Nyaris dalam perjalanan turun ini, saya tidak sempat menyengajakan berhenti dulu untuk mengatur napas:. Ini juga berarti tanda bahwa jantung saya baik-baik saja, tidak seperti saat perjalanan naik. Saya memang tetap tertinggal, karena saya sibuk memotrat-motret sana sini.
Tuesday, November 16, 2010
Berjibaku Menggapai Hulu Cigeureuh
Nyaris dalam perjalanan turun ini, saya tidak sempat menyengajakan berhenti dulu untuk mengatur napas:. Ini juga berarti tanda bahwa jantung saya baik-baik saja, tidak seperti saat perjalanan naik. Saya memang tetap tertinggal, karena saya sibuk memotrat-motret sana sini.
Sunday, October 17, 2010
CITATAH: "THE GREAT BARRIER REEF"-NYA PADALARANG
Suatu hari di tahun 2003, kedamaian sang janin terusik oleh sekelompok “bidan” dari Balai Arkeologi Bandung. Mereka —lengkap dengan peralatan operasinya— datang untuk melahirkan “kembali” sang janin ke dunia kontemporer, dunia saat struktur wajah cucu moyangnya sudah jauh lebih cakep, meski sama-sama masih dari jenis Homo sapiens. Pembedahan oleh para arkeolog ini menindaklanjuti temuan sejumlah artefak di lokasi sama tiga tahun sebelumnya oleh Kelompok Riset Cekungan Bandung. (foto kanan: Gunung Hawu. Hawu dalam Bahasa Sunda berarti kompor, karena bentuknya yang mirip kompor tradisional. Bentukan ini tergolong langka bahkan di dunia. Di negara-negara maju, "natural arch bridge" seperti ini dilindungi oleh undang-undang sebagai warisan alam)
Sejak ditemukannya fosil sang janin di Gua Kopi —yang merupakan salah satu dari banyak ceruk kecil yang berada di dalam “komplek” gua utamanya yakni Gua Pawon— ceruk kecil ini kini dipagari pagar besi tinggi. Namun dari luar pagar, kita masih bisa menyaksikan replika fosil tersebut dalam posisi seperti saat ditemukan, meskipun kondisinya sudah menghijau oleh lumut. Fosil aslinya, dikabarkan sudah dibawa pihak Balai Arkeologi (Balar) Bandung ke markasnya di Cinunuk, timur Bandung. (foto kiri: Gunung masigit sudah botak. Penggalian di sini sudah dihentikan, tapi penambang berpindah ke tetangganya, Pasir Bancana--pasir dalam Bahasa Sunda berarti bukit)
Saat ditemukan di kedalaman tak lebih lebih dari dua meter dari lantai Gua Kopi, fosil yang diduga dari ras Mongoloid tersebut berada dalam posisi meringkuk, bagai janin saat masih berada di dalam perut ibunya. Dari sini lah kemudian diduga, Si Manusia Pawon ini sengaja dikuburkan oleh sesamanya pada 6000 tahun lalu itu. Boleh jadi kematiannya sebagai bagian dari suatu ritual, karena bersama fosil sang janin terdapat dua fosil lainnya. Atau bisa juga mereka mati karena suatu hal, lalu dikubur bersama dalam satu liang. Namun yang pasti, sang pemilik kerangka ini tidak mati terkubur tak sengaja di gua tersebut karena suatu bencana alam misalnya.(foto kanan: pemandangan asap hitam di kawasan ini sudah biasa)
Gua Pawon, seperti sudah dituliskan dalam resensi buku Amanat Gua Pawon (lihat: http://cekunganbandung.blogspot.com/2010/07/karst-citatah-terumbu-karang-oligo.html) adalah bekas terumbu karang laut dangkal berumur oligo-miosen (30-20 juta tahun lampau). Jadi, pada saat itu, kawasan Citatah-Padalarang bagaikan "The Great Barrier Reef" yang memanjang hingga Sukabumi. Susunan sisa-sisa terumbu karang ini dikenal dengan nama Formasi Rajamandala. Karena itu, jika beruntung kita bisa saja menemukan fosil-fosil makhluk laut seperti foraminifera di sini.
Bayangkan jika kawasan yang secara administratif berada di Kampung Cibukur, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB) ini suatu waktu lenyap dari muka bumi, maka benang merah sejarah terbentuknya kawasan yang pernah disinggahi manusia purba ini akan hilang. Temuan Manusia Pawon sendiri seharusnya bisa menjadi momentum untuk dimulainya konservasi atas kawasan ini. (foto kiri: alat berat tak henti menggepur kawasan ini, mungkin hingga rata dengan bumi)
Kecemasan tersebut saat ini agaknya semakin beralasan. Kendati berbagai itikad baik, bahkan hingga tingkat pusat, sudah ada, namun tak ada yang bisa menjamin penyelamatan kawasan ini. Termasuk menjamin bagaimana nasib ribuan warga yang terlanjur menggantungkan periuk nasinya pada penambangan di sini, untuk beralih profesi jika ternyata pemerintah bisa bersikap tegas menghentikan eksploitasi Karst Citatah.
Kepentingan industri dan banyaknya masyarakat yang dibiarkan sejak akhir 1950-an menggantungkan mata pencahariannya dari penambangan kapur di kawasan ini, menjadi kendala yang sangat besar dan berat. Belum lama ini misalnya, para penambang/buruh dan pengusaha melakukan demonstrasi di kantor Desa Citatah untuk menolak penutupan penambangan di kawasan ini.
Sulitnya lagi, perusahaan yang "bermain" di kawasan ini termasuk perusahaan-perusahaan besar macam Semen Gresik yang truk-truknya sering terlihat berada di sana. Padahal secara hukum pun hal tersebut sudah menyalahi aturan karena lokasi usaha Semen Gresik tidak terdapat di wilayah Jawa Barat. (foto kanan: salah satu lubang yang bagaikan jendela di salah satu "ruang" di Gua Pawon, tempat ditemukannya fosil si Manusia Pawon)
Ironisnya, meski menyangkut pundi-pundi yang bisa bernilai miliaran untuk para pengusaha yang ada di hilir dalam hitungan bulan, namun penghasilan para buruh tambang Citatah setiap minggunya tak lebih hanya dalam hitungan 50-100 ribu. Kian ironis ketika para buruh tersebut tak punya pilihan lain, sementara pemerintah pun tidak bisa memberi pilihan pada mereka. Beginilah nasib masyarakat yang hidup di negeri sarat korupsi. Di sisi lain, pemerintah daerah pun sebenarnya hanya kecipratan pemasukan (PAD) yang sangat kecil dari pajak galian C, yakni hanya dalam hitungan 100-300 juta saja setahunnya.
April lalu, tersiar kabar bahwa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah mendaftarkan Situs Gua Pawon sebagai Cagar Alam Warisan Dunia kepada UNESCO (Organisasi PBB yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya). Namun melihat kondisi Citatah yang kian hancur, dan konflik kepentingan di sana yang sudah sedemikian kompleks, sejumlah kalangan merasa pesimistis. (lihat: http://oase.kompas.com/read/2010/08/31/02075964/Fosil.Kembali.Ditemukan.di.Gua.Pawon).
Masyarakat yang terlanjur menggantungkan periuk nasinya pada eksploitasi Citatah, tidak bisa begitu saja diminta menghentikan kegiatannya. Mereka harus diberi “mainan” baru. (ruri andayani)
Sunday, July 25, 2010
Karst Citatah: Terumbu Karang Oligo-Miosen yang Terancam Punah
Harga : Rp 50.000
Jenis buku : Bunga rampai (berisi artikel 20 penulis dari beragam profesi)
Penerbit: Kelompok Riset Cekungan Bandung
Tahukah? Jika kita menyusuri jalan “buatan” Herman Wilhelm Daendels (Gubjen Hindia Belanda periode 1808-1811) yang menghubungkan Jakarta Bandung ini pada 30 juta tahun lalu, kita akan berada di dasar suatu laut dangkal yang kaya terumbu karang. Bagaikan sedang menyelam di perairan The Great Barrier Reef. Atau jika terbang di atasnya, seperti sedang ber-snorkling di taman laut Bunaken yang indah. Bukti sejarah geologis tersebut masih terrekam sampai detik ini, berupa rangkaian perbukitan batu gamping, khas sisa-sisa laut dangkal, berumur oligo-miosen (30-20 juta tahun lampau).
Dari sudut pariwisata/olahraga, lokasi ini sering digunakan para pedaki tebing untuk menjajal kemampuannya. Namun sayang, perbukitan kapur yang menyimpan sejarah sangat menarik ini juga dimanfaatkan perusahaan-perusahaan yang sekedar ingin mengeruk keuntungan dari bongkahan-bongkahan batu kapurnya.
Tak heran jika di
Pada 2003, ditemukan fakta kawasan ini pernah disinggahi manusia prasejarah. Terbukti dari ditemukannya fosil manusia dari spesies Homo sapien awal, berusia 11-10 ribu tahun. Fosil ini ditemukan meringkuk di kedalaman lantai Gua Kopi – Gua Pawon, lokasi yang juga sering digunakan para pedaki tebing karena di dalamnya terdapat tebing yang cukup menantang.
Menanggapi hal tersebut, 20 penulis dengan latar belakang beragam : geolog, wartawan, seniman, arsitek, pendaki gunung, dll, mencoba mencurahkan perasaannya di dalam buku ini. Keseluruhannya bernada kepedulian akan perlindungan warisan alam perbukitan batu kapur Citatah-Rajamandala secara umum, dan Gua Pawon pada khususnya, yang wajahnya kini sudah bopeng-bopeng. Selamatkan Karst Citatah!! (ruri andayani)
@Tulis email ke ruri_and@yahoo.com
(pengiriman akan dilakukan lewat ekpedisi: Tiki ataupun Posindo).
"Karena kesulitan memperoleh stok buku ini, maka pembelian minimal harus 5 eksemplar"
Tuesday, July 13, 2010
MENYUSURI BENINGNYA CITARUM ASLI
Tak jauh dari Sanghiangtikoro, terdapat pipa pesat milik PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Saguling. Ke dalam terowongan ini, air berkapasitas raksasa diluncurkan agar menghasilkan listrik untuk memasok Jawa-Bali. Penampilannya “megah”, berwarna oranye, sehingga menarik perhatian. (foto kiri: gua dengan sungai bawah tanahnya: Sanghiangtikoro)
Dan tahukah dari mana air yang diluncurkan melalui pipa pesat tersebut berasal? Dari saluran-saluran kotoran perumahan; saluran pembuangan limbah industri: pabrik, rumah sakit, peternakan; sampah rumah tangga maupun industri, hingga erosi tanah-tanah pucuk yang terkadang sudah tercemari pula oleh pupuk-pupuk kimia. Segala tetek bengek itu —baik yang langsung masuk Citarum maupun yang dipasok sungai-sungai kecil macam Cikapundung— bersatu di daerah aliran sungai (DAS) Citarum, dan terbendung di Waduk Saguling.(foto kanan: pipa pesat PLTA Saguling)
Awal 2000-an, pernah terjadi bencana. Ikan-ikan yang dibudidayakan pada jaring apung (japung) di Waduk Saguling, pada koit. Nelayan japung rugi besar. Seingat penulis, waktu itu tersiar berita bahwa musim hujan telah memasok debit besar ke Waduk Saguling, dan mengocok isi perut telaga buatan itu.
Maka, segala racun yang telah mengendap di dasar waduk membuncah, dan menyebabkan air pada level permukaan teracuni atau kehilangan oksigen (kira-kira begitu). Tak heran jika ikan-ikan pada megap-megap dan lalu menemui ajalnya. Keadaan air yang berracun ini juga diduga disumbang oleh pakan ikan yang diproses secara kimiawi, dan digrojok terus ke dalam air Saguling. (foto kiri: indahnya warna-warni sampah dari sungai-sungai "kecil" yang dipasok ke Citarum. Pemandangan khas sungai-sungai kota besar di Indonesia, khususnya Bandung, umumnya Jawa Barat. Berbanding sejajar dengan budaya nyampah warganya yang aujubilah)
Untuk lebih ilmiahnya, seorang aquatic ecologist, Dr Sutrisno Sukimin, menyatakan, salah satu penyebab mati masalnya ikan-ikan di waduk adalah karena terjadinya penyuburan unsur hara (tropikasi) pada sedimentasi waduk. Tropikasi ini membuat plankton yang tidak dibutuhkan oleh biota waduk, mendominasi ekologi waduk. Akibatnya, keragaman ekologi akuatik waduk—termasuk ikan-ikan yang dibudidayakan di japung— terancam jiwanya. Apalagi, kualitas air
World's Most Poluted River: Citarum.... oh Citarum!!
Citarum adalah sungai terpanjang di Jawa Barat. Panjangnya mencapai 225 kilometer. Riwayat alirannya dimulai dari mata airnya di Gunung Wayang (Pangalengan-Kabupaten Bandung). Di perjalanan, ia mendapat pasokan dari berbagai sungai kecil termasuk Cikapundung yang alirannya melewati Kota Bandung, (dan kondisinya sama busuknya). Alirannya berakhir di suatu wilayah bernama Muara Gembong (Kabupaten Karawang dan Bekasi).
Kembali ke Sanghiangtikoro. Di lokasi ini, dua kontradiksi Citarum bertemu. Faktor penentu kontradiksi ini pertama adalah, air "sari limbah" dari pipa pesat dihempaskan ke Citarum sekitar Sanghiangtikoro (yang bercabang dua: ke sungai yang bercabang ke kiri, dan ke sungai cabang kanan yakni yang masuk ke dalam mulut Sanghiangtikoro). Namun keduanya akhirnya bergabung lagi ke Citarum yang melewati Desa Bantarcaringin, yang lokasinya tak jauh dari Sanghiangtikoro (foto kiri: aktivitas warga Bantarcaringin di Citarum: Seorang anak tampak mahir bermain selancar-selancaran di sungai yang menguarkan bau belerang ini)
Warga Desa Bantarcaringin, sudah sangat “fasih” dengan sungai ini. Kita boleh ber-sniff-sniff-ria menghirup bau belerang menyengat, namun anak-anak warga setempat dibiarkan tetap ceria bermain di lebar dan derasnya Citarum hilir ini (atau tepatnya agak hilir), dan bahkan menjadi perenang-perenang otodidak. Gangguan kesehatan akibat seringnya bersentuhan dengan air limbah ini mungkin baru akan terasa saat usia mereka lebih dewasa kelak.
Sedangkan faktor penentu kedua adanya kontradiksi ini adalah: terdapatnya aliran Citarum yang bersih, di mana “orang-orang
Kontradiksi ini buat penulis sangat menarik, karena dua hal yang saling bertentangan saling bertemu: Citarum asli dan Citarum yang sudah tergadaikan keasliannya. Dan ini mungkin hanya bisa terjadi di
***
SEGMEN YANG TERPUTUS DARI HULU ASLINYA DI GUNUNG WAYANG------ Citarum asli yang dimaksud dalam artikel ini, sesungguhnya boleh dibilang sebagai sungai mati. Seandainya tidak ada mata-mata air di sekitarnya, niscaya sungai ini akan kering. Bagaimana mungkin? Karena dengan dibendungnya sungai ini untuk keperluan PLTA Saguling, maka terputuslah sungai segmen ini dari mata air aslinya di Gunung Wayang-Pangalengan. Karena itu Citarum segmen ini menjadi tak ubahnya sungai yang alirannya disodet.
Namun begitu, Citarum asli kini bagaikan museum alam. Andai tak akan pernah ada pembangunan yang merecokinya, tak akan pernah ada perumhan di sekitarnya, maka sungai segmen ini dapat menceritakan pada setiap generasi mengenai kondisi Citarum yang hakiki, yang asli, yang terbentuk karena proses alam, tanpa keterlibatan manusia. Bahkan ternyata, lingkungannya masih sanggup memberikan kehidupan bagi Elang Jawa, biawak/kadal raksasa (setidaknya dua hewan inilah yang menampakkan diri saat kami berada di sana), dan mungkin hewan-hewan liar lainnya. Jadi, tolong jangan ganggu "kami"..........
****
Sang “Tenggorokan Dewa”
Dulu, Sanghiangtikoro “dituding” sebagai penyebab bobolnya Danau Bandung Purba. Sehingga di masa-masa sebelumnya, selalu ada wacana semi anekdot bahwa jika Sanghiangtikoro tersumbat, maka
Citarum Asli (Loh!)
Di “plaza” pandang Sanghiangtikoro, kontradiksi Citarum asli dan Citarum “palsu” bisa diamati dengan jelas. Di ujung “plaza” ini, air Citarum yang keluar dari pipa pesat diatur oleh satu instalasi –bentuknya mirip instalasi irigasi. Dari posisi ini pula, kita bisa menyaksikan panorama purba dari Citarum asli. Setiap kali mendatangi lokasi ini, penulis selalu penasaran pada sungai lebar dengan batu-batu besarnya yang berserakan nun di
Untuk mendapati jalan setapak di sisi segmen Citarum asli ini kita bisa sekalian melewati lokasi terdekat ke pipa pesat oranye nan “megah” tersebut. Peserta Jajal Geotrek (JG) IV, sudah pasti tak melewatkan kesempatan berpose dengan latar belakang pipa raksasa ini. Hanya beberapa meter dari sini, kita sudah berada di sisi Citarum asli ini.
Salah satu pemandangan saat baru memasuki segmen Citarum asli ini adalah adanya para "petani pisang" yang lincah meloncati batu-batu di sungai sambil memikul tandan-tandan pisang yang masih hijau. Dari mana pisang-pisang tersebut?
Susur Citarum asli belum benar-benar dimulai. Momentum untuk mulai menggauli sang warisan alam purba ini akan dimulai setelah kita melalui Gua Sanghiangpoek. Ini sesi yang tak boleh dilewatkan karena di dalam gua karst ini ada fenomena alam menarik meski tidak semenarik gua-gua yang terdapat di Maros (
Gua Sanghiangpoek tidak terlalu dalam. Dari pintu masuk hingga keluar lagi, panjangnya tak lebih dari 100 meter (?). Namun gua ini menjadi pelengkap penting paket perjalanan susur Citarum ini. Gua Sanghiangpoek masih “hidup”, ditandai dengan masih adanya stalaktit yang meneteskan air. Beberapa stalagtit yang tampak berkilauan tertimpa cahaya senter, menjadikannya objek yang menarik sekali untuk dijepret puluhan kamera yang dibawa peserta JG IV.
Di lorong-lorong gua, tampak batang-batang pohon berserakan. Rupanya ini sisa “banjir” besar beberapa minggu sebelumnya, yang juga telah meruntuhkan jembatan Bantarcaringin. Sedikit mengulas peristiwa runtuhnya jembatan tersebut, saat musim hujan sedang berat-beratnya sekitar Februari lalu, pihak PLTA Saguling yang mungkin cemas dengan debit air yang meninggi di Waduk Saguling, membuka pintu air terlalu lebar. Akibatnya, air menggelontor terlalu besar dan menghajar jembatan rapuh Desa Bantarcaringin, jembatan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Tingginya curah hujan waktu itu, memang menimbulkan kecemasan bahwa bendungan PLTA Saguling akan bobol. Jika sampai terjadi, ini akan mengingatkan kita pada peristiwa jebolnya bendungan Situ Gintung di Jakarta, dan pastinya akan memakan korban lebih banyak karena besarnya kapasitas Bendungan Saguling. (foto kiri: stalagtit yang masih hidup, yang berkilauan jika tersorot cahaya)
Keluar dari Gua Sanghiangpoek, kita dihadapkan pada lantai batuan karst yang curam dan tajam, yang di bawahnya langsung bertemu aliran Citarum asli. Untuk turun dari mulut gua ini, harus ekstra hati-hati. Tangan harus ikut bermain untuk menyokong pijakan kaki. Namun begitu, ada semacam beranda cukup landai di depan mulut gua sehingga kita masih bisa duduk-duduk sambil menatap aliran Citarum asli di depan. Wow, keren!!
Penulis memperoleh dua kali pengalaman berbeda di lokasi ini. Saat melakukan survei seminggu sebelumnya, kemarau 2010 seolah-olah baru dimulai. Debit air yang tenang karena tak ada hujan sejak beberapa hari sebelumnya, membuat genangan-genangan air di bagian-bagian sungai yang lebih dalam tampak bening dan menghijau karena pantulan lumut, dan juga merefleksi
Di sepanjang aliran sungai antara Sanghiangpoek – Leuwi Gobang – hingga Leuwi Malang, banyak ditemukan sumber mata air yang mengalir dari tebing di sisi kiri sungai, membentuk jeram kecil. Sewaktu survei, rekan-rekan dari Muthahhari Adventure Team (MAT) bahkan mengaku bahwa mereka memasak air teh dan mi instan dari air yang menggenang. Namun sepulang dari survei, toh tak ada yang mengaku sakit akibat mengonsumsi air dari sumber air terbuka ini, termasuk penulis.
Susur Citarum sepanjang sekitar dua kilometeran ini hingga ke lokasi bernama Pasir Malang, cukup menguras tenaga. Pasalnya, meloncati dan memanjati bebatuan bukan perkara mudah. Namun cuaca yang mendung pada hari H (bahkan akhirnya hujan lumayan rapat, berpetir pula) sedikit banyak dapat menyimpan cadangan tenaga, ketimbang jika cuaca panas seperti saat melakukan survei. Tapi gara-gara hujan juga, beberapa rencana seru terpaksa dibatalkan dengan alasan keselamatan. Rencana itu antara lain untuk mengunjungi Sanghiangheuleut, bahkan Curug Halimun seperti yang dijanjikan diawal. (foto kiri: Sanghiangheuleut. Untuk mencapai lokasi ini, perlu perjuangan agak berat)
Kian ke hulu, pemandangan Citarum asli ini memang kian bikin mulut menganga. Pada kesempatan survei, penulis memaksakan terus ikut hingga Sanghiangheuleut. Panoramanya memang makin eksotis. Ukuran batu kian besar dengan bentukan-bentukannya yang juga makin unik, antara lain fenomena pothole. Sebenarnya, di dekat Sanghiangpoek juga ada pothole, namun bentuknya tidak seunik di posisi lebih ke hulu.
Pothole terjadi karena pusaran air yang menggerus batuan yang tentunya memerlukan waktu ribuan tahun. Mengambil pelajaran dari fenomena alam ini, satu pepatah dalam bahasa Sunda mengatakan: ci karacak ninggang batu laun-laun jadi legok --air yang berjatuhan terus-menerus pada batu, akan membuat batu tersebut lambat laun menjadi cekung.
Namun perjuangan untuk mencapai lokasi ini, agak-agak bertaruh nyawa. Lebay? Tidak juga. Karena kalau terpeleset sedikit saja, kepala bisa membentur batu-batu besar yang terkadang bertekstur tajam. Cara teraman, sebenarnya lebih baik kalau menceburkan diri saja ke dalam sungai. Sayangnya, di beberapa bagian sungai, kedalamannya bisa lebih dari satu meter, dan kita tidak pernah tahu ada apa di dasar sungai tersebut. Padahal para peserta perlu juga mengamankan peralatan tempur yang rawan air seperti ponsel dan kamera. Jadi, Curug Halimun bagi penulis juga masih menjadi misteri, meskipun katanya tempat ini bisa ditempuh dari lokasi lain di hulu, bukan dengan susur sungai dari hilir.
Dengan turunnya hujan di bulan-bulan yang justru harusnya kemarau, mengingatkan penulis pada JG III ke Tangkubanparahu. Saat itu, persiapan peserta menghadapi kemungkinan hujan, cukup baik, karena memang diselenggarakan di bulan-bulan yang masih musim penghujan. Sampai-sampai beberapa kecewa karena hujan tak turun. Sebaliknya dengan JG IV. Banyak yang tidak siap menghadapi hujan karena menduga kemarau sudah tiba. Penulis pun sengaja tidak membawa jas hujan, dan berharap bisa teratasi dengan topi saja. Eeeh... bahkan topi pun tertinggal. Untung seseorang telah berbaik hati meminjamkan topinya karena ybs sudah membawa jas hujan (terima kasih Mbak Suzanna).
***
Akhirnya, pesta yang sebenarnya, terjadi di pelataran depan Gua Sanghiangpoek. Hujan pula yang membuat acara rehat kopi di lokasi ini menjadi amburadul. Namun sejumlah peserta tak menyia-nyiakan kesempatan untuk melepaskan penat hati dengan menceburkan diri ke sungai. Meski agak keruh, air sungai Citarum asli ini sama sekali tidak berbau.
Sebagai pembuat susunan huruf-huruf "JAJAL GEOTREK" tersebut (taela!, heu!) sungguh tak dinyana ada yang memiliki ide membentang huruf-huruf tersebut di “dalam” air. Tapi, tak ada niatan untuk menyelamatkan konfigurasi huruf tersebut karena kondisinya memang sudah lepek, basaah!! Ah, ya sudah lah, meski mengguntinginya sambil menahan kantuk semalam suntuk, tapi susunan huruf-huruf itu toh cuma dibuat dari kertas poster "Rectoverso" yang “sumbernya” masih berlimpah (?) Akankah ada semalam suntuk kedua untuk membuatnya lagi? i dont think so... (Ruri Andayani)
***
Citarum Segmen Sanghiangpoek. Air yang begitu tenangnya , setelah lama tak turun hujan pada Mei lalu (kirain kemarau mulai "serius"), merefleksikan bebatuan dengan jernihnya.
(Mengenai Citarum sebagai sungai paling kotor sedunia, ada yang menyanggahnya. Silakan buka link ini: http://sobirin-xyz.blogspot.com/2010/09/sobirin-citarum-bukan-yang-terpolusi.html)
@http://www.mnn.com/sites/default/files/imagecache/node-gallery-display/photos/Citarum.JPG
@http://www.jonco48.com/blog/deadfish_small.jpg
@ https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1hFKH-TMUagk_iRJLnCEH-L9zc4keW0ue5TxcSfFEEFUDXmBKW5ECw-UuLpPtDcWL_IHJbQJWyVcx83YFTaLCCbwqmcBsCsMm5CvPuek-UXFhTf8exKTnbYduaENNPwPA19zJ4LOQp1va/s400/rubbishRiver1.jpg
Friday, July 9, 2010
MEMBEDAH ISI PERAHU YANG TERBALIK ITU
Kawah Domas yang sudah pias oleh fenomena material vulkanis, kian memucat: kabut mulai turun. Di kejauhan, gelegar guntur terdengar bersahutan. Setitik dua titik air, terasa dingin di kulit kepala. Cemas? Sedikit. Kecemasan itu banyak terobati oleh indahnya suasana Kawah Domas di bulan-bulan yang masih musim penghujan ini, Februari, tepatnya hari ke-27, tahun ke 2010.
Akankah turun hujan? berdasarkan pengalaman menyurvei jalur yang sama pada 20 Januari lalu, hujan deras mengguyur tepat saat kami berada di tengah-tengah rimba antara Kawah Domas dengan perkebunan teh Hegarmanah-Ciater.
Maka, seperti biasa, untuk hari H-nya "mitigasi bencana" ditetapkan. Para calon peserta Jajal Geotrek jilid III diwanti-wanti agar membawa jas hujan, baju ganti, dan segala preparat yang bisa melindungi benda-benda rawan air dari kebasahan. (foto kiri: citra Gunung Tangkubanparahu, diambil dari mobil yang sedang melaju di atas jalan layang Paspati)
Yang mencemaskan, tidak semua peserta menurut atau mengetahui info tersebut. Ada yang memang tidak peduli dan siap berhujan-hujanan, ada yang beralasan belum memili'i, berat, dan ada juga yang memang kurang memperoleh informasi. Lebih mencemaskan lagi, yang tidak prepare dengan dengan segala ancaman hujan ini justru peserta paling senior, Dr Gunawan.
Pertama kali saya mengenal Dr Gunawan adalah saat mengikuti Tur Megalitik Gunung Padang Agustus 2009. Saat bertemu lagi di Jajal Geotrek III, style-nya tidak berubah, tetap dengan kaos lengan pendek, topi jepun, dan tas yang diselempangkan begitu saja di pundak, seperti orang mau sekolah saja. Dan….. waduh, dia nggak bawa jas hujan atau payung pun.
Sejarah Gunung Tangkubanparahu
Kawah Ratu
Sesuai namanya, Kawah Ratu adalah kawah utama juga terbesar di lingkungan Gunung Tangkubanparahu selain dua kawah lainnya yang relatif mudah dicapai yakni Kawah Upas dan Kawah Domas. Selain terbesar, panorama kawah ini juga memang paling memesona. Karena itu, para wisatawan minat umum, umumnya hanya muter-muter di sekitar kawah ini saja.
Walaupun tampak tenang, Kawah Ratu masih aktif. Di beberapa titik di dasar kawah, asap belerang terlihat masih mengepul. Meski demikian, keberadaan dua kawah lainnya yakni Upas dan Domas, sudah pasti akan menjadi pelengkap atraksi alam Gunung Tangkubanparahu yang sayang jika dilewatkan. Namun memang, mengunjungi dua kawah terakhir ini akan memerlukan waktu dan tenaga lebih ekstra.
Kawah Upas
Usai menikmati kawah utama Tangkubanparahu, kami menuju Kawah Upas. Dari plaza Kawah Ratu jaraknya kira-kira satu kilometeran. Syukurlah, para wisatawan umumnya memang tidak berniat mengunjungi Kawah Upas, sehingga suasana di sana tidak hiruk-pikuk seperti di sekitaran Kawah Ratu. Jarak Kawah Upas dari plaza Kawah Ratu memang terlalu jauh bagi wisatawan umum yang biasanya datang ke Bandung untuk mengunjungi destinasi wisata lainnya, terlebih lagi jika membawa anak-anak. Diperlukan waktu seharian untuk mengeksplor kawasan ini. Bahkan kami pun terpaksa tidak mengunjungi sejumlah "situs" yang dituliskan dalam map karena berusaha taat waktu. Selain itu, jalur jalan menuju Kawah Upas cukup terjal. Di beberapa titik, kita bahkan tak bisa hanya mengandalkan kaki, tapi juga cengkeraman tangan. (foto kiri: menuju Kawah Upas)
Kawah Upas adalah kawah yang relatif landai. Meski tampak tidak aktif, namun justru di sini banyak bahaya gas solfatara. Kata “upas” sendiri memiliki arti “racun”. Karena itu, untuk menghindari hal-hal buruk, peserta dilarang turun ke bawah. Meskipun sebenarnya pelataran kering di bawah
Kawah Domas
Pada waktu-waktu dengan pengunjung lebih sedikit, biasanya banyak wisatawan baik lokal maupun asing (terutama asal negeri jiran) yang menyempatkan melulur betis dan kakinya menggunakan lumpur dari kolam-kolam air panas tersebut, dengan dipandu pramuwisata-pramuwisata "lokal". Pada satu kesempatan kunjungan lain ke Kawah Domas, penulis rada prihatin (bari hayang seuri) karena para pramuwisata native ini ternyata asal ngomong saja. Misalnya mereka mengatakan kepada wisatawan-wisatawan asing ini bahwa batu mulia yang dijual oleh sejumlah pengasong, dan terkadang oleh para pramuwisata itu sendiri, berasal dari Tangkubanparahu. Sejak kapan di Tangkubanparahu ditemukan batu mulia?
Jungle Walk
Tea Walk
Akhirnya, menjelang pukul 17.00, setelah semua peserta masuk ke dalam bus, hujan turun dengan derasnya. Keadaan lalu lintas Bandung Utara di akhir pekan ini ternyata sangat lancar. Bahkan Jalan Setiabudi, tidak semacet yang diduga. Namun kemacetan justru menghadang parah di Jalan Siliwangi, hanya tinggal sekitar satu kilometeran lagi untuk sampai di tujuan akhir kami, gerbang utama ITB di Jalan Ganesha. Untung saja hujan sudah berhenti, sehingga semua bisa pulang dengan bahagia.(*)
Bandung Voruit "Menembus" Kawah Ratu