumi yang kita pijak sekarang ini.

Namun pada satu waktu, laksana tersihir mata medusa, salah satu ujung lava itu membeku dalam waktu yang cukup cepat sehingga tak sempat mengaburkan identitasnya sebagai ujung lava. Dia kini membeku menjadi batu dalam pola tampak memutar ke atas, bak ingin menggapai bulan namun apa daya energinya kadung habis di perjalanan.

Kisah sang ujung lava membeku ini bukan semacam dongeng Malin Kundang yang dikutuk jadi batu, atau perahu yang menjadi gunung karena ditendang Sangkuriang hingga terbalik. Ujung lava membeku ini benar-benar fakta sejarah. Monumennya bahkan masih bisa kita amati hingga sekarang (atau setidaknya sampai tulisan ini dipublikasikan, mengingat monumen alam ini dikabarkan terancam dibongkar karena di lokasinya berada akan didirikan perrumahan. *Itulah Indonesia). (foto "lava muter", kanan, milik Taufik Hidayat)

Pada 55.000 tahun yang lampau, Gu
nung Tangkubanparahu meletus dahsyat. Aliran lavanya antara lain mengalir melalui jalur yang sekarang dikenal sebagai Sungai Cimahi (Ci Mahi). Satu segmen sungai ini kini berada di satu tempat wisata/perkemahan bernama “Curug Tilu Leuwi Opat” (CTLO) atau juga dikenal dengan nama CIC, di wilayah administrasi Cimahi, dekat Lembang (Bandung Utara agak ke barat). Peristiwa letusan anak Gunung Sunda tersebutlah yang menjadi cikal bakal lava basalt yang jejaknya membentang di tempat wisata tersebut, sepanjangnya kira-kira 3--4 kilometer hingga lokasi “monumen ujung lava” tersebut berada.

Kontur alam yang cukup terjal, membuat pola aliran air Ci Mahi di lokasi ini sangat menarik. Apalagi memang, air Ci Mahi mengalir bagai dialasi “karpet merah” Lava purba Tangkubanparahu berwarna hitam ini, yang membuat pola alirannya makin indah menawan.

***

Akhir 2010, dengan tiket per orang masih Rp 3.000, alam masih sanggup memberikan hiburan mengharukan bagi jiwa-jiwa penikmatnya. Bagaimana tidak mengharukan, selain kondisi hutannya masih tampak baik, di lokasi yang terbilang tidak terlalu jauh dari keramaian Kota Bandung ini, sumber air masih sangat berlimpah yang tiada henti mengalir. Sementara, krisis air bersih mulai menghantui sejumlah lokasi di Kota Bandung sebagai indikasi rusaknya daerah tangkapan air di bagian utara kota.(foto kanan: salah satu jeram di CTLO. Bagaikan gaun pengantin)

Hanya tebaran dan tumpukan sampah saja yang berhasil mengorupsi kenikmatan tersebut, sedikit. Musik dangdut yang tak henti berdentum pada dua kali kesempatan penulis berkunjung ke sana, sesungguhnya tidak terlalu menjadi masalah, karena hanya terdengar pada radius terbatas dari pusat keramaian. Namun menjadi “lucu” ketika irama dangdut remix tersebut bagai melatari tarian sampah-sampah yang berputar-putar terperangkap putaran air Ci Mahi. Ah orang Melayu, nyampah kok nggak kenal tempat.

Menurut keterangan pengelola lokasi ini, CTLO berada di kawasan tanah m
ilik pribadi seluas sekitar 14 hektare (mungkin ini menjadi jawaban kenapa lokasi ini baru lebih dikenal belakangan ini), sementara sungai dan sumber air yang mengalir di dalamnya dikelola pemerintah (PDAM). Namun bukan hanya baru-baru ini saja Ci Mahi dimanfaatkan airnya untuk keperluan air ledeng. Sejarahnya sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Tidak heran jika di lokasi ini banyak ditemukan “situs” irigasi.

Lepas dari “gerbang” irigasi terakhir, suguhan pemandangan kian mengesankan. Jembatan-jembatan bambu makin membuat indah panorama, dengan air Ci Mahi mengalir deras di bawah. Agak menyeramkan sebenarnya jika sampai terpeleset jatuh, apalagi jembatan bambu ini terkadang licin terutama di musim hujan. Pada satu bagian, jembatan bambu ini tidak sekedar menghubungkan sisi satu dengan lainnya, melainkan benar-benar dibangun di atas alur sungai—secara kiri kanan sungai adalah tebing, tak ada akses lain.

Meski air Ci Mahi tidak sebening air Ci Geureuh di Gunung Puntang (selatan Ban
dung) misalnya, namun melihat cadangan air baku yang melimpah seperti ini, rasanya seolah-olah kita tidak akan pernah kehabisan sumber air untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal hulu sungai ini juga sudah tidak perawan lagi. Di posisi atas, ternyata terdapat perkebunan teh dan hutan pinus yang menandakan bahwa lokasi ini sebenarnya sudah tercemari peradaban manusia.

Mata Air dari Situ Lembang
Syukurlah bahwa ternyata mata air Ci Mahi, yakni
Situ Lembang (Situ Lembang adalah sisa kawah purba Gunung Sunda yang berada di kawasan Gunung Burangrang) berada di bawah “pengawasan” TNI. Bahkan karena lokasi ini dijadikan sebagai tempat latihan perang—sehingga masyarakat pun tidak bisa leluasa mengeksploitasi kawasan ini— bolehlah kita berharap bahwa mata air dan lingkungan pendukungnya akan terpelihara dari upaya perusakan. Setidaknya, industrialisasi seperti halnya yang terjadi pada tetangganya, G.Tangkubanparahu, tidak akan menjadi ancaman di sini. Kecuali jika siap keriting terkena ranjau!

Satu areal yang dilengkapi sebuah plang seadanya bertuliskan “Curug Tilu”, tampaknya merupakan obyek “kojo” lokasi wisata ini. Di tempat ini, aliran air menemukan kontur terindahnya sehingga dia jatuh pada dua tebing lava basalt berturut-turut. Inilah “Curug Tilu”. Pemandangan di lokasi ini bahkan bisa dikatakan mirip lukisan-lukisan panoramik khas Indonesia yang sempat terasa standar di era awal ’80-an, namun rasa aslinya ternyata tetap tak terperikan. Lokasi curug ini terdapat pada areal yang cukup luas, dengan begitu pengunjung bisa meng-zoom-in dan zoom-out-kan kameranya ke arah panorama sang curug dari jarak yang cukup jauh.

Seorang Geolog ITB memberi peringkat “Bintang Lima” untuk “atraksi” al
am di lokasi ini. Sayang, kualitas pengelolaannya dan juga kualitas pengunjung pada umumnya, meni Jawa Barat pisaaan!!! Tak ada petugas yang mengingatkan pengunjung untuk tak meninggalkan sampah. Pengunjung pun menikmati keindahan alam sambil makan-makan, tapi meninggalkan sampah-sampahnya itu seolah puas untuk dirinya sendiri saja tapi tidak peduli jika pengunjung lain mungkin akan tercekik oleh sampahnya. Sungguh logika berpikir yang mengherankan—proses menyepelekan kemampuan otaknya sendiri untuk dipakai berpikir lebih banyak.

***

Dua kali mengunjungi lokasi ini, ada teka-teki yang tidak terpecahkan: apa sebab pengelola menamakan lokasi ini “Curug Tilu Leuwi Opat”? Sebab pada lokasi dengan plang bertuliskan Curug Tilu saja, ternyata hanya ada dua curug (air terjun) dan satu leuwi (ceruk/kolam di bawah curug).

Tanya punya tanya, mul
ailah beredar mistikalisasi khas Indonesia. Katanya curug kesatunya adalah yang ada di atas Curug Tilu, sedangkan leuwi pertamanyaa...... si narasumber tidak merekomendasikan untuk ke sana karena katanya lokasi itu sanget alias angker. Padahal, ibu-ibu pemilik warung yang buka lapak di lokasi Curug Tilu saja sudah tidak menyarankan naik ke lokasi lebih atas, karena tampaknya di atas ada warung pesaingnya yang siap menyambut perut lapar para pengunjung.

Hingga kembali turun, tetap tak terjawab: leuwi du
a dan opat(empat)-nya yang mana? Ah, go to heaven dengan istilah-istilah bikinan manusia itu, yang terpenting curug dan leuwi itu sungguh mengesankan dipandang mata, bagai bertemu muka dengan obyek asli yang dilukis seniman-seniman panoramik ‘80-an itu.(ruri andayani)