Tuesday, November 16, 2010

Berjibaku Menggapai Hulu Cigeureuh

(Travelologuegue: tulisan tentang Gunung Puntang jilid II: Curug Siliwangi)

“Nut-nut… nut-nut… nut-nut…,“ begitu kira-kira bunyi yang tertangkap indera pendengaran saya. Konstan. Mengingatkan pada bunyi mesin indikator jantung yang dipasang pada pasien-pasien berkondisi kritis. Bunyi yang ritmenya pelan namun menggaung ini, mengiringi setiap langkah saya yang mulai tak konstan di keheningan belantara Puntang.
Jantung berdegup kencang. Setiap langkah yang dipaksakan menaiki tanjakan demi tanjakan karena takut tertinggal, membuat degupannya makin naik ke kepala. Hanya suara napas berat saya saja yang mampu menyaingi suara burung itu (saya menduga itu memang suara burung). Di ketinggian pepohonan yang berlomba menggapai cahaya matahari, suara sang burung seperti kian mengolok-olok.
Kalau saja saya memedulikan seruan-seruan teman seperjalanan agar terus melangkah naik, dan membiarkan jantung kian berdegup hingga benar-benar mencapai titik nadirnya di kepala, niscaya suara burung itu akan berubah menjadi “nuuuuuuuuuuuuut!” —whew…liarnya imajinasi tentang kematian, di tengah ketidakberdayaan manusia.

Untunglah, di ujung tanjakan, objek yang dituju telah menampakkan jati dirinya: Curug Siliwangi. Seseorang dari grup lain yang bertemu di lokasi, melirik arloji "sagala aya"-nya. Menurut dia, ketinggian di lokasi kami berhenti sesaat untuk mengisi perut, mencapai 1.800 meter. Suara burung itu pun tanpa saya sadari telah menghilang dari pendengaran, seiring waktu yang kian beranjak siang menuju sore, dan pulihnya kondisi fisik terutama psikis.
Upaya mencapai Curug Siliwangi yang berlokasi di Gunung Puntang (gunung yang masih rangkaian dari Pergunungan Malabar di selatan Bandung) ini, bukan yang pertama. Perjalanan di penghujung Juli 2010 ini, bahkan seperti rerun dari perjalanan dua minggu sebelumnya yang gagal menemukan curug satu ini. Saya sendiri semula masih merasa “bosan” untuk kembali ke Gunung Puntang, namun seorang teman berhasil merayu saya (dan justru malah si teman pada menit terakhir membatalkan keikutsertaannya). (foto kanan: saking curamnya rute pada perjalanan pertama yang nyasar tea, peserta--terutama yang bokongnya XL-- terpaksa pada pake jurus suster ngesot. Mengorbankan pantat ketimbang lutut cedera)
Dengan perasaan lumayan dongkol—belum lagi diwarnai jam karet yang lagi-lagi parah, dan dengan meeting point yang tidak nyaman— saya menegaskan kepada enam orang peserta yang hadir untuk maju terus pantang mundur melanjutkan perjalanan. Konyol rasanya kalau harus pulang lagi ke rumah —saat matahari belum lagi tinggi— dengan tampang bagaikan prajurit kalah perang. Kalau pun harus “menunut” truk berisi domba atau sapi, hajar saja bleh! (biasanya kalau jumlah peserta banyak, kami akan mencarter kendaraan). Namun sepertinya inilah yang namanya petualangan sesungguhnya. Tidak ada kendaraan yang siap mengantar dan menjemput, jam berapapun kami ingin pergi atau pulang.
Sesungguhnya, saya merasa agak “aneh”. Kelima peserta lainnya terdiri dari tiga laki-laki dan dua wanita muda yang semuanya berusia 20-an awal. Dengan demikian, saya merasa seperti sedang mengasuh keponakan-keponakan bermain (hehehe...).
Di kawasan Tegallega yang menjadi lokasi meeting point, kami menyetop angkot jurusan terminal Banjaran…. (atau Dayeuhkolot ya? Saya memang selalu ketukar-tukar mengenai kedua daerah ini). Sesampainya di terminal ini, kami ganti angkot ke jurusan suatu desa bernama Cimaung. Untunglah dua penumpang lain, sepasang muda-mudi, ternyata juga berniat ke Wanawisata G.Puntang dalam rangka mempererat persatuan dan kesatuan, sehingga sang sopir berbaik hati mengantar kami hingga ke gerbang pernikahan, eh…tiketing. (foto kiri: Curug Siliwangi. Hulu Cigeureuh ini tergapai juga)
Dari gerbang tiketing ini, perjalanan dimulai. Ketika sudah mulai memasuki segmen susur sungai Cigeureuh —sungai yang mengalir bening membelah Puntang— saya mulai sibuk menganalisis perjalanan kali ini. Saya sadar betul, rute ini tidak lebih berat ketimbang rute nyasar dua minggu yang lalu. Bahkan boleh dibilang amat landai. Tanjakan berat terutama hanya ada pada saat-saat menjelang sampai di curug. Akan tetapi, kenapa rute ini tidak terasa lebih ringan buat saya dibanding perjalanan yang lalu itu?
Saya menyadari adanya beberapa faktor teknis yang mungkin memperberat langkah saya, yakni selain sepatu yang tidak nyaman, mungkin juga karena jalan setapak menuju Curug Siliwangi ini berbatu-batu, sehingga menyakitkan telapak kaki yang dibalut sepatu yang "salah" ini. Yang jelas, sepanjang rute, saya stress.......
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan: jumlah peserta yang cuma enam orang dengan kemampuan fisik yang beda sendiri, membuat saya repoooot mengimbangi langkah mereka. Karena itulah, sepanjang perjalanan saya tak henti berbicara kepada teman-teman seperjalanan saya itu —semacam excuse— bahwa selain usia saya memang jauh lebih senior (halah) dibanding mereka, badan saya pun lebih “berbobot”. Saya pun ingat, ketika seumuran mereka, meski badan masih lebih langseng (heu!), saya memang tak pernah bisa konstan kalau menaiki tanjakan: problem degupan jantung yang naik ke kepala selalu menjadi domba garut, eh… kambing hitam.
Jika mengingat-ingat perjalanan pertama dua minggu lalu itu, saya termasuk peserta “menengah”, maksudnya tidak paling cepat dan juga tidak paling lambat. Dengan jumlah peserta 25 orang, ternyata memang cukup banyak yang kemampuan fisiknya sama atau bahkan lebih parah dibanding saya, sehingga saya bisa mengatur diri agar tetap berada di tengah-tengah.
Dan, karena menyadari ada peserta yang tertinggal di belakang, banyak momen buat saya untuk beristirahat, menarik napas, dan mengatur langkah. Sehingga, walaupun banyak tanjakan berkemiringan 80 derajat --sehingga nyaris-nyaris harus seperti memanjat dengan dibantu akar-akar pohon-- namun perjalanan waktu itu rasanya justru tidak serepot perjalanan rerun ini. Selain itu, psikologis saya juga tidak berontak karena menyadari masih ada peserta lain tertinggal di belakang saya, sehingga ada rasa tidak perlu ngoyo untuk mengejar peserta di depan. (foto kanan: belantara puntang. Hai burung, di manakah kau menclok?)
Dengan banyaknya waktu untuk menarik napas, saya pun cukup memiliki banyak kesempatan mencermati dan menikmati alam di sekeliling saya. Berbeda dengan perjalanan kemarin. Meski panoramanya lebih indah, namun seingat saya, tak sempat rasanya berlama-lama menikmatinya karena yang ada di kepala saya hanya bagaimana caranya supaya saya tidak tertinggal terlalu jauh dari pemuda-pemudi yang berjalan bagai dikejar satpam itu. Ah, saya tampaknya kapok “jalan-jalan” dengan formasi peserta seperti ini.
Tapi tidak ada siapa pun yang perlu disalahkan. Bahkan saya tahu, beberapa teman juga dengan sabar menunggui ketika saya kehabisan napas. Yang salah adalah ketika muncul perasaan menjadi faktor penghambat kelancaran perjalanan peserta lain. Sungguh tak nyaman. Maka, jika lain kali saya terlalu cerewet menanyakan komposisi peserta, harap makleum :). 
Curug Siliwangi
Tak jauh-jauh dari legenda rakyat Jawa Barat, nama Siliwangi yang dilekatkan pada curug ini berkaitan dengan kisah Kerajaan Pajajaran. Sebelum sampai di lokasi, teman-teman yang pernah menempuh jalur ini mengingatkan agar kami jangan berkata-kata sompral. Bahkan katanya, kalau di tengah perjalanan tiba-tiba turun kabut tebal yang (kata mereka) aneh, jangan panik. Ah, bukankah pada perjalanan pertama yang katanya berhasil mencapai ketinggian 2.000 mdpl itu, kabut yang tebaaal sekali turun tiba-tiba. Dan sebagai penggemar kabut, saya malah exciting. *Belum tau cerita apa-apa soalnya. 
 
Hingga kami kembali lagi ke parkiran, kabut yang “dijanjikan”, tak kunjung turun juga. Malah, cuaca demikian cerah cerianya seolah-olah mengingatkan bahwa waktu itu memang sedang musim kemarau, meskipun kemarau yang anomali (cekidot: http://ruri-chronicle.blogspot.com/2010/07/ada-apa-dengan-kemarau-2010.html). Sesekali, suasana menjadi mendung karena terpayungi awan tebal yang menggelayut di ketinggian pucuk-pucuk bukit. Tak mengherankan, namanya juga gunung.
Curug ini sebenarnya tidak lebih indah ketimbang curug-curug yang pernah saya lihat di Panjalu-Ciamis, tepatnya di lokasi wisata bernama Curug Tujuh-Cibolang. Namun inilah curug tertinggi yang pernah saya lihat langsung. Selain itu, sebagai penikmat alam, tidak pernah ada kata menyesal atau rugi untuk bermesraan dengan alam. Apalagi jika dia menyuguhkan “atraksi” aliran air pergunungan yang jernih, bersih, dan tak ada habisnya. Berat rasanya meninggalkan tempat ini terlalu cepat.
Saking jernih dan bersihnya, air yang jatuh melalui jeram-jeram ke bagian yang lebih dalam, menjadi tampak seperti kebiruan. Saya pun tidak sungkan (seraya berucap bismillah) meminum langsung air yang mengalir bebas ini. Rasanya sama sekali tidak berbeda dengan air minum kemasan. Meskipun memang jika diamati, ada organisma yang melayang-layang. Mungkin sejenis lumut atau gundukan plankton. Syukurlah tiga hari setelah pulang dari sana, saya memang baik-baik saja.
Satu penyesalan pada perjalanan kali ini, saya tidak mempersiapkan baterai kamera digital dalam kondisi penuh. Jadi, terpaksalah menahan untuk tidak menjeprat-jepretkan dengan boros ke segala arah yang saya mau, sebelum sampai di curug yang satu ini. Tidak lucu rasanya kalau sepulang dari Curug Siliwangi --yang juga sempat gagal dikunjungi-- saya malah tidak punya oleh-oleh gambar curug ini.
Baru setelah puas mengabadikan sang curug, pada perjalanan turun/pulang mulailah saya kalap memotret segala fenomena (yang saya anggap) unik, yang pada perjalanan pergi/naik terpaksa ditunda karena takut kehabisan baterai.
Bagaikan Besok Mau Kiamat
Perjalanan pulang, tidak berarti “aman” buat saya, meski lebih ringan. Lebih ringan karena untuk turun, jantung tidak perlu bekerja lebih keras. Bahkan saya bisa mengimbangi langkah teman-teman yang kali ini berjalan bagaikan besok mau kiamat saja.

Nyaris dalam perjalanan turun ini, saya tidak sempat menyengajakan berhenti dulu untuk mengatur napas:. Ini juga berarti tanda bahwa jantung saya baik-baik saja, tidak seperti saat perjalanan naik. Saya memang tetap tertinggal, karena saya sibuk memotrat-motret sana sini.
Tidak “aman”-nya karena untuk perjalanan turun, lutut-lah yang harus bekerja ekstra keras. Selain itu, jalan setapak berbatu rasanya kian memerihkan telapak kaki saya. Pada beberapa turunan yang tajam, saya bahkan sudah tidak mampu untuk tetap berdiri pada kedua kaki. Jurus pamungkas suster ngesot terpaksa dikeluarkan.

Belum lagi sakit kepala mulai datang mendera, karena berjalan turun berarti harus sedikit meloncat-loncat, kaki tersentak-sentak demi berkompromi dengan gravitasi, dan dengan begitu kepala pun itu terhentak-hentak. Dengan kondisi yang agak limbung begitu, saya tidak mau ambil risiko terpeleset saat harus meloncati batu-batu sungai yang licin, apalagi dengan sepatu yang kurang mendukung ini. Maka, saya memilih masuk sungai saja, berbasah-basahan, biarlah sepatu jebol pun.
Sesampainya di pelataran dekat reruntuhan Radio Malabar (lihat juga tulisannya di: http://cekunganbandung.blogspot.com/2010/06/berburu-halimun-malabar.html), yang artinya sudah dekat dengan warung-warung dan tempat parkir kendaraan, saya menolak untuk meneruskan perjalanan ke Curug Cikahuripan. Padahal katanya lokasinya hanya perlu berjalan 10 menit saja. Ah….dengan kaki yang sudah nyorocod begini? No way bin sori la yauw!(ruri andayani)

Sunday, October 17, 2010

CITATAH: "THE GREAT BARRIER REEF"-NYA PADALARANG

DI tengah hiruk pikuk lalu lintas Jalan Raya Pos dan gelegar dinamit yang menghancurkan bukit-bukit karst, sang “janin" meringkuk damai dalam kehangatan rahim Gua Kopi, 6000 tahun lamanya. Padahal tak cuma suara dinamit yang bikin bising suasana, melainkan juga suara mesin-mesin berat (bekhoe) yang sibuk menggerus dinding-dinding kapur itu saban hari, berikut pabrik-pabrik pembarakan kapurnya yang kerap mengepulkan asap hitam berracun. (foto kiri: replika fosil Manusia Pawon yang ditempatkan persis dengan saat ditemukannya)

Suatu hari di tahun 2003, kedamaian sang janin terusik oleh sekelompok “bidan” dari Balai Arkeologi Bandung. Mereka —lengkap dengan peralatan operasinya— datang untuk melahirkan “kembali” sang janin ke dunia kontemporer, dunia saat struktur wajah cucu moyangnya sudah jauh lebih cakep, meski sama-sama masih dari jenis Homo sapiens. Pembedahan oleh para arkeolog ini menindaklanjuti temuan sejumlah artefak di lokasi sama tiga tahun sebelumnya oleh Kelompok Riset Cekungan Bandung. (foto kanan: Gunung Hawu. Hawu dalam Bahasa Sunda berarti kompor, karena bentuknya yang mirip kompor tradisional. Bentukan ini tergolong langka bahkan di dunia. Di negara-negara maju, "natural arch bridge" seperti ini dilindungi oleh undang-undang sebagai warisan alam)

Sejak ditemukannya fosil sang janin di Gua Kopi —yang merupakan salah satu dari banyak ceruk kecil yang berada di dalam “komplek” gua utamanya yakni Gua Pawon— ceruk kecil ini kini dipagari pagar besi tinggi. Namun dari luar pagar, kita masih bisa menyaksikan replika fosil tersebut dalam posisi seperti saat ditemukan, meskipun kondisinya sudah menghijau oleh lumut. Fosil aslinya, dikabarkan sudah dibawa pihak Balai Arkeologi (Balar) Bandung ke markasnya di Cinunuk, timur Bandung. (foto kiri: Gunung masigit sudah botak. Penggalian di sini sudah dihentikan, tapi penambang berpindah ke tetangganya, Pasir Bancana--pasir dalam Bahasa Sunda berarti bukit)

Saat ditemukan di kedalaman tak lebih lebih dari dua meter dari lantai Gua Kopi, fosil yang diduga dari ras Mongoloid tersebut berada dalam posisi meringkuk, bagai janin saat masih berada di dalam perut ibunya. Dari sini lah kemudian diduga, Si Manusia Pawon ini sengaja dikuburkan oleh sesamanya pada 6000 tahun lalu itu. Boleh jadi kematiannya sebagai bagian dari suatu ritual, karena bersama fosil sang janin terdapat dua fosil lainnya. Atau bisa juga mereka mati karena suatu hal, lalu dikubur bersama dalam satu liang. Namun yang pasti, sang pemilik kerangka ini tidak mati terkubur tak sengaja di gua tersebut karena suatu bencana alam misalnya.(foto kanan: pemandangan asap hitam di kawasan ini sudah biasa)

Gua Pawon, seperti sudah dituliskan dalam resensi buku Amanat Gua Pawon (lihat: http://cekunganbandung.blogspot.com/2010/07/karst-citatah-terumbu-karang-oligo.html) adalah bekas terumbu karang laut dangkal berumur oligo-miosen (30-20 juta tahun lampau). Jadi, pada saat itu, kawasan Citatah-Padalarang bagaikan "The Great Barrier Reef" yang memanjang hingga Sukabumi. Susunan sisa-sisa terumbu karang ini dikenal dengan nama Formasi Rajamandala. Karena itu, jika beruntung kita bisa saja menemukan fosil-fosil makhluk laut seperti foraminifera di sini.

Bayangkan jika kawasan yang secara administratif berada di Kampung Cibukur, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB) ini suatu waktu lenyap dari muka bumi, maka benang merah sejarah terbentuknya kawasan yang pernah disinggahi manusia purba ini akan hilang. Temuan Manusia Pawon sendiri seharusnya bisa menjadi momentum untuk dimulainya konservasi atas kawasan ini. (foto kiri: alat berat tak henti menggepur kawasan ini, mungkin hingga rata dengan bumi)

Kecemasan tersebut saat ini agaknya semakin beralasan. Kendati berbagai itikad baik, bahkan hingga tingkat pusat, sudah ada, namun tak ada yang bisa menjamin penyelamatan kawasan ini. Termasuk menjamin bagaimana nasib ribuan warga yang terlanjur menggantungkan periuk nasinya pada penambangan di sini, untuk beralih profesi jika ternyata pemerintah bisa bersikap tegas menghentikan eksploitasi Karst Citatah.

Kepentingan industri dan banyaknya masyarakat yang dibiarkan sejak akhir 1950-an menggantungkan mata pencahariannya dari penambangan kapur di kawasan ini, menjadi kendala yang sangat besar dan berat. Belum lama ini misalnya, para penambang/buruh dan pengusaha melakukan demonstrasi di kantor Desa Citatah untuk menolak penutupan penambangan di kawasan ini.

Sulitnya lagi, perusahaan yang "bermain" di kawasan ini termasuk perusahaan-perusahaan besar macam Semen Gresik yang truk-truknya sering terlihat berada di sana. Padahal secara hukum pun hal tersebut sudah menyalahi aturan karena lokasi usaha Semen Gresik tidak terdapat di wilayah Jawa Barat. (foto kanan: salah satu lubang yang bagaikan jendela di salah satu "ruang" di Gua Pawon, tempat ditemukannya fosil si Manusia Pawon)

Ironisnya, meski menyangkut pundi-pundi yang bisa bernilai miliaran untuk para pengusaha yang ada di hilir dalam hitungan bulan, namun penghasilan para buruh tambang Citatah setiap minggunya tak lebih hanya dalam hitungan 50-100 ribu. Kian ironis ketika para buruh tersebut tak punya pilihan lain, sementara pemerintah pun tidak bisa memberi pilihan pada mereka. Beginilah nasib masyarakat yang hidup di negeri sarat korupsi. Di sisi lain, pemerintah daerah pun sebenarnya hanya kecipratan pemasukan (PAD) yang sangat kecil dari pajak galian C, yakni hanya dalam hitungan 100-300 juta saja setahunnya.

Tampaknya komitmen Pemkab Bandung Barat terhadap upaya pelestarian kawasan ini harus lebih diperkuat. Suatu penataan yang komprehensif, harus dilakukan. Mulai dari pengalihan mata pencaharian warga, dan adanya law enforcement (kemauan hukum) yang kokoh dan dipatuhi semua pihak. (foto kiri: menatap Karang Panganten dari atas Gunung Hawu)

April lalu, tersiar kabar bahwa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah mendaftarkan Situs Gua Pawon sebagai Cagar Alam Warisan Dunia kepada UNESCO (Organisasi PBB yang mengurusi masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya). Namun melihat kondisi Citatah yang kian hancur, dan konflik kepentingan di sana yang sudah sedemikian kompleks, sejumlah kalangan merasa pesimistis. (lihat: http://oase.kompas.com/read/2010/08/31/02075964/Fosil.Kembali.Ditemukan.di.Gua.Pawon).

Memang, penggerusan terhadap Gunung Masigit sudah dihentikan. Begitu juga dengan penambangan fosfat/guano (kotoran kelelawar) di dalam Gua Pawon. Namun faktanya, eksploitasi kawasan karst Citatah tidak lantas berkurang. Para penambang kini terlihat memindahkan aktivitas mereka ke bukit tetangga Gunung Masigit, yakni ke Pasir Bancana (dalam bahasa Sunda, pasir berarti bukit). (foto kanan: Stone Garden di puncak Pasir Pawon)

Masyarakat yang terlanjur menggantungkan periuk nasinya pada eksploitasi Citatah, tidak bisa begitu saja diminta menghentikan kegiatannya. Mereka harus diberi “mainan” baru. (ruri andayani)

Sunday, July 25, 2010

Karst Citatah: Terumbu Karang Oligo-Miosen yang Terancam Punah

Judul : "Amanat Gua Pawon"
Harga :
Rp 50.000
Penyunting : Budi Brahmantyo dan T.Bachtiar
Jenis buku :
Bunga rampai (berisi artikel 20 penulis dari beragam profesi)
Penerbit: Kelompok Riset Cekungan Bandung

UNTUK yang sering bolak-balik Bandung-Jakarta melalui jalur Sukabumi-Cianjur-Padalarang, pastinya tidak asing dengan kawasan Tagog Apu - Citatah. Di daerah ini, sejenak kita akan terhibur oleh panorama bentang alam yang berbeda dibanding di jalur lain. Yaitu, panorama perbukitan karst (batu gamping/kapur) dengan jalannya yang berkelok-kelok, mengingatkan kita pada puisi-puisi Ramadhan KH, Priangan Si Jelita: ....berbelit jalan ke gunung kapur.

Tahukah? Jika kita menyusuri jalan “buatan” Herman Wilhelm Daendels (Gubjen Hindia Belanda periode 1808-1811) yang menghubungkan Jakarta Bandung ini pada 30 juta tahun lalu, kita akan berada di dasar suatu laut dangkal yang kaya terumbu karang. Bagaikan sedang menyelam di perairan The Great Barrier Reef. Atau jika terbang di atasnya, seperti sedang ber-snorkling di taman laut Bunaken yang indah. Bukti sejarah geologis tersebut masih terrekam sampai detik ini, berupa rangkaian perbukitan batu gamping, khas sisa-sisa laut dangkal, berumur oligo-miosen (30-20 juta tahun lampau).

Dari sudut pariwisata/olahraga, lokasi ini sering digunakan para pedaki tebing untuk menjajal kemampuannya. Namun sayang, perbukitan kapur yang menyimpan sejarah sangat menarik ini juga dimanfaatkan perusahaan-perusahaan yang sekedar ingin mengeruk keuntungan dari bongkahan-bongkahan batu kapurnya.

Tak heran jika di sana kita seringkali melihat pemandangan aktivitas alat-alat berat seperti ekskavator atau backhoe, tengah merayapi bukit-bukit yang tampak sudah gundul dan memutih memperlihatkan isinya. Bukti sejarah Geologi yang luar biasa ini, sedang dalam tahap penghancuran!

Pada 2003, ditemukan fakta kawasan ini pernah disinggahi manusia prasejarah. Terbukti dari ditemukannya fosil manusia dari spesies Homo sapien awal, berusia 11-10 ribu tahun. Fosil ini ditemukan meringkuk di kedalaman lantai Gua Kopi – Gua Pawon, lokasi yang juga sering digunakan para pedaki tebing karena di dalamnya terdapat tebing yang cukup menantang.

Menanggapi hal tersebut, 20 penulis dengan latar belakang beragam : geolog, wartawan, seniman, arsitek, pendaki gunung, dll, mencoba mencurahkan perasaannya di dalam buku ini. Keseluruhannya bernada kepedulian akan perlindungan warisan alam perbukitan batu kapur Citatah-Rajamandala secara umum, dan Gua Pawon pada khususnya, yang wajahnya kini sudah bopeng-bopeng. Selamatkan Karst Citatah!! (ruri andayani)

***

Untuk info pembelian:
@Tulis email ke ruri_and@yahoo.com

(pengiriman akan dilakukan lewat ekpedisi: Tiki ataupun Posindo).

"Karena kesulitan memperoleh stok buku ini, maka pembelian minimal harus 5 eksemplar"

Tuesday, July 13, 2010

MENYUSURI BENINGNYA CITARUM ASLI

PERTAMA kali mengunjungi Gua Sanghiangtikoro —saat masih di SMP bersama ayahanda ytc alm— penulis heran. Saguling, nama daerah tempat Sanghiangtikoro berada, terletak di dataran rendah. Seingat penulis waktu itu di daerah ini tak ada gunung api, dan memang tak ada, meskipun di sana terdapat sumber air panas. Tapi kenapa bau belerang begitu menyengat?

Tak jauh dari Sanghiangtikoro, terdapat pipa pesat milik PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Saguling. Ke dalam terowongan ini, air berkapasitas raksasa diluncurkan agar menghasilkan listrik untuk memasok Jawa-Bali. Penampilannya “megah”, berwarna oranye, sehingga menarik perhatian. (foto kiri: gua dengan sungai bawah tanahnya: Sanghiangtikoro)

Dan tahukah dari mana air yang diluncurkan melalui pipa pesat tersebut berasal? Dari saluran-saluran kotoran perumahan; saluran pembuangan limbah industri: pabrik, rumah sakit, peternakan; sampah rumah tangga maupun industri, hingga erosi tanah-tanah pucuk yang terkadang sudah tercemari pula oleh pupuk-pupuk kimia. Segala tetek bengek itu —baik yang langsung masuk Citarum maupun yang dipasok sungai-sungai kecil macam Cikapundung— bersatu di daerah aliran sungai (DAS) Citarum, dan terbendung di Waduk Saguling.(foto kanan: pipa pesat PLTA Saguling)

Awal 2000-an, pernah terjadi bencana. Ikan-ikan yang dibudidayakan pada jaring apung (japung) di Waduk Saguling, pada koit. Nelayan japung rugi besar. Seingat penulis, waktu itu tersiar berita bahwa musim hujan telah memasok debit besar ke Waduk Saguling, dan mengocok isi perut telaga buatan itu.

Maka, segala racun yang telah mengendap di dasar waduk membuncah, dan menyebabkan air pada level permukaan teracuni atau kehilangan oksigen (kira-kira begitu). Tak heran jika ikan-ikan pada megap-megap dan lalu menemui ajalnya. Keadaan air yang berracun ini juga diduga disumbang oleh pakan ikan yang diproses secara kimiawi, dan digrojok terus ke dalam air Saguling. (foto kiri: indahnya warna-warni sampah dari sungai-sungai "kecil" yang dipasok ke Citarum. Pemandangan khas sungai-sungai kota besar di Indonesia, khususnya Bandung, umumnya Jawa Barat. Berbanding sejajar dengan budaya nyampah warganya yang aujubilah)

Untuk lebih ilmiahnya, seorang aquatic ecologist, Dr Sutrisno Sukimin, menyatakan, salah satu penyebab mati masalnya ikan-ikan di waduk adalah karena terjadinya penyuburan unsur hara (tropikasi) pada sedimentasi waduk. Tropikasi ini membuat plankton yang tidak dibutuhkan oleh biota waduk, mendominasi ekologi waduk. Akibatnya, keragaman ekologi akuatik waduk—termasuk ikan-ikan yang dibudidayakan di japung— terancam jiwanya. Apalagi, kualitas air baku waduk juga menurun dan mulai tercemar logam berat. Padahal, air waduk ini merupakan cadangan air tawar untuk air minum juga, hiiyyy!!!

Air Citarum berracun yang terbendung Saguling ini lah yang meluncur melalui pipa pesat, lalu dilepaskan ke Citarum segmen Sanghiangtikoro. Bisa dibayangkan, air model apa yang telah mengaromai Sanghiangtikoro. Dilihat kasat mata saja, air ini sungguh tak segar. Warnanya agak hijau, bukan hijau karena refleksi lumut atau plankton, dan berbusa. Sepertinya lengket jika terkena kulit. Kandungan logam beratnya pastinya juga sudah tinggi. Dari air yang kondisinya seperti ini lah bau belerang tersebut menguar—bau air berracun.














World's Most Poluted River: Citarum.... oh Citarum!!


Maka tak berlebihan jika satu lembaga dunia mencap Citarum sebagai "World's Most Poluted River" pada 2008 lalu. Dan tampaknya —tanpa harus mengikuti kompetisi pun— Citarum akan mempertahankan predikat juara bertahan sebagai sungai terkotor di dunia itu hingga kini! Mmmhh... bangganyaaa!!! (*notorious)

Citarum adalah sungai terpanjang di Jawa Barat. Panjangnya mencapai 225 kilometer. Riwayat alirannya dimulai dari mata airnya di Gunung Wayang (Pangalengan-Kabupaten Bandung). Di perjalanan, ia mendapat pasokan dari berbagai sungai kecil termasuk Cikapundung yang alirannya melewati Kota Bandung, (dan kondisinya sama busuknya). Alirannya berakhir di suatu wilayah bernama Muara Gembong (Kabupaten Karawang dan Bekasi).

Kembali ke Sanghiangtikoro. Di lokasi ini, dua kontradiksi Citarum bertemu. Faktor penentu kontradiksi ini pertama adalah, air "sari limbah" dari pipa pesat dihempaskan ke Citarum sekitar Sanghiangtikoro (yang bercabang dua: ke sungai yang bercabang ke kiri, dan ke sungai cabang kanan yakni yang masuk ke dalam mulut Sanghiangtikoro). Namun keduanya akhirnya bergabung lagi ke Citarum yang melewati Desa Bantarcaringin, yang lokasinya tak jauh dari Sanghiangtikoro (foto kiri: aktivitas warga Bantarcaringin di Citarum: Seorang anak tampak mahir bermain selancar-selancaran di sungai yang menguarkan bau belerang ini)

Warga Desa Bantarcaringin, sudah sangat “fasih” dengan sungai ini. Kita boleh ber-sniff-sniff-ria menghirup bau belerang menyengat, namun anak-anak warga setempat dibiarkan tetap ceria bermain di lebar dan derasnya Citarum hilir ini (atau tepatnya agak hilir), dan bahkan menjadi perenang-perenang otodidak. Gangguan kesehatan akibat seringnya bersentuhan dengan air limbah ini mungkin baru akan terasa saat usia mereka lebih dewasa kelak.

Sedangkan faktor penentu kedua adanya kontradiksi ini adalah: terdapatnya aliran Citarum yang bersih, di mana “orang-orang kota” tak sungkan-sungkan nyebur ke dalamnya. Di aliran ini, Citarum boleh dibilang tak tercemar produk bikinan manusia. Citarum segmen inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini, yakni berdasarkan pengalaman penulis menjajal lokasi ini dua kali, termasuk saat kegiatan “Jajal Geotrek IV” pada 8 Mei 2010 lalu.

Kontradiksi ini buat penulis sangat menarik, karena dua hal yang saling bertentangan saling bertemu: Citarum asli dan Citarum yang sudah tergadaikan keasliannya. Dan ini mungkin hanya bisa terjadi di Indonesia, di Jawa Barat…. di Citarum.

***

SEGMEN YANG TERPUTUS DARI HULU ASLINYA DI GUNUNG WAYANG------ Citarum asli yang dimaksud dalam artikel ini, sesungguhnya boleh dibilang sebagai sungai mati. Seandainya tidak ada mata-mata air di sekitarnya, niscaya sungai ini akan kering. Bagaimana mungkin? Karena dengan dibendungnya sungai ini untuk keperluan PLTA Saguling, maka terputuslah sungai segmen ini dari mata air aslinya di Gunung Wayang-Pangalengan. Karena itu Citarum segmen ini menjadi tak ubahnya sungai yang alirannya disodet.

Keterangan gambar: Garis hijau adalah aliran Citarum yang "mati" karena hulunya dibendung (di sinilah kami bersukaria menikmati keaslian alam). Bendungan Saguling dengan waduknya, dapat diamati pada pada posisi kanan bawah. Garis hitam adalah garis imajiner bikinan penulis (pada gambar aslinya tidak tampak adanya aliran menuju pipa pesat) yang kira-kira merupakan jalur sodetan air dari Waduk Saguling menuju pipa pesat (ujung atas garis hitam). Citarum pun terputus dari sumber aslinya. --- gambar diunduh dari Google Earth.

Namun begitu, Citarum asli kini bagaikan museum alam. Andai tak akan pernah ada pembangunan yang merecokinya, tak akan pernah ada perumhan di sekitarnya, maka sungai segmen ini dapat menceritakan pada setiap generasi mengenai kondisi Citarum yang hakiki, yang asli, yang terbentuk karena proses alam, tanpa keterlibatan manusia. Bahkan ternyata, lingkungannya masih sanggup memberikan kehidupan bagi Elang Jawa, biawak/kadal raksasa (setidaknya dua hewan inilah yang menampakkan diri saat kami berada di sana), dan mungkin hewan-hewan liar lainnya. Jadi, tolong jangan ganggu "kami"..........

****

Sang “Tenggorokan Dewa”

MESKI tak perlu waktu lama untuk mengamati keluarbiasaan fenomenanya, namun Gua Sanghiangtikoro yang melahap rakus air Citarum (yang berlimbah) ini, tak pernah membuat penulis bosan untuk menatap dan menatap lagi ke arahnya, seolah berharap tiba-tiba ada naga keluar dari dalamnya. Tangan pun tak bisa ditahan untuk tak merogoh kamera dan kembali menjepretkannya untuk ke sekian kali ke arah liang “tenggorokan sang dewa” ini, dari sekian kali kunjungan ke lokasi ini (padahal hasilnya tidak pernah jauh berbeda).

Dulu, Sanghiangtikoro “dituding” sebagai penyebab bobolnya Danau Bandung Purba. Sehingga di masa-masa sebelumnya, selalu ada wacana semi anekdot bahwa jika Sanghiangtikoro tersumbat, maka Bandung akan kembali menjadi danau. Namun seorang geolog ITB –yang juga penulis buku WBCB– menyusun teori baru bahwa tak mungkin air jebol di sini sebab posisi danau purba tersebut jauh lebih tinggi, dan di posisi lebih tinggi tersebut ada perbukitan yang menghalangi yang boleh jadi merupakan dinding barat laut Danau Bandung Purba. Maka, ditunjuklah “biang keladi” baru, yaitu satu celah antara dua bukit. Bukit sebelah kirinya bernama Pasir Kiara, dan bukit sebelah kanannya bernama Puncak Larang. Teorinya, bukti ini dahulunya bersatu, namun kemudian pada 16.000 tahun lampau, bukit karst ini jebol karena gerusan air Danau Bandung Purba.

Citarum Asli (Loh!)

Di “plaza” pandang Sanghiangtikoro, kontradiksi Citarum asli dan Citarum “palsu” bisa diamati dengan jelas. Di ujung “plaza” ini, air Citarum yang keluar dari pipa pesat diatur oleh satu instalasi –bentuknya mirip instalasi irigasi. Dari posisi ini pula, kita bisa menyaksikan panorama purba dari Citarum asli. Setiap kali mendatangi lokasi ini, penulis selalu penasaran pada sungai lebar dengan batu-batu besarnya yang berserakan nun di sana. Maka, saatnya mengurai rasa penasaran ini.

Untuk mendapati jalan setapak di sisi segmen Citarum asli ini kita bisa sekalian melewati lokasi terdekat ke pipa pesat oranye nan “megah” tersebut. Peserta Jajal Geotrek (JG) IV, sudah pasti tak melewatkan kesempatan berpose dengan latar belakang pipa raksasa ini. Hanya beberapa meter dari sini, kita sudah berada di sisi Citarum asli ini.

Salah satu pemandangan saat baru memasuki segmen Citarum asli ini adalah adanya para "petani pisang" yang lincah meloncati batu-batu di sungai sambil memikul tandan-tandan pisang yang masih hijau. Dari mana pisang-pisang tersebut?

Susur Citarum asli belum benar-benar dimulai. Momentum untuk mulai menggauli sang warisan alam purba ini akan dimulai setelah kita melalui Gua Sanghiangpoek. Ini sesi yang tak boleh dilewatkan karena di dalam gua karst ini ada fenomena alam menarik meski tidak semenarik gua-gua yang terdapat di Maros (Sulawesi) atau Sukabumi misalnya.

Gua Sanghiangpoek tidak terlalu dalam. Dari pintu masuk hingga keluar lagi, panjangnya tak lebih dari 100 meter (?). Namun gua ini menjadi pelengkap penting paket perjalanan susur Citarum ini. Gua Sanghiangpoek masih “hidup”, ditandai dengan masih adanya stalaktit yang meneteskan air. Beberapa stalagtit yang tampak berkilauan tertimpa cahaya senter, menjadikannya objek yang menarik sekali untuk dijepret puluhan kamera yang dibawa peserta JG IV.

Di lorong-lorong gua, tampak batang-batang pohon berserakan. Rupanya ini sisa “banjir” besar beberapa minggu sebelumnya, yang juga telah meruntuhkan jembatan Bantarcaringin. Sedikit mengulas peristiwa runtuhnya jembatan tersebut, saat musim hujan sedang berat-beratnya sekitar Februari lalu, pihak PLTA Saguling yang mungkin cemas dengan debit air yang meninggi di Waduk Saguling, membuka pintu air terlalu lebar. Akibatnya, air menggelontor terlalu besar dan menghajar jembatan rapuh Desa Bantarcaringin, jembatan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Tingginya curah hujan waktu itu, memang menimbulkan kecemasan bahwa bendungan PLTA Saguling akan bobol. Jika sampai terjadi, ini akan mengingatkan kita pada peristiwa jebolnya bendungan Situ Gintung di Jakarta, dan pastinya akan memakan korban lebih banyak karena besarnya kapasitas Bendungan Saguling. (foto kiri: stalagtit yang masih hidup, yang berkilauan jika tersorot cahaya)

Keluar dari Gua Sanghiangpoek, kita dihadapkan pada lantai batuan karst yang curam dan tajam, yang di bawahnya langsung bertemu aliran Citarum asli. Untuk turun dari mulut gua ini, harus ekstra hati-hati. Tangan harus ikut bermain untuk menyokong pijakan kaki. Namun begitu, ada semacam beranda cukup landai di depan mulut gua sehingga kita masih bisa duduk-duduk sambil menatap aliran Citarum asli di depan. Wow, keren!!

Penulis memperoleh dua kali pengalaman berbeda di lokasi ini. Saat melakukan survei seminggu sebelumnya, kemarau 2010 seolah-olah baru dimulai. Debit air yang tenang karena tak ada hujan sejak beberapa hari sebelumnya, membuat genangan-genangan air di bagian-bagian sungai yang lebih dalam tampak bening dan menghijau karena pantulan lumut, dan juga merefleksikan bebatuan di atasnya dengan sempurna. Namun saat hari H, aliran sungai lebih deras sehingga membuat warna air sungai sedikit lebih keruh. Waktu itu, iklim mulai menampakkan anomalinya. Seingat penulis, hingga saat tulisan ini dipublikasikan, kemarau sempat terasa selama semingguan saja. Setelah itu, tersiarlah istilah "kemarau basah".

Di sepanjang aliran sungai antara Sanghiangpoek – Leuwi Gobang – hingga Leuwi Malang, banyak ditemukan sumber mata air yang mengalir dari tebing di sisi kiri sungai, membentuk jeram kecil. Sewaktu survei, rekan-rekan dari Muthahhari Adventure Team (MAT) bahkan mengaku bahwa mereka memasak air teh dan mi instan dari air yang menggenang. Namun sepulang dari survei, toh tak ada yang mengaku sakit akibat mengonsumsi air dari sumber air terbuka ini, termasuk penulis.

Susur Citarum sepanjang sekitar dua kilometeran ini hingga ke lokasi bernama Pasir Malang, cukup menguras tenaga. Pasalnya, meloncati dan memanjati bebatuan bukan perkara mudah. Namun cuaca yang mendung pada hari H (bahkan akhirnya hujan lumayan rapat, berpetir pula) sedikit banyak dapat menyimpan cadangan tenaga, ketimbang jika cuaca panas seperti saat melakukan survei. Tapi gara-gara hujan juga, beberapa rencana seru terpaksa dibatalkan dengan alasan keselamatan. Rencana itu antara lain untuk mengunjungi Sanghiangheuleut, bahkan Curug Halimun seperti yang dijanjikan diawal. (foto kiri: Sanghiangheuleut. Untuk mencapai lokasi ini, perlu perjuangan agak berat)

Kian ke hulu, pemandangan Citarum asli ini memang kian bikin mulut menganga. Pada kesempatan survei, penulis memaksakan terus ikut hingga Sanghiangheuleut. Panoramanya memang makin eksotis. Ukuran batu kian besar dengan bentukan-bentukannya yang juga makin unik, antara lain fenomena pothole. Sebenarnya, di dekat Sanghiangpoek juga ada pothole, namun bentuknya tidak seunik di posisi lebih ke hulu.

Pothole terjadi karena pusaran air yang menggerus batuan yang tentunya memerlukan waktu ribuan tahun. Mengambil pelajaran dari fenomena alam ini, satu pepatah dalam bahasa Sunda mengatakan: ci karacak ninggang batu laun-laun jadi legok --air yang berjatuhan terus-menerus pada batu, akan membuat batu tersebut lambat laun menjadi cekung.

Namun perjuangan untuk mencapai lokasi ini, agak-agak bertaruh nyawa. Lebay? Tidak juga. Karena kalau terpeleset sedikit saja, kepala bisa membentur batu-batu besar yang terkadang bertekstur tajam. Cara teraman, sebenarnya lebih baik kalau menceburkan diri saja ke dalam sungai. Sayangnya, di beberapa bagian sungai, kedalamannya bisa lebih dari satu meter, dan kita tidak pernah tahu ada apa di dasar sungai tersebut. Padahal para peserta perlu juga mengamankan peralatan tempur yang rawan air seperti ponsel dan kamera. Jadi, Curug Halimun bagi penulis juga masih menjadi misteri, meskipun katanya tempat ini bisa ditempuh dari lokasi lain di hulu, bukan dengan susur sungai dari hilir.

Dengan turunnya hujan di bulan-bulan yang justru harusnya kemarau, mengingatkan penulis pada JG III ke Tangkubanparahu. Saat itu, persiapan peserta menghadapi kemungkinan hujan, cukup baik, karena memang diselenggarakan di bulan-bulan yang masih musim penghujan. Sampai-sampai beberapa kecewa karena hujan tak turun. Sebaliknya dengan JG IV. Banyak yang tidak siap menghadapi hujan karena menduga kemarau sudah tiba. Penulis pun sengaja tidak membawa jas hujan, dan berharap bisa teratasi dengan topi saja. Eeeh... bahkan topi pun tertinggal. Untung seseorang telah berbaik hati meminjamkan topinya karena ybs sudah membawa jas hujan (terima kasih Mbak Suzanna).

Dengan agak kecewa, peserta kembali ke Sanghiangpoek. Namun kali ini tidak menyusuri sungai, melainkan melalui jalan setapak yang biasa dilalui para petani pisang. Bicara soal pisang, jika memandang ke tebing-tebing di sisi kiri dan kanan sungai, vegetasi kawasan ini tampaknya sudah sangat berubah. Sungguh aneh di tebing-tebing dengan kemiringan hampir 60-70 derajat itu, banyak ditumbuhi pohon pisang.

Ada dua keprihatinan yang membuncah di kepala: pertama, masyarakat miskin yang memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk bertani walaupun dengan kontur tanah yang sulit. Kedua, rusaknya vegetasi asli kawasan, yang tentu saja bisa mengundang bencana alam. Mana yang harus dibela? Yang seperti ini memang hanya bisa terjadi di negara miskin dan korup macam negeri ini.

***

Akhirnya, pesta yang sebenarnya, terjadi di pelataran depan Gua Sanghiangpoek. Hujan pula yang membuat acara rehat kopi di lokasi ini menjadi amburadul. Namun sejumlah peserta tak menyia-nyiakan kesempatan untuk melepaskan penat hati dengan menceburkan diri ke sungai. Meski agak keruh, air sungai Citarum asli ini sama sekali tidak berbau.

Sebagai pembuat susunan huruf-huruf "JAJAL GEOTREK" tersebut (taela!, heu!) sungguh tak dinyana ada yang memiliki ide membentang huruf-huruf tersebut di “dalam” air. Tapi, tak ada niatan untuk menyelamatkan konfigurasi huruf tersebut karena kondisinya memang sudah lepek, basaah!! Ah, ya sudah lah, meski mengguntinginya sambil menahan kantuk semalam suntuk, tapi susunan huruf-huruf itu toh cuma dibuat dari kertas poster "Rectoverso" yang “sumbernya” masih berlimpah (?) Akankah ada semalam suntuk kedua untuk membuatnya lagi? i dont think so... (Ruri Andayani)

***












Citarum Segmen Sanghiangpoek. Air yang begitu tenangnya , setelah lama tak turun hujan pada Mei lalu (kirain kemarau mulai "serius"), merefleksikan bebatuan dengan jernihnya.


(Mengenai Citarum sebagai sungai paling kotor sedunia, ada yang menyanggahnya. Silakan buka link ini: http://sobirin-xyz.blogspot.com/2010/09/sobirin-citarum-bukan-yang-terpolusi.html)

Sumber foto tamu:

@http://www.mnn.com/sites/default/files/imagecache/node-gallery-display/photos/Citarum.JPG

@http://www.jonco48.com/blog/deadfish_small.jpg

@ https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1hFKH-TMUagk_iRJLnCEH-L9zc4keW0ue5TxcSfFEEFUDXmBKW5ECw-UuLpPtDcWL_IHJbQJWyVcx83YFTaLCCbwqmcBsCsMm5CvPuek-UXFhTf8exKTnbYduaENNPwPA19zJ4LOQp1va/s400/rubbishRiver1.jpg


Friday, July 9, 2010

MEMBEDAH ISI PERAHU YANG TERBALIK ITU

*Sekilas tentang G.Tangkubanparahu
*Sekilas Bandung Vooruit

Kawah Domas yang sudah pias oleh fenomena material vulkanis, kian memucat: kabut mulai turun. Di kejauhan, gelegar guntur terdengar bersahutan. Setitik dua titik air, terasa dingin di kulit kepala. Cemas? Sedikit. Kecemasan itu banyak terobati oleh indahnya suasana Kawah Domas di bulan-bulan yang masih musim penghujan ini, Februari, tepatnya hari ke-27, tahun ke 2010.

Akankah turun hujan? berdasarkan pengalaman menyurvei jalur yang sama pada 20 Januari lalu, hujan deras mengguyur
tepat saat kami berada di tengah-tengah rimba antara Kawah Domas dengan perkebunan teh Hegarmanah-Ciater.

Maka, seperti biasa, untuk ha
ri H-nya "mitigasi bencana" ditetapkan. Para calon peserta Jajal Geotrek jilid III diwanti-wanti agar membawa jas hujan, baju ganti, dan segala preparat yang bisa melindungi benda-benda rawan air dari kebasahan. (foto kiri: citra Gunung Tangkubanparahu, diambil dari mobil yang sedang melaju di atas jalan layang Paspati)

Yang mencemaskan, tidak semua peserta menurut atau mengetahui info tersebut. Ada yang memang tidak peduli dan siap berhujan-hujanan, ada yang beralasan belum memili'i, berat, dan ada juga yang memang kurang memperoleh informasi. Lebih mencemaskan lagi, yang tidak prepare dengan dengan segala ancaman hujan ini justru peserta paling senior, Dr Gunawan.

Pertama kali saya mengenal Dr Gunawan adalah saat mengikuti Tur Megalitik Gunung Padang Agustus 2009. Saat bertemu lagi di Jajal Geotrek III, style-nya tidak berubah, tetap dengan kaos lengan pendek, topi jepun, dan tas yang diselempangkan begitu saja di pundak, seperti orang mau sekolah saja. Dan….. waduh, dia nggak bawa jas hujan atau payung pun.

Tapi alhamdulillah, segmen paling mencemaskan karena berada pada jam-jam yang biasanya turun hujan —yakni jungle walk antara Kawah Domas dan perkebunan teh— berhasil dilewati semua peserta dengan selamat. Ancaman hujan besar yang sudah terasa sejak di Kawah Domas, ternyata tidak terbukti. (foto kanan: trek menurun menuju Kawah Domas)

Saat perkenalan di Taman Ganesha —meeting point langganan Jajal Geotrek— Dr Dadang Kurniadi, peserta setia Jajal Geotrek, memperkenalkan Dr Gunawan kepada saya sebagai mantan pimpinan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) pusat. Maka kemudian tersiarlah anekdot bahwa hujan tidak jadi turun karena ada “pawangnya”.

Lucunya, justru terselip “penyesalan” pada beberapa peserta, kok gak hujan? Padahal sudah berat-berat bawa jas hujan, payung, sepatu ganti, tutup ransel, dsb, dsb….. Lebih kasihan lagi yang sudah bela-belain beli jas hujan, padahal harganya gak murah juga (secara, ini pengalaman pribadi, hehe!!). Ah tapi….jas hujan kan bukan barang yang bakal busuk. So, lain waktu pasti terpakai lagi, apalagi buat para penjarambah leuweung seperti kita-kita ini.

Sejarah Gunung Tangkubanparahu
Tangkubanparahu adalah panorama alam yang paling banyak menyita perhatian untuk setiap orang yang sedang berada di Bandung. Meski proses pembentukan gunung ini menjadi seperti perahu terbalik sebenarnya proses lumrah, khususnya pada gunung-gunung jenis strato, namun "pemangkasan" pucuknya yang rapi sehingga menjadi berbentuk seperti perahu terbalik, sungguh menarik padangan mata.

Gunung berketinggian 2084 meter ini, bukanlah gunung utama. Dia merupakan anak dari gunung induknya yang dikenal dengan nama Gunung Sunda. Dinding kaldera Gunung Sunda ini masih bisa dilihat sisa-sisanya di lokasi bernama Situ Lembang. Situ alias telaga yang posisinya berada dalam lingkungan Gunung Burangrang (sebelah barat Tangkubanparahu) ini, menyimpan misteri dasar kaldera Gunung Sunda.

Pada 105.000 tahun lampau, Gunung Sunda meletus. Material letusannya yang berlimpah diduga telah menyumbat aliran Sungai Citarum purba. Peristiwa inilah yang diduga menyebabkan dataran tinggi yang kemudian bernama Bandung, terendam air dan menjadi danau raksasa berjuluk Danau Bandung Purba bernama Situ Hyang. Ihwal danau ini pastinya mengingatkan kita pada satu legenda terkenal dari Bandung: Sangkuriang Kesiangan. (foto kanan: foto Kawah Ratu yang diambil tahun 1930-an, kemungkinan dari posisi sama dengan foto di kiri atas yang diambil pada 2010. Mungkin juga dengan pohon cantigi yang sama?)

Nah, legenda Sangkuriang kesiangan ini uniknya sejalah dengan kronologis ilmiahnya. Dimulai dari meletusnya Gunung Sunda, Terbentuknya Situ Hyang, munculnya anak Gunung Sunda yang bernama Tangkubanparahu, hingga surutnya kembali air Situ Hyang—dan kini menjadi dataran tinggi yang dihuni ratusan juta manusia (sejarah Tangkubanparahu dan kesesuaian dengan legenda Sangkuriang bisa dibaca pada buku Wisata Bumi Cekungan Bandung).

Tangkubanparahu adalah gunung api aktif. Gunung ini bisa meletus kapan saja. Meski sekarang dalam fase "tidur", aktivitas gempa vulkanis dalam skala kecil (hanya tercatat seismograf) masih seringkali terjadi. Bahkan pada tahun 2001, kawasan wisata di sekitar gunung ini pernah ditutup karena terjadi peningkatan aktivitas vulkanis.
***

ADA yang sedikit berbeda saat rombongan memasuki gerbang tiketing Wanawisata Gunung Tangkubanparahu: para petugasnya berseragam batik dan tampak seolah-olah lebih profesional. Tapi, profesionalisme ternyata tak selalu identik dengan kabar baik, apalagi di Indonesia. Rupa-rupanya, pengelolaan Wanawisata Tangkubanparahu kini diambil alih oleh swasta dari semula oleh Perhutani (satu badan usaha milik negara).

Di negeri ini, istilah “swasta” biasanya identik dengan pengelolaan yang lebih baik ketimbang “plat merah”. Tapi anehnya untuk kasus Tangkubanparahu, yang muncul justru rasa KHAWATIR!! Pasalnya, institusi swasta —apalagi lokal— biasanya bukan suatu entitas yang mewakili idealisme, melainkan lebih ke mesin pembiak uang. Untuk pengelolaan aset properti, bolehlah mereka dikenal lebih baik dibanding pemerintah, tapi mengelola alam? Dengan telah dikantonginya hak kelola, apalagi diamini Kementrian Kehutanan, mereka bisa saja berbuat apa saja agar selama kontrak mengelola Tangkubanparahu dipegang (katanya 30 tahun, ajegileeeee!!!), laba bisa dikeruk. (foto kiri: diduga mirip MS.Kaban. WANTED!!!)

Gilanya, menurut kabar yang santer beredar di berbagai media termasuk facebook, hak kontrak ini dipegang oleh kerabat mantan menteri kehutanan era Presiden Megawati, M.S. Kaban, di bawah bendera PT GRPP. Yaah… siapa yang berpikir bahwa yang namanya menteri kehutanan bakal berada di posisi sebagai pelindung hutan. Bisa saja justru posisi ini adalah untuk sebesar-besarnya mengeruk keuntungan dari hamparan hutan yang ada di seluruh negeri, dan sialnya kebanyakan keuntungan itu masuk kantong pribadi. Biasa lah, mental mengkambinghitamkan target “Pendapatan Asli Daerah”, khas pejabat-pejabat Indonesia hingga papan paling bawah sejak era otonomi daerah. *gggrrhh.....!!! Ehm, kembali ke laptop!


Volcanotrek/Volcanowalk
Dalam ruang lingkup Cekungan Bandung, ada beberapa alternatif volkanotrek alias wisata kaldera/kawah gunung api. Selain Tangkubanparahu, volcanotrek bisa juga dilakukan di kawasan Ciwidey dengan Gunung Patuha-nya. Di sana misalnya selain ada Kawah Putih, juga ada kawah Cibuni, atau Situ Patenggang yang merupakan bekas kawah gunung api juga. Tetangga Tangkubanparahu, yakni Gunung Burangrang, juga punya kawah, namanya Situ Lembang., meskipun danau yang terbentuknya bersifat semi alami (sengaja dibendung). Kawasan ini selain menjadi ajang berkemah anak-anak muda, juga biasa dijadikan tempat tentara berlatih. Tak heran untuk ke sana, kadang kita harus meminta izin pihak TNI. Namun memang, Tangkubanparahu adalah lokasi yang paling mudah dan paling dekat dijangkau dari Bandung. Selain itu, lokasi kawahnya berada di satu kawasan sehingga bisa disusuri tanpa harus naik turun kendaraan. Namun dari 12 kawah yang ada di sana, hanya tiga yang memiliki jalur trek yang cukup representatif. Ketiga kawah ini adalah Kawah Ratu, Upas, dan Domas.

Kawah Ratu
Behubung kendaraan berbadan besar tak boleh naik ke pelataran dekat kawah, maka kami meneruskan perjalanan dengan naik “odong-odong”. Bus akan menanti kami di sebuah resort di Jalan Raya Subang-Lembang. Odong-odong menurunkan kami di plaza Kawah Ratu yang hiruk pikuk oleh pengunjung. Padahal pada satu dasawarsa ke belakang, hari Sabtu biasanya tak seramai ini.

Entah kenapa belakangan Tangkubanparahu kian menjadi primadona tujuan wisata (tak heran jika satu perusahaan swasta berminat sekali mengelola kawasan ini meski sudah tidak diizinkan Gubernur Jawa Barat sekali pun). Di sana-sini seringkali terdengar aksen-aksen melayu. Belakangan ini, Bandung dan sekitarnya memang menjadi destinasi wisata orang-orang Malaysia, terutama setelah kian murahnya tiket pesawat terbang dari negeri tersebut ke Indonesia, terlebih satu maskapai penerbangan sudah melayani penerbangan lansgung dari Malaysia ke Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Tak sedikit juga wisatawan yang terdengar ramai berbahasa Cina. Wisatawan bule pun terlihat cukup mewarnai suasana, antara lain (setelah ditanya) dari Jerman dan Belanda.

Sesuai namanya, Kawah Ratu adalah kawah utama juga terbesar di lingkungan Gunung Tangkubanparahu selain dua kawah lainnya yang relatif mudah dicapai yakni Kawah Upas dan Kawah Domas. Selain terbesar, panorama kawah ini juga memang paling memesona. Karena itu, para wisatawan minat umum, umumnya hanya muter-muter di sekitar kawah ini saja.

Walaupun tampak tenang, Kawah Ratu masih aktif. Di beberapa titik di dasar kawah, asap belerang terlihat masih mengepul. Meski demikian, keberadaan dua kawah lainnya yakni Upas dan Domas, sudah pasti akan menjadi pelengkap atraksi alam Gunung Tangkubanparahu yang sayang jika dilewatkan. Namun memang, mengunjungi dua kawah terakhir ini akan memerlukan waktu dan tenaga lebih ekstra.

Kawah Upas
Usai menikmati kawah utama Tangkubanparahu, kami menuju Kawah Upas. Dari plaza Kawah Ratu jaraknya kira-kira satu kilometeran. Syukurlah, para wisatawan umumnya memang tidak berniat mengunjungi Kawah Upas, sehingga suasana di sana tidak hiruk-pikuk seperti di sekitaran Kawah Ratu. Jarak Kawah Upas dari plaza Kawah Ratu memang terlalu jauh bagi wisatawan umum yang biasanya datang ke Bandung untuk mengunjungi destinasi wisata lainnya, terlebih lagi jika membawa anak-anak. Diperlukan waktu seharian untuk mengeksplor kawasan ini. Bahkan kami pun terpaksa tidak mengunjungi sejumlah "situs" yang dituliskan dalam map karena berusaha taat waktu. Selain itu, jalur jalan menuju Kawah Upas cukup terjal. Di beberapa titik, kita bahkan tak bisa hanya mengandalkan kaki, tapi juga cengkeraman tangan. (foto kiri: menuju Kawah Upas)

Namun semua itu akhirnya bisa terbayar dengan suasana alam yang tentunya tak bisa didapat jika berpuas diri di plaza utama Tangkubanparahu saja. Kawah Ratu --kawah utama dan terbesar gunung ini-- tampak lebih ueksotis jika dipandang dari jalur menuju Kawah Upas ini. Karena memang vegetasinya —terutama yang paling dominan adalah pohon cantigi— tumbuh lebih rapat, dipadu dengan pepohonan lainnya, hingga pakis-pakisan. Binatang pun masih berani menampakkan diri di sini, antara lain tupai kecil yang bergerak sangat lincah sampai tak terkejar oleh mata. (foto kanan: bagian kering dari Kawah Upas membentuk lapangan. Hati-hati, terutama untuk anak-anak. Banyak gas solfatara di sini)

Plaza Kawah Upas adalah surga narsisme. Begitu sampai di sini, tiada lain yang dilakukan peserta adalah berfoto-foto: mulai pose loncat rame-rame, loncat sendiri (untung gak ada yang berniat loncat ke kawah), termasuk foto tradisi JAJAL GEOTREK dengan semua peserta.

Kawah Upas adalah kawah yang relatif landai. Meski tampak tidak aktif, namun justru di sini banyak bahaya gas solfatara. Kata “upas” sendiri memiliki arti “racun”. Karena itu, untuk menghindari hal-hal buruk, peserta dilarang turun ke bawah. Meskipun sebenarnya pelataran kering di bawah sana sangat menggoda untuk didatangi, demi sekedar menyusun bebatuan menjadi sebentuk kata yang menunjukkan bahwa "kami juga sudah pernah ke sini".

Kembali ke plaza Kawah Ratu, beberapa peserta yang berbobot, termasuk penulis, mulai kepayahan. Jalur kembali yang menanjak, otomatis lebih menyulitkan "gerombolat si berat".

Kawah Domas
Apakah kita akan kembali ke atas? Pertanyaan ini boleh jadi akan terlontar dari siapa saja yang pernah TURUN ke Kawah Domas dari arah Kawah Ratu. Bagaimana tidak, jalur jalan tanah menuju Kawah Domas lebar-lebar namun jarak antar tangganya curam-curam bener dan seperti tak juga berujung. Kalau turun saja repot begini, apalagi kalo harus balik lagi.

Setelah menempuh curamnya trek menuju Kawah Domas sepanjang kira-kira 3 km (padahal katanya hanya 1,2 km. Makleumlah dalam kondisi kepayahan rasanya jauuuh sekali, hehe...), kami semua beristirahat dulu di sebuah “balkon” yang berada tepat di atas Kawah Domas, di dekat sebuah warung. Sebagian peserta menyempatkan memesan minuman tradisional masyarakat Jawa Barat, bandrek. Di sini, muncul wacana-wacana sinisme para peserta Jajal Geotrek terhadap PT GRPP. Salah satu pemicunya adalah sebuah plang peringatan yang ditulis dengan bahasa entah dari planet mana. Kami pun kian khawatir jika harus menyerahkan pengelolaan Tangkubanparahu kepada yang menulis plang peringatan saja kagak becus. (foto kanan: plang "lieur")

Kawah Domas adalah atraksi berikutnya. Meski sebagian peserta memilih melamun di atas bebatuan seperti iguana sedang berjemur (padahal karena masih syok setelah melewati trek curam ke Kawah Domas), namun sebagian besar tak melewatkan kesempatan untuk merendam kaki di kolam-kolam berair panas berwarna pucat keabuan karena bercampur lumpur vulkanis. Yang lainnya sibuk merebus telur di kolam sumber utama fumarola di Kawah Domas yang bergolak, panas!!! Narsisdotcom mah sudah pasti.(foto kiri: merebus telur di lubang fumarola)

Pada waktu-waktu dengan pengunjung lebih sedikit, biasanya banyak wisatawan baik lokal maupun asing (terutama asal negeri jiran) yang menyempatkan melulur betis dan kakinya menggunakan lumpur dari kolam-kolam air panas tersebut, dengan dipandu pramuwisata-pramuwisata "lokal". Pada satu kesempatan kunjungan lain ke Kawah Domas, penulis rada prihatin (bari hayang seuri) karena para pramuwisata native ini ternyata asal ngomong saja. Misalnya mereka mengatakan kepada wisatawan-wisatawan asing ini bahwa batu mulia yang dijual oleh sejumlah pengasong, dan terkadang oleh para pramuwisata itu sendiri, berasal dari Tangkubanparahu. Sejak kapan di Tangkubanparahu ditemukan batu mulia?

Jungle Walk
Hutan antara Kawah Domas dengan perkebunan teh Hegarmanah sebenarnya sangat menarik untuk lebih diakrabi. Sayang, kami diuber-uber waktu. Meski begitu, penulis sempat menikmati senyapnya suasana di tengah hutan itu. Hanya suara cericit binatang, harum tetumbuhan, dan deru angin menghempas pepohonan dan semak belukar, yang terdengar. WOW!!! Kemewahan yang kadang tidak bisa dinikmati barang setahun sekali pun.

Jenis hutan yang panjangnya sekitar satu kilometeran ini adalah hutan heterogen. Tanaman yang nama tradisionalnya bisa diidentifikasi antara lain pakis perdu dan pakis raja, pohon lemo yang harumnya herbalis sekali, dan pada satu segmen ada yang dipenuhi pandan raksasa berduri. Sedangkan vegetasi yang jenisnya tidak dikenal oleh penulis, lebih banyak lagi. Yang pasti di hutan yg vegetasinya relatif masih asli ini tentu saja tidak ada pohon pinus seperti yang bahkan tumbuh di tebing Kawah Upas.

Dengan anehnya, ternyata para peserta menanti turunnya hujan. Mungkin karena “iklan” Jajal Geotrek III (yang saya tulis juga) menyebutkan bahwa hujan deras di tengah hutan saat survei Januari lalu, ternyata tidak semenakutkan yang dibayangkan. Memang, ketika itu pohon-pohon yang tumbuh rapat saling-silang, seolah-olah telah menjadi pelindung alami dari tetesan hujan dan hempasan angin. Namun penulis pribadi bersyukur hujan tak turun, terlebih mengingat “gaya” DR Gunawan seperti yang telah diceritakan di atas. (foto kanan: menerobos rimbunan pohon pakis yang membentuk terowongan)

Tea Walk

Sehabis menempuh rute Kawah Upas, Kawah Domas lalu jungle walk, tibalah segmen tea walk di perkebunan teh Hegarmanah. Penulis membayangkan, sebelum menjadi hamparan kebun teh, ratusan tahun lalu sebelum kedatangan Belanda, tentulah areal kebun teh ini masih hutan seperti yang baru kami lalui itu. Mungkin saat itu di kawasan ini masih terdapat banyak macan kumbang.

Perkebunan Teh Hegarmanah: saat kunjungan pertama, masih hijau lucu.
Saat kunjungan kedua, gosong! Sepertinya sedang proses peremajaan.

Cuaca berkabut dan dingin di perkebunan teh, cukup membantu penyimpanan cadangan tenaga. Sebenarnya, jarak antara ujung hutan hingga ujung perkebunan teh, tidak terlalu jauh. Namun energi para peserta, terutama pada kaki, tampaknya sudah cukup terkuras saat menuruni jalur menuju Kawah Domas. Bahkan di pertengahan jalur tea walk mulai ada peserta yang mengalami lecet-lecet pada kakinya.Jajal Geotrek III diakhiri dengan rehat kopi di sebuah resort di sisi Jalan Raya Subang-Ciater. Terlalu mewah untuk tiket Rp 120.000 per orang sebenarnya, hehehe….

Akhirnya, menjelang pukul 17.00, setelah semua peserta masuk ke dalam bus, hujan turun dengan derasnya. Keadaan lalu lintas Bandung Utara di akhir pekan ini ternyata sangat lancar. Bahkan Jalan Setiabudi, tidak semacet yang diduga. Namun kemacetan justru menghadang parah di Jalan Siliwangi, hanya tinggal sekitar satu kilometeran lagi untuk sampai di tujuan akhir kami, gerbang utama ITB di Jalan Ganesha. Untung saja hujan sudah berhenti, sehingga semua bisa pulang dengan bahagia.(*)

Bandung Voruit "Menembus" Kawah Ratu
Berkat jasa satu perkumpulan orang-orang Belanda pinter, kaya, dan baik hati bernama BANDUNG VOORUIT, Kawah Ratu G.Tangkubanparah bisa ditempuh oleh banyak orang dengan lebih mudah. Perkumpulan yang dibentuk dengan semangat Politik Etis (politik balas budi terhadap negeri jajahannya) ini lah yang membangun jalan aspal pada 1920-an, sehingga Tangkubanparahu bisa dilalui kendaraan roda empat hingga ke bibir kawah. (ruri andayani)



TammaT