Sunday, August 16, 2015

Melaut ke Krakatau (2): Ber-homestay di Pulau Sebesi



Dari kejauhan, dermaga Pulau Sebesi tampak manarik. Saya pikir saya akan mendapati satu resort yang eksklusif semacam di Maldives (:P). Namun setelah mendekat, ternyata tidak lebih baik ketimbang dermaga Canti, Lampung. Rupanya banyak peserta lain yang berpikiran sama :D

Video perjalanan ke Krakatau. 
Produksi "visual storyteller" Kompas.com 

Tadinya juga saya pikir bisa mendapati pasar suvenir seperti di Pangandaran, dengan harapan bisa membeli kaos bertuliskan Pulau Sebesi. Aiih tapi ternyata Sebesi hanya sekadar pulau yang cukup besar, mengandung sumber air tawar sehingga layak dihuni manusia, serta memuat satu gunung api yang sudah tidak aktif. Jika dilihat dari kejauhan, gunung ini hampir tiga per empat menguasai daratan P.Sebesi. Atau bisa jadi Sebesi memang pulau gunungapi seperti halnya gunung Krakatau.

Kenyataannya, jangankan disambut dermaga mewah, gerbang ala gapura Agustusan bertuliskan “Selamat Datang di Pulau Sebesi” pun tak ada; kecuali selembar spanduk plastik bertulisan sama dalam bahasa Inggris yang dibentangkan di plang. Sepertinya plang bekas iklan.

Di bawah plang tersebut terdapat satu warung. Saya sempat memesan kopi instan panas seharga Rp 4000 di warung ini; sejak berangkat dari Bandung saya belum bertemu lagi minuman panas. Di sini juga kami dibagi homestay. Jujur, saya agak cemas; tapi dalam hati saya berharap semoga minimal kamar mandinya bersih.

Dermaga Canti, Kalianda, Lampung, Sumatera Barat
Homestay yang saya tempati bersama sembilan peserta lain berada di jalan utama Pulau Sebesi; jalan tanah yang cukup lebar. Dari dermaga jaraknya 100 meteran; berupa rumah penduduk di antara rumah penduduk lainnya. 

Prasangka buruk saya ihwal tempat menginap di pulau rada terpencil ini, terbantahkan. Meskipun terkadang ada ayam masuk rumah, namun rumahnya bersih. Di ruang depan dihamparkan kasur-kasur berseprei, beraroma baru dicuci. Dengan begitu, syarat untuk molor orang kota yang manja, terpenuhi.

Kamar mandinya luas. Sebagai yang dibesarkan dengan gaya kamar mandi tradisional Indonesia; ada bak dan toilet jongkok, hanya satu yang penting: BERSIH! Di tengah kamar mandi ini ada sumur sebagai sumber air tawar. Keberadaan sumur ini agak horor juga di malam hari; berharap tak ada Sadako di dalamnya. Sepulang dari Krakatau, saya sempat nekat kembali ke homestay ini hanya untuk mendapati kamar mandi yang lega dan bersih (tapi ternyata: wakwaw!! :D ikuti terus ceritanya).

Dengan kondisi seperti tersebut, saya berani merekomendasikan rumah milik Ibu Supiani (hmm…sepertinya namanya tidak tepat demikian) ini kepada orang lain yang berniat bermalam di Sebesi. Hanya saja listrik tidak menyala di siang hari. Bagi yang tidak membawa power bank, gawat juga. Padahal batere kamera saya waktu itu sudah menguning. Bisa mewek saya kalau pulang tak membawa bukti dari kamera saya sendiri  bahwa sudah pernah mendarat di Krakatau.

Pintu masuk ke Pulau Sebesi yang... kumuh.
Karena saya menghabiskan kopi dulu, saya tiba di homestay terlambat dibanding peserta lain. Di depan rumah, Ibu Supiani tampak sedang mengobrol dengan teman satu homestay. Saya nimbrung sebelum masuk ke dalam. Mengenai "program" homestay yang diikuti Supiani, dikataannya bahwa dia tidak langsung menyewakan rumahnya ke wisatawan, melainkan ada agen yang mengoordinasikannya.

Menurut Supiani, dia sempat harus meyakinkan suaminya yang sempat tak setuju rumahnya dijadikan homestay. Sebelum rumahnya menjadi salah satu yang bisa dijadikan homestay, si agen mengajukan sejumlah standar yang harus dipenuhi: tentu saja salah satunya soal kebersihan. Dan itu berhasil.

Wanita yang usianya saya duga tak jauh dari saya ini mengungkapkan, rumahnya disewa semalam Rp 200 ribu. Uang itu masuk kantong agennya lebih dulu. Dengan upaya Supiani menata rumahnya untuk menyambut kami, tarif itu terasa terlalu murah. Maka kami pun bersepakat udunan memberi uang tambahan untuknya. Apalagi setibanya kami di homsetay, Supiani menyuguhi kami pisang goreng dan bala-bala.

Sebenarnya kami tak sempat bermalam karena panitia menjadwalkan pukul dua dini hari adalah waktunya melaut ke Krakatau, sekaligus pamit dari Sebesi. Namun saya sempat memanfaatkan kasur-kasur yang digelar untuk tidur sepulang dari “berburu sunset yang gagal”, dan melelahkan pula.

Ihwal berburu sunset ini, semula konsep yang saya dengar adalah dengan naik kapal ke tengah laut. Tapi ternyata ada perubahan, yakni dengan semi “cross country”. Saya pikir, lokasi nonton sunset ini hanya berjarak 100-200 meter, tapi.......1-2-3-4-5 kilometer… masih juga belum sampai. Desas-desus yang beredar setelah sampai di Bandung, kami berjalan hampir 12 kilometer! Walaaaah…

Hampir semua peserta tidak siap: banyak yang tidak membawa minum padahal hausnya bukan kepalang. Saking tak sampai-sampainya, saya dan teman dari grup  homestay 3, mengikuti saran seorang warga untuk numpang “commuter line” berupa dua mobil pick-up.

Sampai berganti dua pick-up, lokasi untuk menonton sunset masih juga belum telihat. Sebelum kedua pick-up ini pergi, kami minta si supir untuk menjemput kami di lokasi terakhir kami turun.

Di depan "homestay" bersama nyonya rumah. Entah kenapa semua merem.
Ketika magrib tiba, kami sampai di satu tempat berupa teras karang yang cukup luas. Warga menyebut lokasi ini sebagai Gubuk Seng. Namun sunset itu tak tampak. Malah langit seperti pucat saja, seolah salah posisi.

Akan tetapi teras karang di Gubuk Seng merupakan fenomena alam yang tidak biasa juga, maka kami pun berfoto-foto. Kami tak mendapat pengetahuan bahwa air pasang akan terjadi.

Ketika kami semua baru saja kembali ke sisi terdalam pantai untuk pulang, air laut tiba-tiba meninggi dan menghempas garang ke posisi dimana sempat bertebaran. Fiuhhh… keputusan yang pas! Allah swt masih  melindungi kami.

Syukurlah komunikasi terjalin baik dengan para supir pick-up. Hanya sekitar 1 km bejalan kaki dari Gubuk Seng, waktu itu suasana sudah gelap, kedua pick-up sudah menunggu di tikungan. Alhamduillah. Di tengah perjalanan, muncul obrolan ihwal cara warga mengangkut kedua pick-up tersebut ke Sebesi.

Sudah pasti bukan “Hercules” yang mengangkutnya. Seperti halnya sepeda motor yang ikut menumpang salah satu kapal kami ke Sebesi, kedua pick-up ini tampaknya juga diangkut dengan cara sama.  

Kedua pick-up ini memang wara-wiri di jalur “mengejar sunset” tersebut, karena keduanya dipakai mengangkut hasil panen cokelat. Warga Sebesi memang mengandalkan salah satu penghasilannya dari menanam cokelat dibanding hasil laut. Tanaman cokelat tak hanya tampak di sepanjang jalur hingga Gubuk Seng, melainkan juga di sekitar homestay.

Sepulang  mengejar sunset yang gagal, saya menyempatkan mandi lagi karena pakaian yang basah oleh keringat. Saya melewatkan acara makan malam, juga acara barbekyuan (entah apa yang dibakar, mungkin ikan yang dibeli di Jawa, hehe...) karena saya memilih tidur. Ketika terbangun sekitar pukul 12 malam, rumah gelap gulita. Ah ya, pasokan listrik diputus, karena saya melihat Supiani memasang lampu tenaga surya. Untung batere hp dan kamera saya sudah penuh.

Gubuk Seng: gak dapet sunset, mejeng tetep wajib (foto punya BB)
Saya mecoba tidur lagi, tapi tidak bisa. Apalagi nyamuk tak henti berusaha mencicip darah saya, meskipun agak terminimalisasi karena saya menggunakan krim anti-nyamuk. Sepanjang terjaga hingga waktu melaut ke Krakatau tiba, saya mendengar hujan turun hingga empat kali (berarti berhenti empat kali juga). Keempatnya deras. Hujan terakhir turun bertepatan dengan persiapan kami meninggalkan homestay, sekitar pukul dua malam.

Seorang peserta tampak cemas. Dia berbicara tanpa ditanya bahwa melaut dalam cuaca buruk begini tidak baik. Tapi lalu saya bilang bahwa hujan akan berhenti, seperti tiga sebelumnya. Benar saja, saat berjalan kaki ke dermaga, hujan sudah berhenti.

Semula, kami ingin nongkrong di atas kapal seperti saat berangkat. Namun panitia menyuruh masuk ke dalam. Selain mengkhawatirkan angin laut yang katanya tak baik, apa pula yang bisa dilihat dalam gelap gulita laut. Perjalanan di tempuh sepertinya sekitar satu jam, namun rasanya lamaaa sekali.

Beda Kasta
Transit di Pulau Sebesi adalah satu alternatif ke Krakatau. Alternatif lainnya adalah melalui Pantai Carita, Anyer, Banten, Jawa. Kalo gitu ngapain jauh-jauh menyeberang dulu ke Sumatra? Rupanya ada perbedaan kasta.

Mereka yang berangkat dari Banten, umumnya menggunakan speed boat yang tarifnya sekitar Rp 4,5 jutaan per delapan orang. Sementara kapal tradisional tarifnya hanya sekitar sejuta, dan bisa mengangkut sekitar 30 orang.

Saat kapal meninggalkan Krakatau, saya sempat melihat pasangan bule--yang perempuan berbikini--merapat di Krakatau menggunakan speed boat. Pastinya mereka dari Banten, karena kami tak melihat ada speed boat bersandar di Sebesi.

Ah, bule kolokan. Padahal dengan homestay seperti yang dikelola Supiani, rasanya worthit worthit saja transit dulu di Sebesi. Bagi saya, kemerakyatan kadang lebih memperkaya pengalaman dan wawasan hidup. Lagipula kemerakyatan semestinya tak melulu harus kumuh dan bau. Cuma memang, para bule mungkin akan sulit untuk beradaptasi dengan gayung dan toilet jongkok, dan agak kurang praivet pastinya untuk berbikiniria :D.

Sebesi dan Masalahnya
Pulau Sebesi, yang mungkin diambil dari nama pohon sebesi, sebenarnya pulau yang cukup penting untuk wisatawan Krakatau kelas backpacker. Namun, entah mungkin saya yang salah persepsi, sektor pariwisata pulau ini seperti hidup segan mati tak mau. Warga seolah-olah melayani wisatawan yang datang sedatangnya saja.

Pulau Sebesi dari Google Earth. Sebesi pada hakikatnya adalah pulau gunungapi, tak ubahnya Krakatau.
Memang tak jauh dari dermaga tampak sejumlah bangunan yang sepertinya memang sengaja dibangun untuk penginapan, tapi seperti kurang terurus. Memang juga, jumlah wisatawan yang datang ke Sebesi tak melimpah. Waktu itu saja, padahal akhir pekan, hanya kami wisatawan yang datang (padahal Krakatau sendiri ramai pengunjung, mungkin yang langsung berlayar dari Canti).

Saya sempat mengobrol dengan ibu-ibu tetangga Supiani, dan terlontarlah masalahnya. Rupanya Sebesi pulau sengketa. Pemerintah, beginilah kira-kira persepsi saya, ogah memberdayakan pulau ini sebagai tujuan wisata karena warga yang menghuni pulau ini juga dinilai tak berhak atas tanah-tanah yang ditempatinya.

Sejarahnya, dulu ada seseorang bernama Ali Hasan, begitu kata salah seorang tetangga Supiani yang tampak lebih vokalis ketimbang yang lainnya, yang karena jasanya diberi hadiah pulau ini oleh seorang raja setempat. Namun kata dia, Ali Hasan tidak menarik uang apa pun terhadap warga, dan malah keluarganya hidup miskin di Jawa.
1. Pulau Sebesi. 2. Krakatau.

Warga yang kini menetap, jelas dia, memang tidak punya sertifikat atas rumah dan tanah yang mereka tempati, namun mereka berharap suatu saat bisa memilikinya. Mereka berharap pemerintah dapat memfasilitasi alih hak tersebut.

Warga Sebesi tidak memiliki tradisi sebagai nelayan. Menurut Supiani, kalaupun ada, ikan ditangkap secara tradisional saja dan hanya untuk konsumsi warga Sebesi dan mungkin sedikit ke luar pulau. Warga Sebesi berasal dari wilayah beragam, bukan asli orang Sumatera, apalagi asli Sebesi. Selain asli Lampung seperti Supiani, banyak juga dari Banten seperti halnya suami Supiani, dan bahkan yang merantau dari Sumedang.

Menurut Supiani yang mengaku sudah 20 tahun menetap di Sebesi, masih mending sekarang sudah ada SMA. Saat awal menetap, SD pun tak ada.

Drama Perjalanan Pulang
Pusat kota Pulau Sebesi tampak lebih padat
Pulang dari Krakatau, kapal yang saya tumpangi ternyata merapat kembali di Sebesi. Panitia rupanya memesan nasi bungkus dari warga Sebesi untuk makan siang peserta. Saya adalah peserta paling berkepentingan untuk mendarat dulu; mencari toilet. Alasannya amat sangat darurat sekali. Ada toilet umum di dekat dermaga, namun saya kalah cepat oleh sejumlah peserta lain.

Cemas menjalari jiwa. Selain mengantri, toilet umum ini juga kecil, dan sepertinya kurang bersih. Dengan keberanian ekstra saya akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah Supiani dengan menumpang sepeda motor warga yang kebetulan melintas di depan toilet umum.

Saya mengiming-imingi Rp 20.000, untuk pergi-pulang. Tentu saja dia bersedia. Hanya semenit, sudah sampai di rumah Supiani. Si warga pemilik motor saya minta menunggu di uar. Dia rupanya kenal juga dengan Supiani. Aiih, mimpi apa harus balik lagi ke homestay yang pemiliknya sudah saya pemiti ini.

Saya berteriak-teriak memanggil Bu Supiani, tapi dia tak ada. Kasur-kasur bekas kami tidur rupanya belum dibereskan sedikit pun. Ah, tak ada waktu menunggu Supiani muncul, saya langsung menerobos menuju kamar mandi.

Tapi betapa kagetnya saya. Kamar mandi itu padat dengan cucian piring, panci, dsb. Wuaduh! Saya sampai harus melangkahi cucian-cucian itu saking numpuknya. Syukurlah, di bak masih tersisa air yang bisa saya gunakan untuk sekalian buang air kecil.

Dengan adrenalin membanjiri otak sehingga kurang hati-hati, tiba-tiba celana panjang ganti yang sudah saya siapkan terjatuh ke lantai kamar mandi yang kotor dan becek. Satu dua tiga detik, sempat terbengong. Aah, tak boleh mikir lebih lama dari itu. Ya sutralah, tak ada opsi lain, hajaaarrr! Syukurlah tak terasa basah di kulit (hihi).

Jarak yang ternyata sangat dekat dengan dermaga, membuat saya akhirnya memutuskan untuk jalan kaki saja. Ojek dadakan itu hanya saya bayar Rp 10.000. Di toilet umum masih ada peserta yang antri. Wuiiih, legaa… meskipun kalau mengingat celana yang jatuh di kamar mandi, rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Namun sampai kembali ke Bandung, toh tak terasa ada rasa gatal di paha, hahaha…

Meski sempat jauh meninggalkan kapal kedua, gara-gara merapat dulu di Sebesi, kami sampai di Canti kalah cepat oleh kapal kedua. Sementara itu saya sudah tak mau ambil pusing dengan rasa cemas. Saya bungkus rasa cemas itu dengan memesan kopi instan di salah satu warung di Canti, sebelum kembali merayapi jalur yang sama, menggunakan angkot, menuju Bakauheni.

Drama berikutnya adalah kondisi Ferry yang lebih jelata. Sebenarnya kabin eksekutif seperti Ferry sebelumnya ada juga. Namun mungkin demi mengirit biaya, panitia memesan tempat duduk yang berjejer di luar, mirip ruang tunggu. Ajibnya lagi, tempat-tempat duduk ini menghadap tepat ke pintu toilet. Dan saya keburu kebagian duduk tepat di depan pintu toilet tersebut. SEMPURNA!!

Akhirnya, jatah kursi saya gunakan untuk menyimpan tas-tas saja. Seperti saat pergi dua malam lalu, saya lagi-lagi berdiri sepanjang perjalanan di dekat pagar pembatas ke laut. Setiap ada perokok yang mendekat, saya tegur agar mencari tempat lain yang agak jauh dari saya (kejam!). Ferry berjalan lambaaat sekali, kadang hampir seperti tidak bergerak; sehingga tak ada angin yang menyapu udara yang pengap dan gerah.

Tampaknya lalu lintas laut ke Merak di siang hari cukup padat. Syukurlah saya tidak merasa lelah, bahkan Ferry seolah sampai lebih cepat dari yang saya duga. Sebenarnya dengan membayar Rp 20 ribu di atas kapal, bisa saja kami masuk ke kabin eksekutif. Tapi seperti saat pergi, tak ada jaminan mendapati udara yang lebih segar di dalam sana.

Menjelang magrib, sampai juga kami di Merak. Saya menyempatkan mampir ke toilet yang super bersih dan modern di koridor yang menghubungkan antara dermaga dan tempat parkir mobil. Saya juga berganti pakaian atas yang sudah sejak di Krakatau menempel di tubuh, supaya bisa pulang dengan damai dan wangi, serta semua yang saya bawa termanfaatkan.

Tadinya saya pikir tarif toilet ini mahal, ternyata kata peserta lain yang juga masuk toilet dan membayari saya, hanya Rp 2000. Di pelataran parkir, bus kinclong ber-AC menjemput kami untuk kembali ke Bandung. Saya pun merasakan kelegaan teramat sangat, seolah sudah dekat ke rumah saja. Sesampainya di rumah, jam menunjukkan pukul satu malam. Saya pun bisa tidur dengan senyum lebar. (cek tulisan ke-1 di sini)***

Monday, July 6, 2015

Melaut ke Krakatau (1): Anakkrakatau, Kau Tumbuh Makin Besar

Subuh, sekitar pukul empat—10 hari sebelum Ramadan 2015, kami sudah merapat di “pulau” Gunung Krakatau. Dalam gelap, kami--50-an peserta tur Krakatau—beringsut menuruni kapal menuju pantainya yang berpasir kelam. Bulan yang sedang menampakkan sabit-sabit terakhirnya, tak cukup sanggup menerangi subuh-hangat Selat Sunda. Penerangan hanya berasal dari sejumlah peserta yang memakai lampu sorot di topinya.

KRAKATAU: yang tampak menjulang dan mengepul adalah anaknya. Krakataunya sudah runtuh pada letusan 1883 yang dahsyat dan legendaris.
Usai turun dari perahu transportasi tradisional beratap rendah, peserta termasuk saya, sibuk memakai sepatu. Saat turun dari perahu, kami umumnya bertelanjang kaki agar sepatu tidak basah. Sebagian lain bergegas melaksanakan solat subuh berjamaah, di kegelapan hutan cemara laut yang merimbun selepas pantai.

Saya sendiri cukup tegang, pasalnya tamu bulanan datang jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Selain itu, saya baru saja terkena cikungunya yang membuat sendi-sendi kaki sakit, linu, dan kaku; sudah lewat dua bulan gejalanya belum hilang sama sekali. Sempat terpikir sekilas untuk tidak ikut naik, karena saya sudah berprasangka buruk bahwa jalur pendakian akan sangat berat.

PETA SELAT SUNDA: 1. Pelabuhan Merak, Banten, Jawa 2. Pelabuhan Bahauheni, Lampung, Sumatra 3. Dermaga Canti, Kalianda 4. Pulau Sebesi 5. Gunung Krakatau 6. Pulau Sebuku Besar dan Sebuku Kecil 7. Pulau Sertung 8.Pulau Panjang 9. Pulau Rakata 10. Gunung Rajabasa, Lampung 11. Anyer (akses lain ke Krakatau). A. Pulau Sumatra B. Pulau Jawa (klik pada gambar untuk mendapatkan gambar lebih jelas)
Keputusan bodoh kalau saya benar-benar tidak ikut naik; saya lupa bahwa Gunung (G) Krakatau beserta anaknya, G Anakkrakatau, bukan gunung daratan. Ketinggiannya hanya 400-an meter dari permukaan laut. Kenyataannya, setelah mendaki sebentar di sela rimbunan pohon cemara laut,  pemandangan puncak Anakkrakatau yang mengepul—bagaikan nasi tumpeng yang masih panas—sudah tersaji. Saya menduga waktu sudah menunjukkan sekitar pukul enam, karena  suasana sudah mulai terang.

Pulau Rakata diintip dari kekayaan vegetasi Gunung Krakatau
Sejak itu, sama sekali tak ada penderitaan mendaki yang biasa saya alami (misalnya degup jantung yang serasa naik ke kepala yang pernah membuat saya pingsan) meskipun kemiringan cukup tajam. Pemandangan dahsyat yang terhampar, sanggup mengalihkan fokus perhatian.

Apalagi semua peserta, alih-alih berlomba segera mencapai posisi tertinggi yang bisa dicapai, malah sibuk jepret sana jepret sini. Belum lagi, karena kami adalah rombongan tur “ngakademis”, dua interpreter tur dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, Budi Brahmantyo dan T.Bachtiar, seringkali berhenti di satu tempat dan memberi kuliah.

Bom Kerak Roti: yakni material vulkanis yang terlempar dari kaldera Anakkrakatau. Bom kerak roti yg tampak pada gambar adalah yang terlempar saat Anakkrakatau meletus 2011 silam
Misalnya saja mengenai fenomena “bom kerak roti” dan “bom tahi sapi”; yakni material-material vulkanis yang terlempar saat Anakkrakatau batuk pada 2012 silam.

G Anakkrakatau pun begitu terbuka, gundul, sehingga rombongan terdepan bisa terlihat dari kejauhan. Situasi ini membuat rasa  takut tertinggal hilang; kalaupun lambat mendaki. Kebetulan sayalah juara pertama paling akhir yang sampai di puncak; puncak tertinggi yang bisa dicapai wisatawan yakni punggungan kaldera G Krakatau.

Menapaki punggungan kaldera Gunung Kakatau. Di dalam kaldera tersebut kini sudah bersemayam sang anak: Gunung Anakkrakatau. Tinggi Anakkrakatau sudah mencapai 400 meter dpl. Setiap tahunnya tumbuh 4 meter.
Kaldera yang terbentuk akibat letusan legendaris pada 1883  inilah yang kini sudah dihuni G Anakkrakatau. T Bachtiar dalam handout yang dibagikan ke peserta, menulis, Anakkrakatau tumbuh empat meter setiap tahunnya.

Sesampainya saya di punggungan kaldera tersebut, ketika kemudian menengadah, wow…. si anak menjulang megah tepat di hadapan saya. Kami beruntung bisa naik sampai setinggi ini, karena jika mengingat kasus rombongan tur lain, mereka datang bertepatan saat Anakkrakatau sedang berdehem. Mereka pun hanya bisa naik sampai beberapa meter di atas area hutan cemara laut. Itupun katanya dengan sedikit memaksa agar pihak pengelola situs berstatus cagar alam ini mengizinkan.

Anakkrakatau dan Anakorang (hehe)
Kisah rombongan lain bahkan hanya bisa menyaksikan Krakatau dengan mengitari perairan sekitar gunung menggunakan kapal. Kami pun sebenarnya sempat diwanti-wanti agar bersiap kecewa karena bisa saja tiba-tiba dilarang turun dari perahu dengan alasan gunung-api super aktif ini mendadak nge-rock.

Padahal, pemandangan dari ketinggian Krakatau begitu memukau. Di depan (jika posisi kita membelakangi Anakkrakatau) P Panjang tampak seperti ikan paus yang sedang mengapung di permukaan. Sedangkan di kanan, P Rakata berdiri anggun nyaris simetris.

Sebenarnya ada satu pulau lagi yang mengelilingi Krakatau, yakni P Sertung. Namun posisi pulau ini berada “di belakang” Anakkrakatau sehingga tak terlihat.

Saat kami turun dari Anakkrakatau, matahari mulai terik, tapi justru mulai banyak rombongan wisatawan lain yang naik. Keputusan tepat mendatangi Krakatau di subuh hari. Hujan yang tampaknya turun semalam di sekitar Krakatau, termasuk saat kami masih di Pulau (P) Sebesi, membuat permukaan Krakatau basah sehingga tidak memantulkan debu.

Tiga hari melelahkan pergi-pulang melintas kemonotonan jalan tol Bandung hingga Merak, Ferry lambat bagai siput yang menumpulkan jiwa, dan lautan luas yang terkadang membosankan, terbayar tunai oleh satu gunung “kecil” yang pernah mengguncang dunia.

Melintas Ibukota dan Naik Ferry Berbau Tujuh Rupa
Syukurlah saya tidak dengan dungunya memilih tidak naik, karena justru tujuan utama tur kami inilah yang memang menjadi pelepas dahaga dari perjalanan menempuhnya yang cukup melelahkan. Salah satu segmen perjalanan yang membuat saya sempat malas ikut  tur ini adalah: naik kapal Ferry. Semasa SMP, saya pernah ikut tur melintasi Selat Sunda ke Bakauheni menggunakan Ferry  bernama Jatra; dan itu sangat membosankan.

Di atas Ferry dini hari, meninggalkan Jawa nun di sana
Belum lagi belakangan ini, mungkin seiring usia bertambah, saya semakin “olo-olo” (manja, belagu). Saya mudah sebel dengan bebauan produk aktivitas manusia, saya apriori terhadap toilet umum; kalau tidak benar-benar mendesak saya akan memilih menahan buang air; minum jika sudah benar-benar haus, selain itu saya makin reaktif terhadap asap rokok, dan masih banyak lagi.

Bayangkan, di Ferry saya sempat menegur seorang bapak yang bersiap menyalakan rokok sambil sibuk mengasuk anak kecil; sepertinya anaknya. Saya bilang pada dia, jangan merokok di dekat atau di depan anak-anak. Padahal saya tahu, itu terutama untuk kepentingan saya agar tidak perlu menghirup asap rokok yang sempat bergumul di mulut dia.

Untunglah di bus yang membawa kami ke Pelabuhan Merak, saya berhasil menduduki bangku terdepan; di belakang sopir. Bangku terdepan bagi saya adalah surga kecil karena bisa mengamati “situasi dunia” dengan leluasa, termasuk mengamati Ibukota yang malam itu puadat merayap (kapan Jakarta tidak padat merayap?). Bantal leher yang gemuk, tak percuma saya bawa meskipun memenuhi hampir sepertiga isi ransel.

Berangkat sekitar pukul empat sore, dan tiba di Merak lepas 12 malam (sepertinya saya kurang akurat ihwal waktu ini). Penumpang Ferry malam itu tergolong padat. Dan saya terseok-seok dibebani bawaan satu ransel dan satu tas tenteng yang penuh menggelembung. Padahal peserta lain hanya dibebani satu ransel di punggung, dan tas selempang untuk barang-barang dengan tingkat keluar masuk yang intensif.

Tapi saya tidak peduli dengan gaya saya yang rempong. Yang penting hati tenang karena semua barang yang saya anggap penting terbawa. Seorang peserta yang tampak minim bawaannya, toh kemudian menyesal tak membawa baju ganti lebih, padahal udara laut memaksa produktivitas keringat berlebih.

Dugaan saya mengenai Ferry, cukup tepat. Apalagi kabin penumpang hanya dilengkapi pendingin ruangan lokal, bukan AC sentral. Bau-bauan yang menguar, sungguh tak cocok dengan hidung belagu saya: campuran antara sedikit bau pesing dari toilet, bau asem keringat, minyak telon, dsb. Penumpang banyak yang tidur di lantai kabin.

Tak tahan, akhirnya saya memilih keluar kabin (rupanya ada peserta lain yang punya masalah serupa dan  bersungut-sungut keluar dari kabin; tampaknya saya cukup obyektif, hahaha…). Tentu saja, luar kabin justru merupakan lokasi pembenaran para lokomotif untuk merokok. Namun syukurlah, asap rokok segera hilang ditelan angin laut. Aroma udara pun lebih alami meskipun seringkali tercium bau asap bahan bakar Ferry yang merayapi Selat Sunda.

Sesekali saya berjalan-jalan ke berbagai posisi: parkiran mobil, koridor luar kabin yang langsung berbatasan dengan laut; hanya dihalangi pagar standar, serta ke area bagian depan kapal. Area depan gelap dan sunyi, tapi jika diamati ternyata digelimpangi penumpang yang tertidur.

Jadi, dalam sekitar dua jam Merak-Bakauheni, saya memilih berdiri di luar kabin. Hadiahnya, saya sempat mendapat sajian dari Tuhan berupa penampakan bintang jatuh. Sesampainya di Pelabuhan Bakauheni, Lampung (mungkin pukul empat), saya mulai diserang kantuk.

Mengakrabi Pulau Sebuku-Kecil dan Umang-Umang
Perjalanan dari Pelabuhan Bakauheni ke Pelabuhan Canti, melintasi Kalianda, menggunakan angkot, saya manfaatkan untuk tidur. Waktu tempuh kurang dari satu jam, tapi saya merasa tertidur cukup nyenyak, padahal mungkin hanya 15 menitan. Bahkan saya masih sempat menikmati suasana Kota Kalianda yang bersih (berbeda dengan kota-kota di Jabar yang nyampah), dengan arsitektur rumah-rumahnya yang unik; ada sentuhan kolonial.
BERKIBARLAH BENDERAKU: Perjalanan dari dermaga Canti menuju Pulau Sebuku Kecil (sebelum ke Pulau Sebesi)

Saya baru ingat, Kalianda adalah kota kecamatan yang pernah dijadikan lokasi Festival Krakatau. Waktu itu (tahun berapa ya?) saya sempat berpikir betapa beruntungnya orang-orang yang bisa mengikuti festival ini.

Saat tiba di Canti, kota pelabuhan kecil yang melayani pelayaran ke pulau-pulau kecil, termasuk ke Krakatau tentunya, saya langsung mencari toilet. Syukurlah satu toilet umum yang tersedia berukuran cukup luas dan yang penting tidak bau, dengan air melimpah. Belum ada antrian pula. Wush wush wush… Wuiiiih… legaa!! Kostum diganti, muka diganti, eh.. dicuci, saya pun bisa lebih ceria menghadapai jadwal tur hari ini.

Sebelum bersandar di Pulau Sebesi, kami berwisata dulu ke Pulau Sebuku Kecil dan Pulau Umang-umang. Pulau-pulau ini lebih tepat disebut gugusan pulau. Di Sebuku Kecil, saya ragu: turun nggak, turun nggak… Soalnya saya melihat peserta lain yang turun ada yang basah sampai melebihi paha. Bagaimana tidak, tangga turun tidak sampai menapak di daratan. Ombak mengombang-ambingkan tangga tersebut.
Merapat di Sebuku Kecil menggunakan perahu transportasi tradisional. Pulau yang di seberang sana adalah Sebuku Besar (maaf fotonya miring)

Tapi pasir putih Sebuku Kecil memanggil-manggil saya untuk turun. Alhamdulillah, selamat, hanya basah di atas lutut. Padahal kalau sedang apes, bisa saja kepeleset dan kecebur; seperti yang dialami salah satu peserta saat turun di Krakatau. Padahal pantai Krakatau lebih landai.

Akan tetapi di Pulau Umang-umang, pantai terlihat lebih curam. Ombak menjadi lebih kencang memukul pantai. Tangga kapal semakin tidak menapak daratan. Saya “merengkog” bagai mobil direm mendadak, tak mau ambil risiko. Bahaya adeng hudaya, kata teman saya mah.

Lagipula suasananya tampaknya tak beda jauh dengan Sebuku Kecil, lah (*menyangkal supaya gak nyesel). Faktanya, Umang-umang kelihatan lebih cakep. Peserta juga masuk ke dalam pulau, tak seperti di Sebuku Kecil yang hanya bermain di pantainya. Sudah barang tentu membosankan menunggu peserta lain selesai bermain di Umang-umang, namun syukurlah saya tak sendiri. (Bersambung ke Tulisan ke-2)

Monday, January 19, 2015

Wow, Ada Lauterbrunnen di Rancabali



Awal 2014 lalu, saya berkesempatan mengeksplor lebih jauh kawasan perkebunan teh Rancabali, negeri jirannya Ciwidey. Jika sebelumnya hanya berhasil menjangkau lokasi terjauh bernama Rancasuni dan Sinumbra, maka kali ini bahkan melampaui Kabupaten Bandung, yakni Cianjur Selatan. Mari bertualang!!

Curug Cisabuk, Cipelah, Kecamatan Rancabali. Coba cari, mana curugnya?
Curug Staubbach, Kecamatan Lauterbrunnen (sumber foto: media.holidaycheck.com)
Bukan kabar anyar bahwa melalui Ciwidey kita bisa mencapai kawasan Cianjur Selatan. Misalnya saya sering mendengar nama pantai Cidaun yang dapat ditempuh via Ciwidey. Oooh rupanya inilah jalurnya: jalur yang jueleeek di wilayah Kabupaten Bandung, dan mulus begitu masuk Cianjur.

Zoom-in: ini dia curugnya! Di atas curug ada kebun teh.
Saking bututnya, sampai-sampai dua truk rombongan acara geowisata yang saya ikuti, truk tentara, memilih pulang ke Bandung dengan berjauh-jauh melalui Cianjur daripada balik lagi lewat Ciwidey. Sang sopir truk tak mau ambil risiko truknya yang ramping beserta isinya terguling, dan memilih buang waktu lima jam lebih lama untuk kembali ke Bandung.

Sementara itu saya dan rombongan kerabat saya yang tidak kebagian duduk di dalam truk, akhirnya membawa mobil pribadi ke sana (tadinya ini mobil bakal ditinggal di Museum Geologi; meeting point rombongan). Kebetulan mobilnya cocok; mobil kabin ganda. Dan "kebetulan" juga sebenarnya kami adalah rombongan yang digratiskan oleh panitia karena satu dan lain hal (*rahasia perusahaan). Meskipun dudukan pantat gak kebagian, tapi alhamdulillah kebagian syal, handout, dan makan siang, hehe...

Di kawasan bernama Cipelah, memang ada turunan (pulangnya tentu jadi tanjakan) curam yang oleh penduduk setempat sampai ditabur sekam supaya tidak licin. Jadi, kami pun mengamini (aamiiin!) jika truk rombongan memilih tak kembali via Ciwidey, karena saya pun yang menggunakan mobil kabin ganda sempat merasa waswas sewaktu melalui turunan tesebut.

Sinumbra
Meski begitu, di sana banyak juga bertemu warga yang menggunakan mobil-mobil biasa seperti Kijang bahkan mobil jadul seperti Hijet1000. Untuk wilayah yang pemerintahannya belum sanggup juga melayani rakyatnya secara maksimal, motor (bebek) sepertinya masih menjadi pilihan yang masuk akal. Ah sudahlah…

Belok ke Arah Sinumbra
Curug Tilu
Saat berangkat dari Museum Geologi, cuaca masih bersahabat. Namun ketika mulai masuk wilayah Kabupaten Bandung (Soreang), hujan deras tak berhenti sampai mobil tiba di Ciwidey kota. Waktu itu, tepat setahun lalu, memang masih sedang musim hujan. Tapi alhamdulillah, saat roda mulai menjejak perkebunan teh Rancabali, hujan berhenti (baru turun lagi saat perjalanan pulang selepas Ciwidey). Jadi kami dapat mengapresiasi alam dengan maksimal.

Memasuki kawasan Rancabali, kita akan bertemu jalan yang bercabang. Plang penunjuk menyebutkan bahwa lurus menuju ke Situ Patengan sedangkan belok kanan menuju Sinumbra dan Rancasuni. Maka, pilihlah jalan yang belok. Sekitar dua kilometer kemudian, jalan akan bercabang lagi: lurus ke Rancasuni, sedangkan belok kiri adalah ke Sinumbra. Lagi-lagi pilihlah jalan yang belok.

Dari mulai percabangan dengan jalan ke Rancasuni, kontur jalan terlihat menurun cukup tajam sembari berkelak-kelok. Tak lama kemudian, ada keramaian yang menyambut. Khas kawasan perkebunan teh dimana pun di Indonesia, rumah-rumah peninggalan zaman Belanda memenuhi ruang pandang. Rumah-rumah ini merupakan bekas peristirahatan para menir preanger planter; pengusaha perkebunan berdarah Eropa, atau yang kata Haryoto Kunto dalam buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” disebutnya sebagai “tukang kebun”.  

Jajan Kue Balok
Dari posisi ini, di atas atap rumah orang, Curug Cisabuk jelas terlihat.
Karena menggunakan mobil sendiri, kami jadi bisa lebih leluasa berhenti di mana pun kami suka. Di dekat pabrik teh di Desa Sinumbra, kami sempat jajan kue balok bikinan warga setempat yang masih puanas, *enyak enyak*, sekalian mencari tempat untuk “buang muatan”.

Sebelum ikut acara geowisata ini, paling jauh jarak yang pernah saya kunjungi di Sinumbra adalah sekitar satu batu besar yang diduga muntahan Gunung Patuha ribuan tahun lalu. Nah, kali ini saya berkesempatan mencapai jarak lebih jauh.

Selanjutnya, perjalanan sangat menyenangkan, dengan pemandangan hamparan kebun teh yang berpola, perdesaan yang seolah-olah jauh kemana-mana padahal desa yang hidup, dan bukit-bukit batu kapur sisa laut dangkal jutaan tahun lampau. Buat saya, pemandangan sepanjang perjalanan ini lebih mengesankan ketimbang tujuan akhirnya, Curug Citambur.

Lauterbrunnen
Seusai “trek stop” pertama di tengah kebun teh selepas Sinumbra, dimana kedua interpreter (seorang geolog dan geografer) menjelaskan fenomena kegeologian di sekitarnya, beberapa peserta minta izin pada Dicky, pemilik mobil kabin ganda, untuk ikut naik di belakang. Mereka mengambil keputusan yang benar, karena dengan menggunakan mobil biasa (bukan truk tentara yang ditutup kain terpal), seluruh pemandangan terbentang.

Jika dilihat via Goole Earth, Curug Citambur yang berada di Kab Cianjur, berada di tegakan bukit yang sama dengan Curug Cisabuk serta Curug Tilu. Dua curug terakhir berada di wilayah Kab Bandung. Nama Cisabuk tampaknya terkait dengan tegakan dinding memanjang yang bagai sabuk.
Sementara truk tertinggal jauh di belakang, kami bahkan sempat ngopi-ngopi sambil menikmati satu pemandangan yang mengingatkan saya pada Lauterbrunnen! Jika nama curug di Lauterbrunnen adalah Staubbach, curug di Cipelah namanya Cisabbuk :D.


1. Curug Cisabuk, 2. Curug Tilu, 3. Lokasi tempat kami ngopi-ngopi sambil memandangi pemandangan Curug Cisabuk dan sekitarnya. Sementara itu garis yang tampak memutih adalah Sungai Cibuni.
Lauterbrunnen adalah satu tujuan wisata di Swiss, dengan pemandangan air terjun yang jatuh dengan bebasnya dari tebing yang nyaris tegak seperti halnya di Cisabuk. Seorang teman di Facebook sempat menertawakan interpretasi saya yang memirip-miripkan kawasan ini dengan Lauterbrunnen, heheh...

Ihwal tegakan tebing di Cipelah ini, sekilas terkesan semacam hasil aktivitas sesar/patahan seperti halnya tegakan tebing di Sesar Lembang. Akan tetapi menurut interpreter geowisata, tebing Cisabuk ini kemungkinan terbentuk karena proses longsor. 

Di posisi lain ada juga air terjun lain yang lebih seperti merayapi dinding tebing. Curug ini disebut Curug Tilu, tampaknya karena garis curahan airnya ada tilu alias tiga. Lokasi kedua curug ini berada di Desa Cipelah, Kecamatan Rancabali.

Curug Citambur
Sekitar 3-4 kilometer kemudian (perkiraan kasar banget), sampailah kami di wanawisata Curug Citambur. Lokasinya berada di Desa Karang Jaya, Kecamatan Pagelaran, sudah masuk Kabupaten Cianjur. Sebagaimana lokasi wisata alam di Jawa Barat, ada kesamaan dalam beberapa hal: agak kumuh di beberapa spot, ada warung dengan tampilan seadanya, dan tidak bebas dari sampah.

Itulah mengapa saya sering kurang suka mendatangi lokasi wisata yang "sengaja dikelola” dan banyak pengunjungnya (untuk membedakan dengan lokasi wisata alam yang sulit dijangkau yang biasanya relatif masih sangat alami dan bersih seperti Curug Siliwangi di Gunung Puntang).

Setelah makan siang, panitia kegiatan geowisata memperingatkan peserta yang ingin mendekati curug agar memakai jas hujan, kecuali berniat berenang. Setidaknya, gadget harus diamankan dari cipratan air curug.

Saya tadinya malas turun. Hanya rasa takut menyesal sudah jauh-jauh datang dan belum tentu bisa kembali ke sini, yang membuat saya akhirnya ikut turun. Merasa sayang juga, sudah bawa jas hujan yang menuh-menuhin ransel, kalau lantas tak dimanfaatkan. Untuk bisa menikmati pemandangan air terun secara utuh, kita memang harus turun. Jalur turunnya curam dan licin; bokong saya pun terpaksa harus membelai mesra tanah becek.
Memang, curug ini lebih indah dilihat dari bawah. Tapi teteeep saya ogah nyemplung. Pasalnya saya membayangkan jalur pulangnya akan sulit; akan makin sulit jika dengan kondisi seperti tikus kecebur di comberan. Eeeh ternyata, jalur pulang yang disarankan sangat landai dan langsung rata menuju ke tempat parkir--menyepelekan usaha yang cukup keras untuk turun sebelumnya *meh. Hanya saja tak ada jalan kering. Ini nyaris seperti sawah; bukan jalan pun jalur. Tanahnya empuk dan “menyedot” kaki seperti mbel.

Nama Citambur diduga berasal dari suara yang dihasilkan oleh jatuhan airnya yang mirip suara tambur. Kendati begitu, ada juga yang mengaitkan dengan sejarah zaman-zaman kerajaan di mana sering terdengar pasukan kerajaan membunyikan tambur (cmiiw :D). Sumber air curug ini berasal dari Gunung Kendeng.

Dalam perjalanan pulang, kami harus berbagi kabin dengan seorang peserta lain yang masih sepupu saya dengan anaknya. Dia tidak mau melanjutkan perjalanan menggunakan truk karena harus memutar ke Cianjur. Ketika kamu sudah melaju pulang sejauh sekitar dua kilometer, salah seorang interpreter “status quo” kegiatan geowisata ini (yang kebetulan juga masih saudara saya), sampai memanggil kami kembali ke gerbang tiket agar menjemputnya. Dia memilih berhujan-hujan dan terkocok-kocok di kabin terbuka ketimbang harus menghabiskan waktu berjam-jam melalui jalur Cianjur.

Besoknya kami mendapat kabar, ketika kami sudah sampai di Bandung sekitar pukul 7-8 malam, mereka baru sampai di Museum Geologi lepas tengah malam. Wow, geowisata memang cenderung wisata minat khusus yang kadang harus penuh pengorbanan untuk berkompromi dengan alam.** 

Curug Citambur dari arah kedatangan


Rombongan tagoni mejenk sejenak untuk promo sitkom terbaru :D, dengan latar Curug Cisabuk yang tampak cuma segaris putih (foto nyomot punya Deni Sugandi dari facebook)



eng ing eeng...