Thursday, November 19, 2009

GUNUNG PADANG, NASI LIWETMU NENDANG

(lanjutan dari tulisan: Kereta Dua Gerbong yang Humoris --tp://cekunganbandung.blogspot.com/2009/09/kereta-dua-gerbong-yang-humoris.html )

DARI jalur utama Bandung Cianjur (Warungkondang), bus berbelok di suatu daerah/kecamatan yang seingat penulis bernama Gekbrong (halah!). Dari pangkal jalan ini, lokasi Situs Gunung Padang ternyata masih cukup jauh. Sebelum sampai di sana, kami menyempatkan dulu mengunjungi Terowongan Lampegan. Pada jidat terowongan ini, tertulis 1879-1882.

Sampai tahun 2006, terowongan ini sebenarnya masih selalu dilalui kereta oranye kami itu (baca artikel: Kereta Dua Gerbong yang Humoris). Namun karena di jalur antara Cipeuyeum dan Lampegan sempat mengalami longsor dan sampai saat kami datang perbaikannya masih belum tuntas, maka terowongan ini sekarang hanya dimanfaatkan warga setempat sebagai akses memotong jalan.

Anehnya, meski sudah sejak 2006 sang duplikat Si Gombar -- kereta api oranye kami itu-- tak lewat terowongan ini lagi, warga setempat masih seringkali mendengar suara “Si Gombar” menjerit-jerit, terlebih di tengah malam buta. Ah, “Si Gombar” tak rela dirinya digantikan sang duplikat.

Di tengah kemarau yang masih berat di awal Agustus 2009, kami pun beringsut dari pelataran Stasiun Lampegan menuju bus untuk segera menuju tujuan utama: Situs Gunung Padang. Saya menunggu kejutan berikutnya seperti yang dijanjikan penyelenggara tur ini: PERKEBUNAN TEH!!

Berhubung pada plang Stasiun Lampegan tertulis bahwa ketinggian stasiun itu hanya 600-an meter di atas permukaan laut, penulis berpikir lokasi kebun teh pasti masih cukup jauh. Tapi ternyata hanya beberapa menit kemudian, panorama khas kebun teh sudah terpampang. “Suejuuuk!!!” Ya iya laaah…masih di dalam bus ber-AC.

Begitu sampai si suatu persimpangan dengan satu jalan ke arah bawah, rombongan diturunkan. "Selamat Datang di Perkebunan Teh Panyairan". Kami pun siap-siap menarik napas panjang untuk menghirup udara sejuk. Tapi...… Ah…penonton (agak) kecewa! Ternyata udara di luar tak sesejuk di dalam bus. Kemarau tahun ini memang cukup kejam!! Atau mungkin posisi perkebunan teh Panyairan memang tidak terlalu tinggi. Saya menduga, ketinggiannya belum sampai 1000 meter (??).

Walau bagaimana, berjalan-jalan di antara kebun teh selalu memberi sensasi tersendiri. Meski tiba-tiba.... rute jalan mulai tak bersahabat: curam, berdebu, dan licin! Teganya! Padahal banyak peserta yang sudah berusia di atas 60 tahun. Pihak penyelenggara beralasan, "kalau gak ada acara teawalk-nya, gak seru". Iya juga sih! Untungnya, pemandangan ke arah bawah, ke suatu desa –mungkin Desa Gunung Padang— cukup menyejukan mata. Suatu desa kecil yang seolah-olah berada di antara kehijauan alam.(foto kanan: menatap bukit Gunung Padang tepat di tengah)

Lepas pukul 12 siang, sampailah kami di kaki Gunung Padang yang lebih tepat disebut bukit. Dalam keadaan letih, lelah, begah, nyorocod tu’ur (lutut bergeletar), kami disambut “nasi liwet buffet”. Masakan orang Gunung Padang enak juga --nasi liwetnya terasa nendang, senendang batu-batu andesit Gunung Padang kalau diayunkan ke pantat anda (ahaha, pis ah pren, tapi lauk-pauknya jujur, enak kok).

Setelah kenyang, secangkir (tepatnya se-gelas "belimbing") kopi susu instan panas seharga Rp 2.000, sanggup melebarkan lagi neuron-neuron di batok kepala yang sempat mengkeret akibat digempur cuaca panas. Otak nge-hang, menjadi fresh kembali. Wahai “sejuta tangga” (cuma 300-an ding), kami datang!!

Di tangga terakhir menuju puncak Gunung Padang --yang juga nyaris menyisakan napas terakhir (hehe)-- fenomena uniknya susunan batu-batu peninggalan zaman Megalitik, sanggup menepis godaan untuk duduk menggelesot pada mulusnya permukaan batu andesit terakhir yang menjadi bahan penyusun tangga. Bujangga Manik, kami telah berada di lokasi tempatmu berharap bisa bertemu dengan Tuhanmu (lihat kisah singkat perjalanan Bujangga Manik mengarungi P.Jawa di halaman 16 buku Wisata Bumi Cekungan Bandung).

Menurut Yuda Buntar, salah seorang pengelola situs purbakala Gunung Padang, di masa kakek nenek-nya, pada malam-malam tertentu di atas bukit Gunung Padang, sering terdengar suara-suara musikal, dan tempat itu menjadi terang benderang. "Kami lalu menamai bukit ini dengan Gunung Padang (gunung terang)," ujarnya. (lihat: http://www.beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_jawa&id=12211&sub=Artikel&page=16)

Sayang, kemarau Agustus berhasil menepis jauh-jauh datangnya halimun, yang sebenarnya bisa lebih menguarkan aura mistikal Gunung Padang. Kami mungkin harus menginap di atas jika ingin bertemu kabut Gunung Padang, karena menjelang sore --saat kami sudah turun-- hujan pun turun juga, meretas debu-debu halus tanah perkebunan teh Panyairan. Saat bus beranjak meninggalkan Panyairan, kabut pun turun mengantar kepergian kami untuk kemudian dihadang kemacetan parah sejak Citatah-Padalarang. Ramainya Jalan Pasteur di malam minggu, menyambut kepulangan penulis kembali di Bandung.

Jejak Bujangga Manik di G.Padang
Tawaran menikah dengan putri yang cantik pun ditolaknya. Sang Pangeran memilih memenangkan rasa ingin tahunya tentang tanah air tempatnya tinggal dan dilahirkan. Maka, dia pun memutuskan untuk melakukan perjalanan kedua, setelah perjalanan pertamanya yang kurang memuaskannya.

Bujangga Manik, adalah seorang tokoh nyata dari abad ke-17. Semangatnya untuk mengetahui bagaimana sebenarnya bumi tepatnya berpijak ini, telah melampaui insting berpikir yang ada di kepala-kepala manusia kontemporer.
Apalagi pangeran muda dari Kerajaan Pakuan, Bogor, ini pun bisa menulis. Dengan segala keterbatasan pada masanya, sang pangeran menjadikan daun-daun lontar sebagai media untuk mencatatkan kisah perjalanannya mengarungi Pulau Jawa, dengan berjalan kaki.

Dalam salah satu lontarnya yang kini tersimpan aman di Museum Bodleian, Inggris (syukurlah), Bujangga Manik berujar, dia sudah bisa “tjarek djawa” (berbicara dalam bahasa Jawa). Beliau rupanya telah berhasil mencapai tanah orang-orang yang tinggal di timur kerajaannya.

Di akhir perjalanan keduanya ini, Bujangga Manik menemukan kabuyutan. Tertulis di lontarnya, kabuyutan ini berada di hulu Ci Sokan, Cianjur Selatan. Dia menggambarkan tempat ini sebagai tempat agung yang berundak-undak. Adakah ini Situs Gunung Padang di Lampegan, Campaka, Cianjur? Sang pangeran kemudian membenahi kabuyutan tersebut dan tinggal di sana... Persiapan perjalanan terakhirnya menuju Tuhannya (Pendahuluan buku "Wisata Bumi Cekungan Bandung"). ---ruri andayani

Rombongan Tur Situs Megalitik Gunung Padang, Sabtu/15 Agustus 2009

Wednesday, September 23, 2009

KERETA DUA GERBONG YANG HUMORIS

Pagi itu kawasan Stasiun Ciroyom mulai menggeliat. Para pengais rezeki dengan bermodalkan selembar kain untuk alas dagangannya, sudah menduduki posisi masing-masing yang mereka anggap hoki, mungkin. Dagangan pun digelar. Mulai kaos kaki, mainan anak, hingga sepatu/sandal. Suasana ini tampaknya tidak banyak berubah sejak 1970-an.

Serangkaian kereta api berwarna oranye, tampak menunggu dengan sabar agar gerbong-gerbongnya terisi muatan. Hingga waktu yang ditetapkan sebagai jadwal keberangkatan (pukul 07.45) tiba, si kereta masih betah nongkrong di stasiun ini. Gerbong-gerbong dengan kursi berhadap-hadapan seperti di angkot ini, memang masih belum terisi penuh. Sepertinya tak ada beban bagi dia untuk berangkat tepat waktu.

Kereta ini tak ada bedanya dengan kereta api ekonomi pada umumnya: dekil, dhuafa, proletar, dan sejenisnya. Hal ini berbanding sejajar dengan tarif tiketnya yang cuma Rp 1.500, hingga Stasiun Cianjur (boooo!!!). Meski begitu, penampilan penumpangnya tidak se-dhuafa yang dibayangkan. Mereka kebetulan saja hanya rakyat yang rezekinya tidak sebaik mereka yang memilih naik travel, bus AC, atau kendaraan sendiri.

Baru ketika waktu sudah mau beranjak ke pukul 09.00, ketika mulai tampak ada penumpang yang berdiri --menandakan kursi-kursi sudah terisi-- mulailah sang lokomotif terbangun dari kantuknya. “Tuiiit!!…tuiiiit!!” seru si lokomotif. Loh kok, haree geenee suara kereta masih seperti itu, mengingatkan pada kereta-kereka uap abad pencerahan?? Dan, entah disengaja atau tidak, kereta ini lah yang saban harinya menapaktilasi jalur “Si Gombar”, kereta uap yang pada masa awal abad ke-19 juga merayapi jalur yang sama.

Lepas dari Stasiun Ciroyom yang berantakan bagai usus terburai, suasana gerbong masih lapang, seolah-olah tidak ada masalah untuk menjadi rakyat jelata. Sang kepala suku rombongan Tur Megalitik Gunung Padang dari P2PAR ITB yang punya ide '"aneh" ini, masih bisa bergaya laksana guide kereta wisata ke pergunungan Swiss. Dengan corong megafon yang mengacung-acung di tengah penumpang yang terbengong-bengong keheranan, mulailah diterangkan “bab pendahuluan” dari tur ini.

Kira-kira lepas Stasiun Cibeureum, suasana gerbong --setidaknya di gerbong kedua-- mulai krodit (ini serapan dari kata crowded). Penumpang mulai banyak yang tak kebagian tempat duduk. Bau-bauan tujuh rupa mulai menyambar-sambar hidung. Untung masih pagi, jadi belum terlalu menyengat. Yang tak terhindarkan adalah kemunculan para “lokomotif” berbahan bakar bako di dalam gerbong (lokomotif kok naik lokomotif). Kalau yang model begini mah, tak peduli di tempat jelata ataupun tempat elit, klepas-klepus teruuus.

Para biduan amatiran pun mulai cari posisi, berbagi giliran memamerkan suara-suaranya yang lumayan lah daripada lumanyun. Mulai lagu pop sampai dangdut. Dan bagikan sudah ada koordinasi antar masing-masing pencari nafkah, semua mendapat giliran melintasi gerbong secara rapi. Ada tukang tahu bahenol nan menor yang menepuk-nepukan lembaran duitnya ke tahu-tahu dagangannya yang tak kalah bahenol, seraya berteriak “penglaris…penglaris.” Waw, tahu bahenol itu kini beraroma uang kertas dekil nan lecek, vaksinasi alami bagi rakyat jelata.

Tukang-tukang minuman kemasan bermodalkan roda dengan wadah dari ember-ember besar bekas cat tembok, bergiliran melintas. Ada barang 10 kali bolak-balik selama jarak antara Stasiun Ciroyom dengan tujuan akhir rombongan, Stasiun Cipeuyeum. “Eyooooow!!!” teriak nyaring salah seorang di antaranya, berusaha menarik perhatian, sekaligus menyingkap kepadatan penumpang. Wajah si pemilik hak cipta teriakan ini begitu percaya diri, bagaikan melintas di wilayah kekuasaan. Tak ada senyuman ramah apalagi genit demi merayu penumpang. Toh, dagangannya teteeep laris.

Lepas persimpangan dengan jalur rel buat kereta-kereta gagah yang menuju Jakarta, tepatnya di daerah Purwakarta, “Si Gombar” abad 21 ini bisa menghela napas legaaa. Di jalur berikutnya yakni jalur kereta yang menghubungkan Bandung menuju Cianjur ini (dulu sampai Sukabumi), tak ada para kereta ningrat yang harus didahulukan melintas. '"Si Gombar" adalah penguasa di dataran ini.

Maka, tak ubahnya angkot-angkot di Bandung yang kalau mau berhenti atau maju hanya Tuhan yang tahu, begitu pulalah kereta kami tercinta ini. Kalau masinisnya pengen pipis, bisa saja kereta direm mendadak. Pokonya, Merdekaaa!!! (kebetulan saat acara ini digelar, bertepatan dengan dua hari menjelang HUT RI). Inilah jalur wisata “Wild Wild West Ciroyom-Gunung Padang” (pinjem istilah Budi Brahmantyo, sang guide tur).
Setahu saya, di jalur “bebas merdeka” ini, ada sebuah desa atau kampung bernama Tungturunan. Selidik punya selidik, di kampung ini banyak penumpang yang turun sementara kereta sengaja digenjot pelan. Tujuannya, memberi kesempatan kepada para penumpang untuk meloncat turun, baik penumpang yang berada di dalam, maupun dari atap gerbong jika di masa-masa padat penumpang. Hohoho…I love you full, Indonesia!!

Di tengah-tengah penumpang yang padat merapat akrab, kepala suku kami tidak menyerah. Pasalnya, atraksi sejarah geologi Bandung, antara lain mengenai Ci Meta, sungai yang erat kaitannya dengan peristiwa bobolnya Danau Bandung Purba, ada di jalur ini. Maka, meski kini yang terlihat dari jauh tinggal corong megafon-nya saja, namun suaranya bisa didengar ke seluruh penjuru gerbong kedua. "Ngamen gaya baru neeh," begitu mungkin pikir para penumpang "asli". Untung ternyata tak ada kencleng yang beredar.
Sekitar pukul 10, kereta kami tiba di Stasiun Cipeuyeum. Jujur, legaaa!!! Karena bisa keluar dari kungkungan asap rokok yang tak mau peduli pada para pembencinya. Selamat jalan kereta kami yang lucu, semoga tidak lelah melayani masyarakat menggapai cita-citanya di pelosok daerah.

Kedatangan kami disambut bus AC ITB yang masih gress, yang parkir di halaman Stasiun Cipeuyeum. Bus AC yang menjadikan perjalanan senilai Rp 125 ribu ini menjadi lebih layak diperjuangkan, meskipun goodie bag yang dijanjikan, tidak ada…. ------ruri andayani.

(tulisan ini serial dengan "Gunung Padang, Nasi Liwetmu Nendang", cekidot: http://cekunganbandung.blogspot.com/2009/11/gunung-padang-nasi-liwetmu-nendang.html)

Tuesday, July 21, 2009

CEKUNGAN BANDUNG: KEINDAHAN YANG SARAT ANCAMAN

CITRA Cekungan Bandung hasil jepretan Inna Dewiyana salah seorang peserta “Jajal Geotrek I”, yang diambilnya dari puncak Gunung Batu, begitu mengesankan salah seorang teman facebook-nya yang berasal dari Chicago, Amerika Serikat (AS). “I wish, i was with you when you took this picture. It's so beautiful there,” tulis Jennifer Ivaska McMillan, saat mengomentari foto tersebut.



Pagi itu, sekitar pukul 10.00, di tengah kemarau Juli 2009 yang sedang merekah-rekahnya pada hari ke-12, puncak Gunung Batu - Lembang memang sedang menyuguhkan tampilan terbaiknya. Panorama Cekungan Bandung di arah selatan kami --para peserta Jajal Geotrek I-- itu, bak lukisan alam yang menyihir untuk tidak banyak-banyak memalingkan wajah ke arah lain

Satu-satunya pesaing adalah pemandangan ke arah utara, yakni ke penampakan Gunung Burangrang dan Gunung Tangkubanparahu, yang terjelas yang pernah dilihat penulis dalam beberapa kali kunjungan ke puncak Gunung Batu. Namun tak ada drama aktual yang bisa dibayangkan di sana kecuali legenda ala mitologi Yunani, Oedipus: yakni Sangkuriang yang menendang perahu setengah jadi karena cintanya ditolak sang ibu kandung. Sedangkan di bawah sana, di arah selatan, drama kehidupan manusia terkini membentang di hadapan mata: drama keindahan alam ciptaan-Nya, sekaligus keprihatinan ciptaan manusia.

Dari ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut ini, sulit diterima bahwa sehari-harinya --sebagai warga Bandung-- kami hidup dengan ditelikung kabut polusi, kabut yang sarat zat karsinogenik si pencetus kanker. Kami pun berdecak --sampai muncrat-muncrat-- demi melihat panorama pergunungan yang juga menelikung Cekungan Bandung. Di selatan sana, berjajar pergunungan, mulai G.Malabar dan G.Patuha. Menerus ke barat bisa terlihat citra G.Gede-Pangrango (Sukabumi-Bogor). Bahkan ciri strato G.Cikurai yang bagaikan piramid (pada foto di atas, tampak paling kiri), mencuat penuh pesona, mewakili Garut.

Andai berdiri di posisi sebaliknya, misalnya dari ketinggian G.Puntang yang memuntang (menggelayuti) pergunungan Malabar di posisi selatan, tentulah yang tersaji adalah hamparan pemandangan Cekungan Bandung arah utara dengan latar G.Burangrang, G.Tangkubanparahu, G.Bukittunggul, G.Palasari, G.Manglayang, dan boleh jadi G.Tampomas di Sumedang. Komplitlah sudah pesona keindahan Cekungan Bandung. Akan tetapi keindahan ini ternyata, menyimpan ancaman.

"Silent Killer"
Nyata sudah ancaman itu. Dari puncak “monumen” Patahan Lembang ini (bukit batu yang tampak pada kiri foto bawah), kian ke barat kabut polusi tampak kian kecoklatan. Kami menduga-duga --dugaan yang sangat beralasan-- bahwa semakin ke barat Bandung semakin dipadati pabrik. Tentu saja ditambah emisi gas buang kendaraan berbahan bakar fosil, yang jumlahnya semakin menyesakkan dada.

Cekungan Bandung, bekas hamparan air raksasa yang kini menjadi hamparan padatnya perumahan dan manusia, memang fenomena alam yang tiada tara. Namun, mangkuk raksasa ini sebenarnya bagaikan silent killer bagi para penghuninya. Kabut polusi yang menyaput angkasa Bandung, dan dari tahun ke tahun semakin terakumulasi, adalah alasan mengapa suhu Kota Bandung makin memanas. Sebelum Kutub Utara meleleh pun, Bandung telah menjadi contoh sempurna efek rumah kaca. Fenomena yang belakangan ditakuti Al-Gore.

Untuk jangka lebih pendek dari pemanasan global, kabut yang sarat karbonmonoksida ini bisa menjadi pencetus penyakit kanker. Untuk jangka lebih pendek lagi, smog alias smoke dan fog ini dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan akut. Dan tanpa kita sadari, emisi gas buang kendaraan (terutama lagi dari bahan bakar yang mengandung timah hitam/timbal), telah menghambat perkembangan otak anak-anak usia sekolah dasar. Walhasil, anak-anak yang terlalu sering terpapar emisi gas buang kendaraan, bisa jadi “lemot”.

Ancaman Gempa
Polusi smog adalah ancaman yang sudah bisa dibaca. Namun Bandung memiliki potensi ancaman lain, yang bisa jadi sekali datang langsung merusak dan mematikan banyak manusia. Namun, siapa pun tak bakal mengetahui kapan ancaman ini akan tiba.

Sedari awal tulisan, nama Patahan Lembang telah disebut berulangkali. Dari sini lah ancaman itu mengintip. Adanya Patahan Lembang di dekat Cekungan Bandung, sebenarnya bagaikan keberadaan lempeng Indo-Australia yang bertemu lempeng Eurasia di sepanjang pantai barat Sumatera. Kedua lempeng ini pada pada 26 Desember 2004 "bersalaman" hingga mendatangkan tsunami ke Aceh.

Meski telah berabad lamanya tidak aktif, namun Patahan Lembang adalah ancaman nyata bagi bencana gempa bumi di Kota Bandung. Dalam skala kecil, seismograf yang di tanam di puncak Gunung Batu, senantiasa mencatat adanya gerakan kerak bumi. Sejauh ini, gempa-gempa kecil itu umumnya terpicu aktivitas vulkanik G.Tangkubanparahu.

Sekedar mengingatkan kembali, Gunung Batu (bukit batu yang tampak pada kanan foto di atas) adalah bukit batu yang pada 27.000-an tahu lalu mencuat ke permukaan akibat gerakan dahsyat kerak bumi yang terpicu meletusnya G.Tangkubanparahu kala itu. Bayangkan jika patahan ini suatu saat aktif kembali, dampaknya akan sangat berat bagi kota Bandung. Sayangnya, pembangunan di Cekungan Bandung tidak didasarkan pada konsep mitigasi bencana, bahkan di masa penjajahan Belanda pun. Mungkin karena aktivitas Patahan Lembang memang teramat sangat langka. Patahan ini bergerak terakhir pada 500 tahun yang lalu dan menghasilkan gempa dengan magnitud 6,6 SR. (*)

Di Kampung Batulotjeng, tempat "berdiamnya" si jabang bayi batuloceng yang sekilas berbentuk seperti lonceng, bentuk cabe pun bagaikan lonceng. Entah ada hubungannya atau tidak dengan nama kampung ini.

Ke-46 peserta "Jajal Geotrek I", berpose dengan latar plang "Bukittunggul", seusai mengunjungi situs Batuloceng di Lereng G. Palasari yang berada di seberang G.Bukittunggul, Minggu (12/7/09). Jajal Geotrek I adalah bagian dari upaya "membuktikan" rute "Geotrek 2" yang terdapat di buku Wisata Bumi Cekungan Bandung. Kegiatan ini dipandu langsung oleh kedua penulis buku tersebut, Budi Brahmantyo dan T.Bachtiar. Kegiatan ini diselenggarakan oleh penerbit Truedee Pustaka Sejati

Menimang "Jabang Bayi", Memeluk Menhir

BIARPUN orang "bule" dikenal rasional dan sangat tidak percaya tahayul, namun Alison Victoria Thackray, tak peduli anggapan itu. Barangkali, kalau sudah berada di negeri berjuta mistisisme, siapapun akan menjadi lebih kompromis terhadap irasionalitas.

Sesampainya di lokasi tempat batuloceng disimpan, di suatu keteduhan lereng Gunung Palasari, Lembang Timur, wanita asal Inggris ini tak perlu menunggu antrian panjang para peserta "Jajal Geotrek I" untuk memutuskan "menimang" si jabang bayi batuloceng. Menurut kuncen batuloceng, Maman, ritual tersebut harus dilakukan sebelum seseorang dapat memeluk satu situs menhir bernama batukujang (??), seraya memanjatkan permintaan pada Tuhan.

Seusai menimang batu berbentuk seperti botol air galon atau sekilas seperti lonceng seberat puluhan kilogram tersebut, ibu satu anak ini pun dapat memeluk mesra menhir bernama batukujang itu, bagaikan Heydi Awuy sedang memetik harpa kesayangannya.

Batuloceng, adalah satu situs yang telah dilindungi sebagai cagar budaya, yang dianggap keramat oleh penduduk setempat di kampung bernama sama: Kampung Batuloceng. Suatu waktu, menurut penuturan Mak Emi (alm), kuncen situs Batuloceng generasi kedua, batu tersebut pernah meramalkan kedatangan Jepang ke Indonesia. Bahkan penduduk sana pun memercayai bahwa batu ini bisa meramalkan bakal terjadinya bencana gempa, semacam seismograf metafisis (lebih lanjut, lihat buku Wisata Bumi Cekungan Bandung, Geotrek 2).

Selain situs Batuloceng, di kawasan antara lereng G.Bukittunggul dan G.Palasari, lokasi dimana Kampung Batuloceng berada, juga terdapat situs Babalongan. Kesemua situs tersebut menandakan hadirnya budaya megalitik di kawasan tersebut. Adanya peninggalan budaya megalitik juga diperkuat dengan ditemukannya fenomena punden berundak. (naskah & koleksi foto: ruri andayani)

Monday, June 22, 2009

WISATA BUMI CEKUNGAN BANDUNG

TESTIMONIAL:
@Dewi Lestari (novelis): tanpa berusaha menakut-takuti, buku ini membunyikan alarm kita semua untuk sadar dan peka akan berbagai kerusakan yang kita buat.
@Andy F Noya (jurnalis/host "kick andy): Lupakan sejenak makanan enak dan factory outlet, karena atraksi sejarah alam bandung yang ditawarkan buku ini lebih menantang untuk dijajal.
@Iwan "Abah" Abdurrahman (budayawan/tokoh Bandung): Saya merasa beruntung membaca buku ini, karena saya serasa mendapat bekal untuk seolah-olah dapat "menembus waktu".
@Acil Bimbo (seniman/budayawan/tokoh Bandung): Buku ini akan menuntun kita menjadi manusia yang lebih menghargai kearifan alam.
@Her Suganda (jurnalis senior, penulis buku "Jendela Bandung): Membaca buku ini, kita seperti dituntun dalam melakukan perjalanan dan "petualangan" menyusuri seluruh pelosok Dataran Tinggi Bandung dengan latar belakang sejarahnya.


SINOPSIS
Penulis : Budi Brahmantyo & T Bachtiar
Harga : 70.000
Hlmn : 276
Penerbit : Truedee Pustaka Sejati
(info pemesanan lihat di bawah)

Jika berjalan-jalan di mall BIP, Bandung, 20.000 tahun lalu, tahukah bahwa kita sedang bermain kecipak air di pantai Danau Bandung Purba? Turun sedikit ke Taman Balaikota, air akan menelan kita hingga sepinggang. Sementara jika kita berbelanja di kawasan Alun-alun Bandung pada masa yang sama, kita seolah-olah sedang menyelam di kedalaman air 11-10 meter. Bandung dahulu kala, memang sebuah danau raksasa!
Faktanya antara lain terlihat dari toponim (nama tempat berdasarkan sejarah topografinya) daerah-daerah di Bandung. Toponim tersebut mengidentifikasi bahwa di tempat-tempat itu pernah ada ranca (rawa), situ (telaga), bojong (tanjung), teluk, dll. Diduga, daerah-daerah tersebut merupakan sisa-sisa genangan danau purba tersebut yang dikenal dengan nama Situ Hyang (Danau Dewa). Seorang Geolog, MAC Dam, meneliti bahwa di beberapa wilayah yang diduga dulunya merupakan dasar Situ Hyang, terdapat sisa-sisa endapan khas danau.


Ingat Legenda Sangkuriang? Kisah mengenai pria yang mencintai ibu kandungnya sendiri, namun karena marah tidak bisa menikahi sang ibu, Sangkuriang menendang perahu yang tengah dibuatnya hingga terbalik. Perahu yang “nangkub” alias terbalik itu, lalu menjadi kisah yang melatari legenda Gunung Tangkubanparahu. Alkisah, legenda tersebut menyebut-nyebut adanya danau raksasa yang ingin dilayari Sangkuriang bersama Dayang Sumbi.


Situ Hyang, diduga surut 16 ribu tahun lalu. Dua Geolog kebangsaan Belanda, GHR von Koenigswald dan RW van Bemmelen, menemukan bahwa di ketinggian yang diduga beberapa meter di atas permukaan air danau, terdapat peninggalan artefak-artefak manusia prasejarah yang menghuni Bandung pada masa itu. Artefak tersebut antara lain berupa mata panah, pisau untuk menyayat daging, dll, terbuat dari batu obsidian yang terkenal setajam silet.
Tertarik mengetahui sejarahnya? Buku ini akan memandu anda menjelajahi Bandung, seolah-olah menapaktilasi jejak-jejak nenek moyang orang Bandung di masa purba. Di beberapa tempat seperti Dago Pakar dan Citatah, kita bahkan bisa membuktikan keberadaan konco-konco Mr Flintstone tersebut, meski kondisinya sudah tidak karuan akibat ketidakpedulian manusia.
Buku “Wisata Bumi Cekungan Bandung” adalah buku “saku” panduan perjalanan (memuat peta geotrek ke sejumlah lokasi wisata bumi). Meski dirancang sebagai buku saku, buku ini sarat pengetahuan yang ditulis dengan gaya ringan yang enak dibaca. Dengan menyusuri ke-9 geotrek yang ada di buku ini, kita bagaikan sedang membuka buku sejarah terbentuknya Cekungan Bandung dan sekitarnya. Geotrek-geotrek tersebut meliputi antara lain Gunung Tangkubanparahu, Gunung Batu (Lembang), Gunung Kendan, Sangiangtikoro, dan Gua Pawon (Padalarang).

Bagi yang tertarik menyusuri geotrek-geotrek tersebut, persiapan matang harus dilakukan. Terlebih jika akan membawa rombongan dari kalangan masyarakat umum, sebaiknya dilakukan survei terlebih dahulu ke lokasi geotrek yang ingin dituju. “Selamat berjalan-jalan. Selamatkan warisan sejarah Bumi Bandung! (naskah dan foto: ruri)


------------------------------------

Untuk pemesanan, kontak ke WA: 081313168248
Harga: Rp 75.000 (sudah didiskon dari harga normal Rp 92.000. Belum termasuk ongkos kirim dari Bandung)


RALAT!!!!!!
Bagi yang sudah memiliki buku ini, diberitahukan bahwa terdapat ketidaktepatan tataletak pada boks di halaman 59. Gambar berikut bisa menjadi patokan untuk "meluruskannya". Untuk mendapatkan gambar yg lebih jelas, silakan klik pada gambar, terimakasih.





                                                                               ***