“Nut-nut… nut-nut… nut-nut…,“ begitu kira-kira bunyi yang tertangkap indera pendengaran saya. Konstan. Mengingatkan pada bunyi mesin indikator jantung yang dipasang pada pasien-pasien berkondisi kritis. Bunyi yang ritmenya pelan namun menggaung ini, mengiringi setiap langkah saya yang mulai tak konstan di keheningan belantara Puntang.
Jantung berdegup kencang. Setiap langkah yang dipaksakan menaiki tanjakan demi tanjakan karena takut tertinggal, membuat degupannya makin naik ke kepala. Hanya suara napas berat saya saja yang mampu menyaingi suara burung itu (saya menduga itu memang suara burung). Di ketinggian pepohonan yang berlomba menggapai cahaya matahari, suara sang burung seperti kian mengolok-olok.
Kalau saja saya memedulikan seruan-seruan teman seperjalanan agar terus melangkah naik, dan membiarkan jantung kian berdegup hingga benar-benar mencapai titik nadirnya di kepala, niscaya suara burung itu akan berubah menjadi “nuuuuuuuuuuuuut!” —whew…liarnya imajinasi tentang kematian, di tengah ketidakberdayaan manusia.
Untunglah, di ujung tanjakan, objek yang dituju telah menampakkan jati dirinya: Curug Siliwangi. Seseorang dari grup lain yang bertemu di lokasi, melirik arloji "sagala aya"-nya. Menurut dia, ketinggian di lokasi kami berhenti sesaat untuk mengisi perut, mencapai 1.800 meter. Suara burung itu pun tanpa saya sadari telah menghilang dari pendengaran, seiring waktu yang kian beranjak siang menuju sore, dan pulihnya kondisi fisik terutama psikis.
Upaya mencapai Curug Siliwangi yang berlokasi di Gunung Puntang (gunung yang masih rangkaian dari Pergunungan Malabar di selatan Bandung) ini, bukan yang pertama. Perjalanan di penghujung Juli 2010 ini, bahkan seperti rerun dari perjalanan dua minggu sebelumnya yang gagal menemukan curug satu ini. Saya sendiri semula masih merasa “bosan” untuk kembali ke Gunung Puntang, namun seorang teman berhasil merayu saya (dan justru malah si teman pada menit terakhir membatalkan keikutsertaannya). (foto kanan: saking curamnya rute pada perjalanan pertama yang nyasar tea, peserta--terutama yang bokongnya XL-- terpaksa pada pake jurus suster ngesot. Mengorbankan pantat ketimbang lutut cedera)
Dengan perasaan lumayan dongkol—belum lagi diwarnai jam karet yang lagi-lagi parah, dan dengan meeting point yang tidak nyaman— saya menegaskan kepada enam orang peserta yang hadir untuk maju terus pantang mundur melanjutkan perjalanan. Konyol rasanya kalau harus pulang lagi ke rumah —saat matahari belum lagi tinggi— dengan tampang bagaikan prajurit kalah perang. Kalau pun harus “menunut” truk berisi domba atau sapi, hajar saja bleh! (biasanya kalau jumlah peserta banyak, kami akan mencarter kendaraan). Namun sepertinya inilah yang namanya petualangan sesungguhnya. Tidak ada kendaraan yang siap mengantar dan menjemput, jam berapapun kami ingin pergi atau pulang.
Sesungguhnya, saya merasa agak “aneh”. Kelima peserta lainnya terdiri dari tiga laki-laki dan dua wanita muda yang semuanya berusia 20-an awal. Dengan demikian, saya merasa seperti sedang mengasuh keponakan-keponakan bermain (hehehe...).
Di kawasan Tegallega yang menjadi lokasi meeting point, kami menyetop angkot jurusan terminal Banjaran…. (atau Dayeuhkolot ya? Saya memang selalu ketukar-tukar mengenai kedua daerah ini). Sesampainya di terminal ini, kami ganti angkot ke jurusan suatu desa bernama Cimaung. Untunglah dua penumpang lain, sepasang muda-mudi, ternyata juga berniat ke Wanawisata G.Puntang dalam rangka mempererat persatuan dan kesatuan, sehingga sang sopir berbaik hati mengantar kami hingga ke gerbang pernikahan, eh…tiketing. (foto kiri: Curug Siliwangi. Hulu Cigeureuh ini tergapai juga)
Dari gerbang tiketing ini, perjalanan dimulai. Ketika sudah mulai memasuki segmen susur sungai Cigeureuh —sungai yang mengalir bening membelah Puntang— saya mulai sibuk menganalisis perjalanan kali ini. Saya sadar betul, rute ini tidak lebih berat ketimbang rute nyasar dua minggu yang lalu. Bahkan boleh dibilang amat landai. Tanjakan berat terutama hanya ada pada saat-saat menjelang sampai di curug. Akan tetapi, kenapa rute ini tidak terasa lebih ringan buat saya dibanding perjalanan yang lalu itu?
Saya menyadari adanya beberapa faktor teknis yang mungkin memperberat langkah saya, yakni selain sepatu yang tidak nyaman, mungkin juga karena jalan setapak menuju Curug Siliwangi ini berbatu-batu, sehingga menyakitkan telapak kaki yang dibalut sepatu yang "salah" ini. Yang jelas, sepanjang rute, saya stress.......
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan: jumlah peserta yang cuma enam orang dengan kemampuan fisik yang beda sendiri, membuat saya repoooot mengimbangi langkah mereka. Karena itulah, sepanjang perjalanan saya tak henti berbicara kepada teman-teman seperjalanan saya itu —semacam excuse— bahwa selain usia saya memang jauh lebih senior (halah) dibanding mereka, badan saya pun lebih “berbobot”. Saya pun ingat, ketika seumuran mereka, meski badan masih lebih langseng (heu!), saya memang tak pernah bisa konstan kalau menaiki tanjakan: problem degupan jantung yang naik ke kepala selalu menjadi domba garut, eh… kambing hitam.
Jika mengingat-ingat perjalanan pertama dua minggu lalu itu, saya termasuk peserta “menengah”, maksudnya tidak paling cepat dan juga tidak paling lambat. Dengan jumlah peserta 25 orang, ternyata memang cukup banyak yang kemampuan fisiknya sama atau bahkan lebih parah dibanding saya, sehingga saya bisa mengatur diri agar tetap berada di tengah-tengah.
Dan, karena menyadari ada peserta yang tertinggal di belakang, banyak momen buat saya untuk beristirahat, menarik napas, dan mengatur langkah. Sehingga, walaupun banyak tanjakan berkemiringan 80 derajat --sehingga nyaris-nyaris harus seperti memanjat dengan dibantu akar-akar pohon-- namun perjalanan waktu itu rasanya justru tidak serepot perjalanan rerun ini. Selain itu, psikologis saya juga tidak berontak karena menyadari masih ada peserta lain tertinggal di belakang saya, sehingga ada rasa tidak perlu ngoyo untuk mengejar peserta di depan. (foto kanan: belantara puntang. Hai burung, di manakah kau menclok?)
Dengan banyaknya waktu untuk menarik napas, saya pun cukup memiliki banyak kesempatan mencermati dan menikmati alam di sekeliling saya. Berbeda dengan perjalanan kemarin. Meski panoramanya lebih indah, namun seingat saya, tak sempat rasanya berlama-lama menikmatinya karena yang ada di kepala saya hanya bagaimana caranya supaya saya tidak tertinggal terlalu jauh dari pemuda-pemudi yang berjalan bagai dikejar satpam itu. Ah, saya tampaknya kapok “jalan-jalan” dengan formasi peserta seperti ini.
Tapi tidak ada siapa pun yang perlu disalahkan. Bahkan saya tahu, beberapa teman juga dengan sabar menunggui ketika saya kehabisan napas. Yang salah adalah ketika muncul perasaan menjadi faktor penghambat kelancaran perjalanan peserta lain. Sungguh tak nyaman. Maka, jika lain kali saya terlalu cerewet menanyakan komposisi peserta, harap makleum :).
Tak jauh-jauh dari legenda rakyat Jawa Barat, nama Siliwangi yang dilekatkan pada curug ini berkaitan dengan kisah Kerajaan Pajajaran. Sebelum sampai di lokasi, teman-teman yang pernah menempuh jalur ini mengingatkan agar kami jangan berkata-kata sompral. Bahkan katanya, kalau di tengah perjalanan tiba-tiba turun kabut tebal yang (kata mereka) aneh, jangan panik. Ah, bukankah pada perjalanan pertama yang katanya berhasil mencapai ketinggian 2.000 mdpl itu, kabut yang tebaaal sekali turun tiba-tiba. Dan sebagai penggemar kabut, saya malah exciting. *Belum tau cerita apa-apa soalnya.
Hingga kami kembali lagi ke parkiran, kabut yang “dijanjikan”, tak kunjung turun juga. Malah, cuaca demikian cerah cerianya seolah-olah mengingatkan bahwa waktu itu memang sedang musim kemarau, meskipun kemarau yang anomali (cekidot: http://ruri-chronicle.blogspot.com/2010/07/ada-apa-dengan-kemarau-2010.html). Sesekali, suasana menjadi mendung karena terpayungi awan tebal yang menggelayut di ketinggian pucuk-pucuk bukit. Tak mengherankan, namanya juga gunung.
Curug ini sebenarnya tidak lebih indah ketimbang curug-curug yang pernah saya lihat di Panjalu-Ciamis, tepatnya di lokasi wisata bernama Curug Tujuh-Cibolang. Namun inilah curug tertinggi yang pernah saya lihat langsung. Selain itu, sebagai penikmat alam, tidak pernah ada kata menyesal atau rugi untuk bermesraan dengan alam. Apalagi jika dia menyuguhkan “atraksi” aliran air pergunungan yang jernih, bersih, dan tak ada habisnya. Berat rasanya meninggalkan tempat ini terlalu cepat.
Saking jernih dan bersihnya, air yang jatuh melalui jeram-jeram ke bagian yang lebih dalam, menjadi tampak seperti kebiruan. Saya pun tidak sungkan (seraya berucap bismillah) meminum langsung air yang mengalir bebas ini. Rasanya sama sekali tidak berbeda dengan air minum kemasan. Meskipun memang jika diamati, ada organisma yang melayang-layang. Mungkin sejenis lumut atau gundukan plankton. Syukurlah tiga hari setelah pulang dari sana, saya memang baik-baik saja.
Satu penyesalan pada perjalanan kali ini, saya tidak mempersiapkan baterai kamera digital dalam kondisi penuh. Jadi, terpaksalah menahan untuk tidak menjeprat-jepretkan dengan boros ke segala arah yang saya mau, sebelum sampai di curug yang satu ini. Tidak lucu rasanya kalau sepulang dari Curug Siliwangi --yang juga sempat gagal dikunjungi-- saya malah tidak punya oleh-oleh gambar curug ini.
Baru setelah puas mengabadikan sang curug, pada perjalanan turun/pulang mulailah saya kalap memotret segala fenomena (yang saya anggap) unik, yang pada perjalanan pergi/naik terpaksa ditunda karena takut kehabisan baterai.
Perjalanan pulang, tidak berarti “aman” buat saya, meski lebih ringan. Lebih ringan karena untuk turun, jantung tidak perlu bekerja lebih keras. Bahkan saya bisa mengimbangi langkah teman-teman yang kali ini berjalan bagaikan besok mau kiamat saja.
Nyaris dalam perjalanan turun ini, saya tidak sempat menyengajakan berhenti dulu untuk mengatur napas:. Ini juga berarti tanda bahwa jantung saya baik-baik saja, tidak seperti saat perjalanan naik. Saya memang tetap tertinggal, karena saya sibuk memotrat-motret sana sini.
Nyaris dalam perjalanan turun ini, saya tidak sempat menyengajakan berhenti dulu untuk mengatur napas:. Ini juga berarti tanda bahwa jantung saya baik-baik saja, tidak seperti saat perjalanan naik. Saya memang tetap tertinggal, karena saya sibuk memotrat-motret sana sini.
Tidak “aman”-nya karena untuk perjalanan turun, lutut-lah yang harus bekerja ekstra keras. Selain itu, jalan setapak berbatu rasanya kian memerihkan telapak kaki saya. Pada beberapa turunan yang tajam, saya bahkan sudah tidak mampu untuk tetap berdiri pada kedua kaki. Jurus pamungkas suster ngesot terpaksa dikeluarkan.
Belum lagi sakit kepala mulai datang mendera, karena berjalan turun berarti harus sedikit meloncat-loncat, kaki tersentak-sentak demi berkompromi dengan gravitasi, dan dengan begitu kepala pun itu terhentak-hentak. Dengan kondisi yang agak limbung begitu, saya tidak mau ambil risiko terpeleset saat harus meloncati batu-batu sungai yang licin, apalagi dengan sepatu yang kurang mendukung ini. Maka, saya memilih masuk sungai saja, berbasah-basahan, biarlah sepatu jebol pun.
Sesampainya di pelataran dekat reruntuhan Radio Malabar (lihat juga tulisannya di: http://cekunganbandung.blogspot.com/2010/06/berburu-halimun-malabar.html), yang artinya sudah dekat dengan warung-warung dan tempat parkir kendaraan, saya menolak untuk meneruskan perjalanan ke Curug Cikahuripan. Padahal katanya lokasinya hanya perlu berjalan 10 menit saja. Ah….dengan kaki yang sudah nyorocod begini? No way bin sori la yauw!(ruri andayani)
gokil keren abis nih buat liburan akhir tahun ke wisata bandung
ReplyDelete