Wednesday, October 29, 2014

Lava Pahoehoe: Ketika Selendang Dayang Sumbi Tercecer di Dago Pakar

Legenda Sangkuriang yang mengejar-ngejar Dayang Sumbi, ibu kandungnya sendiri, untuk dinikahi, bagai mendapat kisah tambahan di salah satu segmen sungai Cikapundung yang membelah Taman Hutan Raya (Tahura) Ir H Juanda, Dago Pakar, Bandung.

Peserta Geowisata IAGI melantai di atas lava pahoehoe
Di lokasi yang berada di posisi cukup curam dari trek yang menghubungkan Tahura dengan Maribaya, kira-kira 4 km dari gerbang Tahura, dapat ditemukan selendang Dayang Sumbi yang membatu. Seolah-olah selendang Dayang Sumbi terlepas saat berusaha melarikan diri dari kejaran anaknya.

Tentu saja ini bukan selendang sungguhan yang membatu, apalagi selendang Dayang Sumbi, melainkan satu bentukan batu berbahan dasar lava basalt, berbentuk seperti selendang yang terlipat-lipat. Oleh karena itu penduduk setempat menjuluki situs ini sebagai Batu Karembong; karembong dalam bahasa Sunda artinya adalah seledang.

Memang menjadi menarik ketika sejarah geologis di kawasan Bandung dan sekitarnya selalu terkait dengan aktivitas vulkanis Gunung Tangkubanparahu yang melatarbelakangi legenda  cinta Sangkuriang kepada Dayang Sumbi.

Anggaplah pada 48 ribu tahun lampau, aktivitas Gunung Tangkubanparahu meningkat. Magma yang terkandung di dalam perutnya termuntahkan ke luar permukaan dan mengalir ke berbagai arah. Salah satu alirannya nongol di kawasan Tahura Juanda, tepatnya di sisi Cikapundung hulu yang mengalir membelah tahura tersebut.

Saat acara geowisata bersama Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Jabar-Banten pada Minggu (16/3/14), para geolog masih mengembangkan rekonstruksi ihwal kisah lava Pahoehoe ini; yakni bagaimana lava ini bisa jatuh di Tahura Juanda dan membatu dalam bentuk seperti adonan kue tersebut.

Bahkan mereka pun masih belum terlalu yakin apakah sumber lava Pahoehoe ini berasal dari aktivitas Tangkubanparahu atau dari gunung yang lebih tua, yakni Gunung Sunda (sekadar informasi, dinding kawah Gunung Sunda ada di Gunung Burangrang, tepatnya di Situ Lembang), meskipun dugaan kuat lebih ke Tangkubanparahu. Namun yang pasti adalah, situs lava Batu Karembong ini berasal dari masa 48.000 tahun lampau.

Dari sisi sejarah geologis, fenomena Batu Karembong ini dapat dijelaskan sebagai lava pahoehoe, bersuhu 1.000 derajat Celcius, yang karena bertemu suhu dingin seketika, maka dia membatu dalam bentuk masih berlipat-lipat. Jika disimulasikan, lava pahoehoe ini bagai adonan roti/kue saat dikucurkan ke dalam loyang.

Sayang, foto lava yg tanpa sayanya (hihi) raib; burem pula
Fenomena lava pahoehoe, banyak ditemukan di Kepulauan Hawaii, meskipun bentuknya tidak melulu sama persis. Bentukan lava seperti ini juga umum terdapat di Islandia. Sementara untuk Indonesia, ini boleh jadi merupakan temuan lava Pahoehoe pertama, alias belum ada duanya di negeri ini. Secara internasional, fenomena lava pahoehoe juga masih terbilang langka.

Pahoehoe; awalnya kata ini (saya pikir) seperti berasal dari bahasa Sunda, semacam “patoel-toel” (saling mencolek). Akan tetapi ternyata kata ini berasal dari negeri di mana banyak terdapat fenomena lava berlipat-lipat ini, yakni Hawaii; dilafalkan dengan “pahoyhoy”.

Secara harfiah, makna pahoehoe adalah “halus/mudah berjalan di atasnya”. Dalam hubungannya dengan lava, artinya menjadi lava yang halus; encer.

Hal yang menarik adalah, karakter lava di Indonesia sebenarnya berbeda dengan di Hawaii dan Islandia. Sehingga para geolog—setidaknya geolog yang tergabung di Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Jabar-Banten yang mengadakan geowisata ke Tahura Juanda pada 16 Maret 2014 tersebut, pun masih belum menemukan jawaban, bagaimana bentukan lava ini bisa terjadi di Indonesia.

Menurut geolog ITB, Budi Brahmantyo, Indonesia dikenal sebagai zona subduksi yang biasanya menghasilkan lava andesitis yang lebih kental. Sementara itu, lava Pahoehoe merupakan fenomena lava encer, yakni yang bersifat basaltis, yang menjadi ciri khas gunung api seperti di Hawaii.

Sekadar informasi, lava pahoehoe dapat dibedakan dengan jenis lava lainnya, yakni lava aa (baca: ah-ah) yang menghasilkan batuan lebih tajam (contohnya batuan lava yang ada di Gunung Batur, Bali), dan lava pillow yang saat mengalir mengalami pendinginan serentak oleh air laut sehingga bagian kulitnya langsung membeku dan membentuk bagai bantal. Ada juga lava blocky, yang ketika mengalir dia berguling-guling.

Gara-gara Cikapundung Meluap
Lava pahoehoe di Tahura Juanda, tersingkap ketika suatu waktu Cikapundung meluap dan menyapu bersih tumpukan tanah bekas galian perbaikan trek Tahura Juanda-Maribaya (2008), yang menutup situs tersebut. Kendati begitu, warga setempat sebenarnya sudah lebih lama mengetahui adanya fenomena tersebut. 
@Cikapundung. Kanan: merubung situs

Sementara  secara resmi, situs ini boleh dikatakan “baru ditemukan” pada 2010. Saat dilaporkan pertamakali oleh “kuncen” Tahura Juanda, Ganjar, ke Balai Arkeologi Bandung, fenomena ini disebut-sebut sebagai batu “batik”.

Kini, untuk menuju ke lokasi situs Batu Karembong, pihak Tahura Juanda sudah membangun tangga cukup kokoh, meskipun masih cukup curam, yang akan memudahkan pengunjung menuju lokasi situs lava Pahoehoe. Saking curamnya, pengelola masih melengkapi tangga tersebut dengan tali tambang.

Adanya kemudahan ini sebenarnya menyisakan kecemasan atas kemungkinan munculnya pengunjung-pengunjung tak bertanggung jawab yang bisa saja melakukan vandalisme. Semoga pihak berwenang dapat mencegahnya.**



Monday, September 15, 2014

Curug-curug Gunung Sawal


Sejernih apapun sungai yang pernah saya datangi, saya biasanya ragu basah-basahan. Bahkan meskipun lokasinya tak jauh dari Bandung dan membawa kendaraan sendiri pun. Tapi entah malaikat mana yang ketika saya berkunjung ke “komplek” curug (air terjun) bernama Curug Tujuh di Panjalu, Ciamis, membuat saya tak ragu nyebur di salah satu curugnya yang paling keren.

Kota Panjalu dengan Situ Lengkong dan Curug 7 di posisi atas. Kpta Tasikmalaya di kiri bawah, Kota Ciamis di kanan bawah. Gunung Sawal tampak di tengah-tengah. Untuk lebih jelas, klik gambar (sumber gambar: Google Earth)

Perjalanan ke Curug Tujuh ini menjadi yang kedua  buat saya mengunjungi Kota Panjalu. Kesempatan pertama bertepatan dengan acara “Nyangku”, tradisi tahunan kota kerajaan ini. Mengenai Panjalu, kota ini menjadi lebih ramai diziarahi sejak Gus Dur, waktu itu masih jadi presiden, berziarah ke makam raja-raja Panjalu, dan mengaku memiliki ikatan saudara dengan raja-raja Panjalu. 
Curug pertama dalam rute yg dilalui rombongan kami
Letak tempat wisata Curug Tujuh, kira-kira 5 kilometer lebih dari  Panjalu, tepatnya di kaki Gunung Sawal; gunung yang menjadi pemandangan utama kota kecamatan ini. Sejak dari kawasan kota Panjalu, walaupun kondisinya cukup baik, ukuran jalan semakin mengecil dengan kontur tanah agak terjal. Saking kecilnya, kadang saya berpikir seperti mau masuk ke dalam garasi rumah penduduk saja.

Waktu itu kami menggunakan Elf. Jika lebih besar dari Elf, saya jamin tidak akan bisa masuk sampai ke pelataran parkir. Perwis dengan kendaraan lain, menjadi masalah cukup pelik jika tidak ada area buat menepi. Dalam perjalanan (dengan berjalan kaki) dari parkiran menuju gerbang tiketing, 1-2 dari tujuh curug tersebut samar-samar bisa terlihat di sela-sela rimbunan pepohonan Gunung Sawal.
Salah satu curug ngintip di rindangnya hutan

Dari tujuh curug yang ada, kami (rombongan kelompok jalan-jalan yang berkomunikasi di facebook) hanya mengunjungi empat curug. Menurut sang kepala suku kelompok jalan-jalan tersebut, posisi tiga curug lainnya terlalu jauh. 

Dari handout yang dibagikan oleh "panitia", ketujuh curug ini masing-masing bernama: Curug Satu, Dua, Tiga,Cibolang, Cimantaja, Leutik, dan Cibuluh. Tapi saya lupa mengidentifikasi yang mana yang namanya ini, yang mana yang namanya itu.

Keempat dari tujuh curug yang kami kunjungi ini tampaknya memang sudah berada di rute umum, seolah-olah kami hanya numpang lewat. Curug lainnya tampaknya harus ditempuh dengan usaha lebih berat. Nah, di curug keempat, yang memang paling uendah, kami tak tahan untuk tak nyebur ke “leuwi”-nya (leuwi = kolam yang menggenang di bawah curahan air curug).

Saya sendiri sempat butuh waktu, tercenung sejenak; menimbang-nimbang; tarik-ulur; untuk akhirnya memutuskan nyebur. Biasanya, saya paling malas berbasah-basah, meskipun saya membawa pakaian ganti.

Hidangan pembuka untuk nyeburrr!!
Bukan basah-basahannya yang bikin males sebenarnya, tapi ganti bajunya dan ngepak pakaian basahnya. Tapi ya itulah, curug keempat yang kami kunjungi di Curug Tujuh inilah yang berhasil melunturkan kebiasaan rasa malas tersebut.

Curug ini entah kenapa begitu memesona dalam pandangan mata saya. Curahan airnya yang jatuh ke batu-batu besar lebih dulu sebelum kemudian menciptakan alur dengan genangan-genangan jernih di beberapa bagiannya, dan memberikan pemandangan nyaman ketika bebatuan di dasarnya terlihat jelas saking beningnya air, menjadi paket sempurna yang membuat saya akhirnya nyebur juga; terlambat memutuskan hampir setengah jam dibanding yang lainnya.

Belum lagi melihat teman yang duduk di bawah curahan curugnya, membiarkan punggung diguyur air curug; maw waaww!!

Menurut informasi, satu dari tujuh curug di Gunung Sawal tersebut berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Alasannya ilmiah, karena airnya mengandung belerang. Ow, padahal tadinya saya pikir sumber air ketujuh curug ini sama; beda ya berarti. Anehnya, satu hari sepulang saya dari Curug Tujuh, saya mendapati daki tubuh saya luntur tanpa perlu sengaja digosok, ciyuss :D
Di curug ini, bisa duduk-duduk di bawahnya sambil terapi punggung
Di puncak curug, ada bunga bagheus
Flora dan Fauna Gunung Sawal
Menurut informasi yang saya peroleh dari situs BPLHD Jawa Barat, Gunung Sawal merupakan kawasan suaka margasatwa seluas 5.360 Hektare.  Saat ke sana, saya hanya bertemu dengan satwa jenis serangga saja seperti kupu-kupu dan capung. 

Akan tetapi menurut informasi tersebut, di Gunung Sawal juga ada Meong Congkok; semacam kucing hutan (Fellis bengalensis), Babi Hutan (Sus vitatus), Macan Kumbang (Panthera pardus), Kancil (Tragulus javanicus), Trenggiling (Manis javanicus), Kera (Macaca fascicularis), Bajing (Sciurus sp), Lutung (Tracyphitecus auratus), Macan tutul (Panthera pardus), Kijang (Muntiacus muntjak), Kalong (Pteropus vamyrus), Elang  Lurik (Spilornia cheela), dan Saeran (Dicrurus leucophaeus).
Sedangkan vegetasinya, disebutkan bahwa 95 persen merupakan hutan alam, sisanya hutan tanaman. Jenis Pohon yang terdapat di hutan alam antara lain: Teureup (Artocarpus elasticus), Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanopsis argantea), Pasang (Quercus sp), Kiara (Ficus sp) dan Jamuju (Podocarpus imbricatus). Sedangkan jenis pohon yang ada dalam hutan tanaman adalah Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis lorantifolia), Mahoni (Switenia mahagoni), Rasamala (Altingia excelsea) dan Kaliandra (Caliandra sp.).

Wet Wet Wet: basah-basahan dengan pakaian komplit, takut "nyetak" (lol). Suasana di curug ini, berpadu dengan tanam-tanaman yang tumbuh disekitarnya, lebih indah jika dilihat langsung.

Ingin melengkapi tulisan dengan sejarah purba terbentuknya Gunung Sawal, namun agak sulit menemukan sumber online yang membahas karakteristik vulkanis gunung ini, misalnya kapan terakhir meletus, dan pusat aktivitas vulkaniknya seperti kawah-kawahnya, serta adakah misalnya potensi gunung ini untuk kembali meletus. 

Adapun, informasinya malah terlalu teknis, misalnya satu sumber menyebut Gunung Sawal memiliki potensi timbal berupa urat-urat dalam batuan gunung api. Bahkan potensi belerangnya disebut-sebut merupakan sumber bahan galian bukan logam bagi Kota Ciamis. 

Salah satu dari empat curug yang kami lewati
***
Sepulang dari Curug Tujuh, kami mampir di satu vila di pinggir Situ Lengkong untuk makan. Vila ini juga bukan yang pertama saya kunjungi. Kunjungan pertama adalah sewaktu mengikuti acara Nyangku—tak heran karena “panitia” jalan-jalannya masih seputar link yang sama.

Kunjungan ke vila ini tentu menjadi penting: untuk menuntaskan masalah pakaian yang basah kuyup—untung jok Elf menggunakan bahan yang kedap air (lol). Makan siang kesorean, plus segelas kopi susu panas, dan hujan yang kemudian turun deras, melengkapi kepuasan saya “berenang” di curug tersebut.**


Gunung Sawal yang sering berkabut, menjadi pemandangan latar Alun-alun Panjalu


 Flora dan fauna Gunung Sawal:

Tanaman apa ini namanya yaa?


Loa binti Ficus-ficusan :D
Capung jarum (?)




TAMMAT