Tuesday, March 22, 2016

Memperingati Hari Air: Ketika Aroma Orde Baru Masih Menyengat di PDAM

Tulisan ini pastinya tidak berhubungan langsung dengan persoalan Cekungan Bandung seperti yang menjadi sejarah penciptaan blog ini, meskipun kalau mau dihubung-hubungkan, kok ya nyambung juga. Jadi kalau begitu, kita hubung-hubungkan saja lah, biar cuco dengan nama alamat blog ini.

Kebetulan, terkait tanggal 22 Maret yang katanya HARI AIR SEJAGAT, saya jadi ingin menulis tentang persoalan perusahaan air milik pemerintah kota di Bandung; atau yang sebenarnya persoalan saya pribadi terhadap perusahaan yang menamakan diri Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtawening ini---selanjutnya saya mau menyebut PDAM saja.

Saya, jangan-jangan, sudah punya masalah dengan PDAM sejak masih di perut ibu saya. Pasalnya sejak berlangganan PDAM sebelum saya lahir, ibu saya sudah bergadang-gadang menanti ilham, eh air, mengocor, lalu menimbakannya ke bak-bak penampungan di kamar mandi, atau ke ember-ember yang tersedia. Pokoknya, "kapastitas terpasang": kalau perlu semua yang punya lekukan akan diisi air oleh maknyak.

Bayangkan, sejak tahun 1970-an, ketika lingkungan rumah masih sepi (tidak seperti sekarang yang saban hari jalan di samping rumah dilalui bus TMB dan lima trayek angkot), ibu saya sudah bergumul dengan pola pelayanan PDAM yang pathetic ini. Sampai-sampai ibu saya punya kisah berinteraksi dengan dunia gaib sepanjang menjadi wanita malam tersebut (mudah-mudaan saya ingat untuk menceritakannya di bagian akhir tulisan yang akan sangat puanjaang ini).

Ajaibnya, atau lebih tepatnya menyedihkannya, tugas sebagai "wanita malam" tersebut terwariskan kepada saya, sampai detik tulisan ini termuat di blog ini. Ibu saya memang terbiasa prihatin, dan tipe yang tidak suka perubahan; semacam konservatif. Sehingga ketika memungkinkan untuk melakukan revolusi cara mengakses air bersih dengan lebih mudah pun, beliau tidak melakukannya.

Sampai akhir hayatnya, Desember 2013, di usianya yang sudah 74, ibu saya masih juga membaktikan diri menampungi air PDAM yang ngocornya susah naik, main bawah melulu. Ibu saya memang masih perkasa di usianya yang sudah masuk 70-an, beliau "cuma kalah" oleh tensi, kolesterol, dan jantung. Sehingga, beliau kadang-kadang masih ikut mengumpulkan air; mungkin tak tega membiarkan saya melakukannya sendiri.

Orang PDAM sejak zaman baheula sepertinya sudah menyarankan pada ibu saya untuk bikin bak penampungan di bawah permukaan tanah, terus beli pompa air listrik. Para tetangga melakukannya, tapi entah kenapa beliau tidak pernah terprovokasi untuk juga melakukannya. Sebagai ibu dari enak anak, sepertinya keterbatasan dana yang menjadi alasan

Alhasil, saya yang selalu saja tak sempat  punya dana lebih ketimbang beliau, teruuus menimba dan menimba (kasihan deh saya *ikon melet*), meneruskan "tradisi" beliau. Yah, beliau wanita produk zaman penjajahan, yang pernah terpaksa bertahan hidup dengan hanya mengandalkan apa yang disediakan alam di kebun-kebun, sehingga terbiasa prihatin tampaknya.

Saya ingat betul. Ketika masih awal-awal di sekolah dasar (SD) pada akhir 1970-an atau mungkin awal 1980-an, ibu saya sampai harus minta air ke tetangga untuk keperluan memasak. Tetangga jauh kami--sekitar 3-4 rumah dari kami--memang kualitas air sumurnya lebih baik, sementara kami hanya berani menggunakan air sumur kami untuk mandi saja. 

Di komplek rumah kami yang rada terpengaruh gaya kolonial, di setiap rumah terdapat sumur; satu sumur untuk dua rumah (komposisi sumur ini  membuat kami bisa "berkomunikasi" dengan tetangga lewat kolong dinding pemisah rumah yang sekaligus pemisah sumur tersebut. Unik sekali zaman baheula itu sebenarnya :D).

Kondisi air sumur di rumah kami memang agak buruk: dalaaam dan airnya hanya seuprit; sampai batu-batu di dasarnya terlihat. Tapi lebih dari itu, masalahnya adalah airnya diduga sudah tercemari air selokan yang ada di samping sumur. Maka, alih-alih menimba air dari sumur, ibu saya terpaksa setiap malam menimba air PDAM; tak punya pilihan lain, seolah itu bagian dari hidup yang harus dijalani. 

Hidup di Indonesia, apalagi di bawah pimpinan rezim koruptif, mengeluh itu haram. Kalau dengan gaji 350/bulan kala itu seorang PNS sudah bisa menyekolahkan enam orang anak, apa yang perlu dikeluhkan. Jangan melihat ke atas, ke negara-negara maju yang bisa menyediakan air bersih 24 jam. Kita toh cuma hidup di negara dunia ke-3.

Otot Bagai Pendekar 

Kenyataannya, dekade demi dekade berlalu, dari 1970-an ke 1990-an, pelayanan PDAM tak juga lebih baik. Apalagi berita-berita ihwal Bandung bakal kesulitan air makin sering terdengar; yang mungkin bisa dijadikan alasan bagus untuk pelayanan PDAM yang tak kunjung bagus

Ingatan saya ihwal kesulitan air di akhir 1980-an, awal 1990-an, sebelum berangkat sekolah (SMA) saya sibuk "membesarkan otot" dulu dengan menimba air dari jolang plastik berbentuk bulat yang ditanam di tanah --alih-alih membuat penampungan permanen.

Waktu itu, pelayanan PDAM sedang terburuk dari yang terburuk. Kami hanya dijatah ngocor sekitar 1 atau 2 jam (dimulai pukul lima/enam pagi, berkahir sekitar pukul tujuh), itupun ngocornya di bawah permukaan tanah dengan debit kecil; kurang ajar sekali pokonya. Untuk memudahkan pendistribusian ke bak di kamar mandi, bapak saya terpaksa melubangi dinding kamar mandi sehingga kami tidak harus menggotong-gotong ember memutar ke kamar mandi.

Saya yang dibanding kakak-kakak saya yang lima orang (empat laki-laki) lebih peduli pada keberadaan air di rumah (mungkin karena saya rajin mandi :P ) yang akhirnya terpaksa setiap pagi rajin menimba air yang tertampung di jolang bawah tanah itu, sampai tetes terakhir,  dengan menggunakan ember kecil; tak ubahnya menimba air dari sumur.

Tak heran jika sampai sekarang tangan saya kekar bak pendekar. Tapi anehnya, kondisi ini tidak membuat saya memiliki badan yang sehat.

Kondisi ini sepertinya berlangsung cukup lama. Saya tidak ingat tepatnya, tapi sepertinya hampir sepanjang saya duduk di bangku SMA. 

Ada masanya kualitas pelayanan PDAM membaik sehingga jolang yang ditanam di tanah, diangkat. Malah kemudian bapak memperluas rumah, sehingga di posisi jolang ditanam sekarang, berdiri bangunan baru; sayangnya tanpa membangun penampungan air permanen (haha...).

Memang tersiar kabar (burung) bahwa pipa-pipa sudah diperbaiki (meh!), air mulai mengucur naik ke keran di atas bak yang tingginya sedikit di atas satu meter. Meskipun warna airnya semerah tembaga, saya menatapnya dengan mesra, seolah masalah air sudah berakhir (hiks!).

Dengan air merah itu (setelah mengendap, warnanya agak cerah), saya mandi sepuasnya, tak peduli apakah air itu berbahaya atau tidak. Bahkan kami nekat memasak "air minum" made in perusahaan daerahnya kota Bandung itu untuk konsumsi sehari-hari, sesudah diendapkan tentunya.

Numpang Mandi di Kampus dan Masjid Depan Rumah

Kemesraaan itu sepertinya harus cepat berlalu. Sebab saya ingat lagi, di masa saya kuliah (masuk tahun 1990), saya sering numpang mandi di kamar mandi masjid Universitas Padjadjaran (hahay...). 

Bahkan saya juga ingat, sepulang main dari Pasar Seni ITB 1995, karena tak kuat kondisi badan yang gueraah sementara bak di rumah kering kerontang, saya numpang mandi di masjid depan rumah yang punya sumber air pompa bor, meski dengan air berbau besi, kuning, dan sulit meluruhkan sabun.

Sungguh aneh numpang mandi di masjid umum begitu. Waktu itu kawasan masjid belum seramai sekarang, sehingga --dengan berjingkat-jingkat bak detektif di film-film kartun-- saya bisa mengupayakan supaya tak ada tetangga dan pengurus masjid yang melihat.

Jadi, sudah setua sekarang, sampai ibu saya meninggal dunia Desember 2013, saya tak henti dirundung permasalahan air. Satu-satunya ingatan saya paling hebat tentang kemurah-hatian PDAM adalah pada 2011. Saat itu, air naik ke keran di atas bak, 24 jam, dengan debit besar.

Akan tetapi karena sudah terbiasa prihatin suratin, saya tidak pernah bisa berbaik sangka pada PDAM. Kalau PDAM tiba-tiba murah hati begitu, saya sudah menghitung-hitung, kuat sampai kapan mereka? Apalagi waktu itu adalah periode terakhir kekuasaan Walikota Dada Rosada, yang alih-alih menjadi Gubernur Jawa Barat, malah masuk penjara.

Modus PDAM biasanya mengurangi kualitas pelayanan secara bertahap: dimulai dari air naik ke keran di atas bak, ngocor 24 jam, lalu jam ngocor mulai dikurangi; baru ngocor sore, air mulai tidak naik ke keran di atas bak, jam ngocor makin malam, lalu makin lama ngocornya makin rata dengan tanah, bahkan kemudian di bawah tanah. Mereka pun mulai menyarankan ketinggian pipa dipangkas. #tepokjidat

Kalau sudah begini; meniru apa yang dilakukan ibu saya; harus disedot manual via selang. Kondisi TERBURUK adalah ketika tetangga-tetangga sudah memakai pompa listrik, maka sedot manual ini bagai David melawan Goliath. Saya pun sering tersedak. Padahal air yang diawal-awal biasanya sangat kotor.

Di sinilah saya merasa mulai mengalami masalah kerongkongan akibat kebiasaan ini. Terlebih stress menelikung, di jam-jam yang seharusnya manusia sudah tidur. Saya sering mengalami sakit yang sulit disembuhkan oleh dokter. Psikosomatis, kata mereka.

Contoh "modus" pelayanan PDAM seperti saya sebutkan itu: tahun 2012 atau sepertinya awal 2013 (ingatan saya tentang pelayanan air bisa lebih detail di sini) PDAM mulai mengubah kembali pola pengocorannya. Air tidak ngocor 24 jam lagi, tapi semacam puasa Daud, sehari ngocor, sehari berikutnya tidak. 

Lalu, dari asalnya masih naik ke keran di atas bak, mulai hanya mencapai jolang setinggi paha, masih dengan pola puasa Daud. Lalu makin turun sekadar jolang setinggi betis, hingga kemudian seringkali hanya bisa ngocor serata permukaan tanah. 

Di sela-sela "permainan" mereka ini, kadang air tidak ngocor sama sekali (Saat tulisan ini dimuat, pola pengocorannya setiap hari, tapi baru mulai ngocor rata-rata pukul 9 malam. Tapi tetap diatur: sehari agak "pagi" dan agak besar, sehari berikutnya agak malam dan debit agak memble. Besoknya besar lagi, besoknya kecil lagi (ini pasti diatur komputer :P).

Stress paling parah yang pernah saya alami adalah ketika saya sudah bela-belain bangun pukul 2-3 malam tapi pipa kering kerontang walau saya sudah mengerahkan kapasitas paru-paru saya untuk menyedot. Sekalinya terasa ada volume dari dalam pipa, namun sepertinya tetangga masih sedang "asyik" menyalakan pompa listriknya. Saya pun tidak kebagian sama sekali malam itu.

Tapi saya tidak bisa menyalahkan tetangga. Bagi saya, perilaku rumah tangga yang melanggar hukum dengan memasang pompa listrik langsung ke pipa PDAM-nya, tak lepas dari habit PDAM yang terpelihara selama puluhan tahun, selain juga sangat  mungkin bagian dari permainan pegawai PDAM sendiri. Bayangkan, semua rumah tangga menjadi terpaksa membuat bak penampungan di bawah permukaan tanah, lalu membeli pompa listrik (bagaimana nyamuk aedes aegypti bisa diberantas?)

Lalu, sudah mah terpaksa membuat bak penampungan dan pompa listrik (bagi saya ini menjadi simbol pelayanan buruk PDAM), eeeh... pompa listrik-nya diembat maling (seperti yang juga terjadi pada saya--terpaksa sedoooot manual lagi, hiks!).  

Berikutnya, jika terpaksa harus membeli pompa listrik lagi, dana yang dikeluarkan pasti jadi lebih mahal, yakni memasang pompa listrik dengan dimasukan kotak lalu digembok, atau dimasukkan ke dalam rumah--lengkap dengan penginstalasian pipa yang lebih rumit. Belum lagi bayar jasa orang PDAM-nya.  

Sampai-sampai saya sampai pada pikiran: mungkin orang PDAM juga yang memberi tahu para maling, biar orderan terus berjalan. Atau mungkin ini permainan PDAM dengan produsen pompa air.

DIPALAK OKNUM 

Seperti ibu saya, saya juga awalnya tak mau begitu saja menuruti saran orang-orang PDAM agar membuat bak penampungan dan memasang pompa listrik --seolah ini adalah hal-hal yang harus dipermaklumkan oleh para pelanggan: MAKLUM HIDUP DI NEGERI KORUPTIF SEPERTI INDONESIA, KHUSUSNYA BANDUNG.

Hingga pada April 2015, saya menyerah!! 

Penyebabnya, air tiba-tiba PET!!! Bener-bener PET!! Lucunya, mungkin karena ingin menghibur diri, saya malah berbaik sangka untuk pertama kalinya pada PDAM: mungkin PDAM sedang memperbaiki pipa-pipanya. 

Entah bagaimana saya bisa menciptakan hoax begitu. Sehari, dua hari, tiga hari, hingga seminggu.... keriiiiing! Saya bahkan sudah mulai bersiap mengungsi ke rumah kakak. Oke saya ngungsi, tapi saya kan harus tahu, kapan air bakal ngocor lagi sehingga saya bisa pulang. Maka saya mengontak PDAM, via situsnya.
Juara Responsif
Luar biasanya, saluran-saluran KELUHAN ke perusahaan ini begitu responsif, bahkan saya bisa menyebutnya SANGAT. Asal menuliskan nomor pelanggan, ngeluh di akun Twitter resmi mereka pun bakal ditanggapi, bahkan besoknya atau besoknya lagi, akan datang seorang petugas ke rumah si pengeluh.

Atas keresponsifannya ini, mereka pernah nge-twit bahwa PDAM Bandung (dibanding perusahaan daerah lainnya di Bandung), adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) paling responsif. "Percuma resposif kalau tidak ada solusi dan perbaikan," begitu reply saya atas twit narsis ersebut.

Misalnya saja, suatu malam saya bangun pukul 3 dini hari untuk tahajud, eh... untuk "ngintip" air ding. Ternyata tidak ngocor, sodara sodaraaa.... Rungsing lah saya. Lalu saya buka situs atau Twitter resmi mereka, terus curhat: Sudah bela-belain bangun di pagi buta, air tidak mengocor setetespun. Luar biasa!
Hebringnya, besok paginya ada petugas PDAM yang datang. Saya kesal laah, dan bilang: buat apa mereka selalu datang dan datang kalau tidak bisa memenuhi aspirasi saya agar air jangan ngocor kemalaman, agar debit diperbesar sehingga naik ke atas keran sehingga saya tidak perlu kerja fisik di pagi buta. Jawaban mereka: debitnya kecil, tidak bisa ngocor pagi-pagi, sebaiknya bikin penampungan, beli pompa listrik. Jawaban apa itu!!

"Harus begitu Bu. Kalau tidak begitu ya nggak kebagian," dalih mereka, enteng saja, seolah tidak ada keinginan untuk memperbaiki kualitas pelayanan, dan menyuruh pelanggan yang cari solusi sendiri.

Hari lain, yakni saat saya akhirnya MENYERAH membeli pompa air, yakni ketika malamnya saya lagi-lagi mengeluh di Twitter. Besoknya, datang dua petugas PDAM. Saya pun "tepok jidat" lagi. Ngapain mereka datang, mau ngasih hadiah seember air?  

Terpaksa saya ladeni juga. Namun rupanya kedatangan mereka kali ini bagaikan proses dialektika. Dari salah seorangnya, tercetus saran bahwa sebaiknya pada malam hari saya mengecek bagian pipa PDAM yang mengalir ke rumah saya. Waktu itu saya mendengarkan saran itu dengan sikap apriori. Lagipula, seram amat malam-malam saya harus ke luar rumah untuk mengecek.

Karena dada saya sudah sangat berat memikirkan ketiadaan air, hari itu juga saya terprovokasi memasang pompa listrik. Siapa tahu keseretan ini memang gara-gara si air bener-bener mengalir jauuuh di bawah permukaan tanah. 

Saya tidak mau stress berkepanjngan untuk sok berprinsip tidak mau memasang pompa listrik karena merasa bahwa kewajiban PDAM lah untuk mengalirkan air ke rumah-rumah pelanggannnya tanpa pelanggan harus berupaya ini itu lagi. Uang sebesar sekitar Rp 500 ribu pun melayang, termasuk dengan harga pompa listriknya.

Pipa Jebol... Legaaa!

Malamnya, dengan harap-harap cemas, saya untuk pertama kalinya mencoba menyalakan pompa. Bagai atlet maraton, saya bolak-balik ngecek sejak pukul delapan malam sampai lewat tengah malam. Tapi tidak setetespun air keluar kecuali suara angin. Cek lagi, kecewa lagi; cek lagi, kecewa lagi. Sempat rasanya ingin mengamuk ke PDAM. Di dalam khayalan, saya sudah melempar bom ke mereka (serem!). Sampai akhirnya saya menemukan "kelegaan yang aneh" di pukul satu dini hari.

Dalam keadaan jiwa masygul (halah) karena tak se'empret pun air keluar (kecuali ludah saya), saya mendengar suara air yang mengocor deras. Semula saya pikir itu adalah suara aliran air di selokan samping rumah (di mana pipa PDAM ke arah rumah saya, melintang di sana). Tapi memang mengherankan, tidak hujan kok air selokan terdengar sederas itu. Ingatan saya lantas terpicu ucapan petugas PDAM yang menyarankan saya mengecek pipa.

Maka, dengan berdandan ala detektif: memakai jaket tebal gombrang, pakai topi rimba, pakai syal dan sepatu kets, membawa kamera digital dan senter tentunya, diiringi BISMILLAH, saya pun keluar rumah. Jam menunjukkan pukul 00.30. Saya celingak-celinguk, takut ada orang jahat. Sepi...

Saya berharap siapapun yang melihat saya, termasuk sopir-sopir yang berseliweran di jalan (lokasi pipa PDAM ke rumah saya ini dekat perempatan jalan), menganggap saya cowok yang sedang meronda (haha). Hanya dengan sekitar 60-70 langkah, saya sudah berada di lokasi pipa tersebut.

Dan saya pun ngajenghok demi melihat air menggelontor deras dari pipa yang patah, yang posisinya sekitar setengah meter melintang di bawah selokan. Air bersih terbuang sia-sia ke selokan. Dan ini  berlangsung sudah sekitar seminggu. 

Saya jadi ingat, setiap malam kalau saya mengecek air di malam buta, saya memang mendengar suara air menggelontor; yang saya pikir suara aliran air selokan. Rupanya pipa PDAM-nya JEBOL!!!

Tiba-tiba, badan yang penat, tegang, stress, menjadi terasa longgar. Senyum pun terkembang bagai layar tertiup angin malam, sepanjang saya kembali ke rumah. Saya tak peduli air yang terbuang percuma itu terbuang percuma lagi malam itu, sementara bak-bak penampungan di rumah kosong melompong. Biarin saja, toh si zalim PDAM yang merugi (saking kesalnya saya sama perusahaan ini sepanjang hidup saya).

Di malam buta, Februari 2015, itu, saya duduk di depan rumah, di seberang mesjid.  Bergumam sendiri. Sekali-kali tawa keluar dari mulut. Lupa bahwa setiap saat bisa saja ada petugas ronda lewat, atau tetangga terbangun. Tapi bahkan ingin rasanya saya "menari payung", lega demi menemukan penyebab kerontangnya aliran air ke rumah saya. 

Saking leganya memikirkan bahwa besok, besok, dan besoknya lagi saya sudah bisa mengisi lagi wadah-wadah penampungan air yang kosong, malam itu saya baru bisa tidur ba'da subuh.

Paginya, saya mengontak dua petugas PDAM yang memasangkan pompa listrik. Saya tidak ngoyo, karena sepertinya tak mungkin hari ini mereka bisa langsung datang. Kalau tak salah baru keesokan harinya. Saya sudah tidak peduli jika pun terpaksa saya yang justru menyubsidi PDAM memperbaiki pipa yang sebenarnya buka domain saya.

Pipa tersebut sebenarnya menjadi koneksi air PDAM ke rumah tetangga saya juga. Bisa saja saya minta biaya ditanggung 50:50. Apalagi, mereka termasuk yang memasang pompa listrik langsung ke pipa PDAM.  

Tapi, ya sudahlah, sang tetangga umatnya sangat banyak. Biarlah saya yang menanggung sendiri, yang penting saya bisa mandi hari ini dan seterusnya. Hanya saja saya heran, sepekan air tidak ngocor, kok mereka adem ayem saja. Memang mereka punya sumur; sumur yang dulu juga aksesnya ada di bagian rumah saya, yang malah ditutup oleh bapak saya... Tapi?? Ah, entahlah...

Kocek saya kembali tercabik-cabik. Meskipun pipa yang dipakai diambil juga dari saya (bekas pagar rumah yang kebetulan agak pas ukurannya), toh saya tetap harus membayar mereka (dua orang) Rp 200 ribu.

Malamnya saya menikmati keajaiban. Air menyemprot keraaasss dari keran yang sudah "diprovokasi" oleh pompa listrik, meskipun banyak membawa muatan endapan. Saya tidak menduga, bencana lainnya tengah mengintip.

Ingin Melapor ke Ombudsman
Satu dua bulan pertama sejak saya memasang pompa listrik dan aliran air "pulih" (meskipun tetap saja baru ngocor malam-malam), saya masih menikmati tagihan air dengan jumlah normal, Rp 40 ribu-an. Hingga pada bulan ketiga (atau keempat), tiba-tiba tagihan mencapai Rp 350 ribu. Apa-apaan ini??!!

Saya pun datang langsung ke kantor PDAM Bandung di Jalan Badak Singa, ke bagian pengaduan tentu. Intinya: Plis deh, walaupun dengan pompa listrik saya jadi sangat jor-joran, tapi kapasitas penampungan air di rumah saya cuma segitu-gitunya, kalau mau naik pun dari Rp 40 ribuan jadi Rp 100 ribu, kek! (100 ribu? Gede amit!!)

Ketika akhirnya saya kebagian "customer service" (CS) seorang wanita berusia paruh baya, berwajah tak nyaman, saya pun jadi kurang nyaman. Sesuai dugaan saya, dia sulit diajak berbicara agak detail tentang permasalahan saya. Dia cenderung defensif; gak mau susah kayaknya.

Dengan wajah "besinya" itu, saya diminta membayar saja dulu. Jika pihak PDAM mengaku salah, maka akan dipertimbangkan kompensasinya di bulan depannya. Saya mati gaya, dan pergi bagai prajurit kalah perang.

Awalnya saya belum mau menyerah. Saya pulang tanpa mampir ke bagian pembayaran. Tapi di perjalanan pulang, saya gelisah, pasalnya saya juga suka malas keluar rumah lagi. Maka turunlah saya di ATM Mandiri; membayar tagihan PDAM via bank tersebut.

Di rumah, saya tetap merasa aneh dengan tagihan yang bengkak tak beralasan ini. Karena, yaitu dia, sederas-derasnya ari mengalir, kapasitas penampungan air di rumah saya cuma segitu-gitunya. Itupun tidak setiap hari airnya habis terpakai. ANEH lah pokoknya. Maka besoknya saya balik lagi ke Badak Singa. Uang Rp 350 ribu bukan jumlah main-main buat saya yang ngos-ngosan demi memperoleh sejuta sebulan pun.

Si CS ibu-ibu berwajah tak nyaman itu, terlihat sedang bertugas. Saya bertekad, kalau saya kebagian lagi si ibu itu, saya mau pura-pura tidak mendengar kalau nomor antrian saya dipanggil. Syukurlah, saya dipanggil ke loket tepat di sebelah si ibu tersebut, dan berhadapan dengan CS bapak-bapak. Dan benar, saya bisa lebih detail bertanya dan mendebat si bapak.

Di tengah saya detail menanyakan cara menghitung kubikasi, saya entah kenapa menunjukkan bukti foto posisi meteran air yang saya potret dua hari kemarinnya. Dari situ, si bapak CS melihat masalahnya. Dia menghitung, dan kemudian menyebutkan bahwa kubikasi saya untuk bulan depannya lagi dengan melihat dari bukti foto meteran yang saya bawa itu, mencapai Rp 1,9 jutaan.

Saya kaget bukan kepalang. Si bapak itupun melihat kejanggalan, dan akhirnya merekomendasikan saya untuk bertemu langsung dengan "sang juru tidak selamat", yakni pejabat pengonversi kubikasi ke rupiah. Eng... ing...eng...!!!!!

Singkat cerita, di depan meja kerjanya, saya "tarik ulur" dengan si pejabat, disaksikan bawahan-bawahannya yang tampaknya opini dan perilakunya sudah "tergiring" dengan sukses oleh si oknum pejabat. Penafsiran saya dari usianya, tampaknya dia pernah besar di masa Orde Baru, di mana korupsi terasa lumrah, dan virusnya tertanam hingga sekarang. Sulit diberantas.

Ditelikung seperti itu, antara lain ada yang "mengancam" saya untuk tes tera meteran, saya nyaris pengen mewek; mereka tampak mengondisikan bahwa saya tidak mungkin "tak berdosa". Rp 2 juta bukan jumlah enteng buat pekerja serabutan seperti saya. Setelah "ngobrol" hampir setengah jam, saya menangkap bahasa tubuh sang oknum yang... sepertinya ingin saya suap.

Ketika saya kehabisan kata-kata dan terhenyak di kursi depan meja kerja si oknum ini, dia lalu memberi "solusi" dengan menawarkan diri memeriksa meteran ke rumah saya hari itu juga (sebenarnya saya antara polos tapi agak heran juga, kenapa mesti dia yang langsung memeriksa, ahhh... bodohnya saya). Tentu saja saya menyetujui, wong saya merasa "tak bersalah" (meskipun kemudian saya baru menyadari ada yang salah).

Dia datang dengan bawahannya yang masih muda, 25-an, menggunakan sepeda motor. Begitu melihat instalasi pipa PDAM di rumah saya, berikut cara pemasangan pompa listrik yang langsung ke pipa PDAM, si pejabat sempat berseru (atau pura-pura berseru).

Ah ya, saya juga baru tersadar saat itu bahwa cara tersebut memang melanggar. Saya pernah membaca tentang hal ini, tapi saya lupa. Tapi yaitulah, dia juga tidak bisa berkutik, karena toh pegawai-pegawai PDAM juga yang memasangkannya.

Lagipula dia juga sadar tidak bisa memaksa saya membuat bak penampungan bawah tanah. Sementara, saya memasang pompa listrik dengan alasan saya kalah bersaing sedot-menyedot dengan para tetangga. Jadi, PDAM sendiri lah yang membuat kekacauan ini. Yah, INILAH INDONESIA! Pelanggaran terpelihara berpuluh tahun, sudah terjalin kisut ramijut, sulit diluruskan.

Tadinya saya sangat berharap nurani dan akhlak si oknum lebih berjalan daripada urusan perut, sehingga mau membebaskan saya dari tagihan Rp 1,9 juta tersebut, karena memang saya pada dasarnya tak bersalah. Apalagi dia juga sudah melihat  penampakan rumah saya yang reyot.

Tapi lalu, apakah dia menganggap penampilan saya seperti orang kaya (tanpa bermaksud untuk ge-er), sehingga dia tak surut memaksa saya menjebol tabungan Rp 500 ribu; nilai yang sangat tidak kecil untuk saya yang tidak setiap bulan memperoleh pendapatan. Bahkan saya tercenung memikirkan apakah saya masih bisa belanja minyak goreng, beras, atau elpiji di bulan depan, setelah perampokan ini.

Menyebalkannya, si "ajudannya" menyatakan bahwa nilai segitu itu standar. Alamaak, anak "sekecil" ini sudah tertulari mental korup warisan Orba. Dooh... doooh...!!! Apa daya, ternyata akhlak "mainstream" si oknum lebih mengedepan.

Padahal tadinya kalau sampai si oknum ini membebaskan saya dari Rp 1,9 juta ini, saya akan berkoar-koar di blog kek, di medsos kek, di media "spiritual" kek, mengenai sikap terpujinya.

Tapi dia lebih suka disuap Rp 500 ribu, padahal gajinya mungkin sebulan sudah lebih dari Rp 5 juta. Apalah artinya Rp 500 ribu, Pak? Belum lagi dia harus membagi "uang dengar" untuk para bawahannya, mungkin; seenggaknya buat si "ajudan" yang ngintil.  Paling bersihnya buat dia cuma Rp 300 ribu. Ah, kasihan saya pada anak-anak dan istrinya.

Lucunya, saya pikir uang tersebut sudah saya serahkan, eeh... kok setelah mereka pulang, masih ada di atas meja (meni hayang seuri). Apakah si oknum pejabat berubah pikiran, tak mau menerima uang "jasa" tersebut?

Sempat sekilas terpikir bahwa uang saya selamat. Tapi kalau sampai terjadi kesalahpahaman, dan dia sadar uang tersebut tidak ada di tangannya, bisa-bisa dia tidak akan menggerakan bawahannya untuk mengganti meteran dengan meteran baru yang angkanya sudah "dinolkan". Setelah saya sms (ditelepon dia tidak mau mengangkat), si ajudan lah yang diutus untuk mengambil duit tersebut.

Sebelumnya saya sudah meminta kepastian bahwa meteran yang dipasang tidak akan muter secara abnormal lagi. Dia memastikan, tapi kemudian menyarankan jika ternyata muter abnormal lagi, jangan biarkan petugas PDAM memeriksa langsung meterannya. "Biasa saja, tuliskan kubikasi meterannya di depan rumah, dan jangan biarkan petuganya masuk," ujarnya.

"Bagaimana kalau petugasnya maksa masuk?"

"Ya jangan sampai masuk."

Duh, saya nggak puas dengan janjinya itu sebenarnya. Belum lagi atas kemungkinan dia dimutasi, naik jabatan (amit-amiit), dipindahkan lokasi kerja, dsj. Waaah, saya sadar saya sebenarnya sudah kalah lagi sebelum perang.

Karena merasa kesal sudah dipalak Rp 500 ribu (belum lagi ditambah tagihan sebelumnya senilai Rp 350 ribu yang sudah saya bayarkan ke PDAM), nilai yang sama dengan 10 bulan tagihan air saya; bahkan masih kelebihan karena rata-rata normalnya pemakaian air saya hanya Rp 40 ribuan, akhirnya meteran yang saya laporkan, dengan ditempel di depan rumah, kubikasinya saya kurangi dua poin.

Tapi baru saja dua bulan saya "berbulan madu", benar saja terjadi. Petugas pemeriksa meteran menggedor-gedor rumah, ingin memeriksa langsung meterannya. Dia bahkan sampai datang dua kali untuk memastikan melaporkan langsung posisi meterannya dengan memotret menggunakan ponsel. 

Hebatnya (untuk tak menyebut sialnya), saya kebetulan bukan pegawai yang pergi pagi pulang sore. Jadi saat dia datang menggedor-gedor pintu, saya hampir selalu berada di rumah. Dan rasanya salah jika harus ngumpet-ngumpet terus di belakang. Lagipula, mau sampai kapaaan?

Si petugas pencatat meteran ini mengatakan, sekarang PDAM Bandung baru "terbangun dari tidur" (ini mah istilah saya saja). Ada instruksi, mungkin dari Ridwan Kamil selaku komisaris utama PDAM Bandung, bahwa meteran harus diperiksa langsung.

Jujur saya kesal. Kesal karena orang macam dia, yang saya duga sudah menanamkan pengaruh buruk pada perilaku bawahan-bawahannya, bisa berkeliaran bebas. Ingin rasanya mengontak si oknum pejabat untuk sekadar menyindir "janjinya" yang seolah-olah itu. Kalau Ridwan Kamil tahu, kira-kira dia bakal digimanain yaa?

Sebenarnya saya bisa saja melaporkan hal ini ke OMBUDSMAN. Tapi, permasalahan hidup saya sudah terlalu kompleks. Saya angkat tangan. Tak mau menambah beban. Sementara air adalah salah satu faktor paling penting dalam hidup saya. Dia bisa membuat hidup tenang sekaligus menghancurkannya. 

Tapi yang terutama bikin males ke Ombudsman sebenarnya adalah karena lokasi kantornya juauh dari rumah saya.

Dan sepanjang saya tinggal di rumah saya ini dan menjadi pelanggan PDAM sejak saya bahkan belum lahir seperti sudah saya ceritakan di atas, saya merasa bahwa pola pelayanan air PDAM selama ini yang sangat menyiksa, sudah menyebabkan saya sakit. Saya sering sekali mengalami "psikosomatis": sakit fisik karena sakit psikis, sejak SMA.

Umumnya sakit saya ini sulit disembuhkan dokter, melainkan oleh pengobatan alternatif seperti oleh suplemen dan tusuk jarum (akupuntur), seperti halnya sakit yang sedang saya derita saat ini yang sudah mendekam setahun lebih (sejak Desember 2014) namun belum ada pengobatan/terapi yang berhasil menyembuhkannya. 

Saya mengaitkan sakit ini dengan tekanan batin saat terpaksa bangun tengah malam tapi air tidak ngocor, plus keterpaksaan menyedot selang secara manual di tengah malam butaaaa.... Bayangkaaan.... Dada beraaaat rasanya... fisik dan psikis (hadeeeeuw, curhat di blog booow!! Ckckck)

*****

Saya mah orangnya tak pernah menyia-nyiakan air. Air bekas mencuci baju tak pernah langsung dibuang. Biasanya saya gunakan lagi kalau bukan untuk mencuci gombal-gombal, lap-lap, atau keset-keset, bisa juga untuk membanjur toilet. Karakter ini terbangun, ya itu dia, oleh keprihatinan saya seumur hidup atas pelayanan PDAM.

Tapi kok, kepedulian saya pada air ini rasanya tidak (atau mungkin belum?) terbalaskan... halaaah, hahaha!! Saya jadinya selalu cemas bahwa stress hebat "hanya" gara-gara air, akan selalu menjadi bagian hidup saya. Pasalnya perilaku PDAM belum terasa berubah sampai sekarang.

Satu dari banyak hal yang mengherankan dari PDAM Bandung ini adalah, ketika ditanya kenapa pengocoran air dijatah-jatah waktunya, padahal di tahun-tahun terakhir Dada Rosada menjabat Walikota, bahkan sempat bisa ngocor 24 jam dan naik ke keran di atas bak.

Salah satu jawaban yang pernah saya dengar dari sejumlah petugas yang diutus ke rumah saya jika saya sudah "mengeluh" di situs resmi atau Twitter mereka, adalah bahwa (stok) pembagian air dijatah karena pelanggan bertambah banyak (atau penjatahan air dibagi-bagi--lieur kan).

Ada juga yang menyebut perihal debit air (kalo gitu kenapa debit airnya gak bisa bagus atuh?). Ketika saya tanya lagi, kenapa nambah terus pelanggan kalau pelanggan lama saja masih megap-megap; belum terlayani dengan baik? Mereka hanya cengengesan.

Pertanyaan lainnya yang juga belum terjawab hingga sekarang adalah, kenapa mereka menjatah pengocoran airnya malam-malam. Kenapa tidak siangan atau sorean. Apakah jatah siang cuma untuk instansi-instansi atau rumah-rumah pejebat?

Dengan mental buruk yang masih terpelihara seperti itu, kecemasan saya berikutnya adalah KEMARAU 2016. Apalagi saya belum rido memasang/membeli kembali pompa listrik yang hilang diembat maling. Kalaupun duit untuk membelinya tersedia, saya masih bingung bagaimana menempatkannya yang aman dari para maling.

PDAM Kuala Lumpur, Sangat Beradab

Akankah PDAM Bandung bisa menjadi sepertiii... tak usahlah mengambil contoh negara maju, melainkan sekadar seperti di Kuala Lumpur? Tak ada istilah pelanggan di sana membeli pompa listrik bahkan membangun penampungan-penampungan air yang rawan dijadikan tempat nyamuk berkembangbiak.

Kenapa saya ambil contoh Kuala Lumpur (KL)? Karena kemarin ini saya ngobrol dengan teman saya yang tinggal di sana, yang menceritakan tentang pelayanan PDAM-nya KL yang bikin ngiler sekaligus bikin sakit hati. 

Menurut teman saya, air di KL yang saya yakin potensi airnya tidak lebih baik dari Bandung, berlimpah-limpah, ngocor 24 jam, naik ke keran paling atas, tak perlu bikin penampungan air, apalagi beli pompa listrik.

Sistem pembayarannya begini: ada batas pemakaian, yang jika terlewati barulah pelanggan harus membayar. Jika tidak ya gratis. Bayarnya juga, untuk teman saya bersuamikan satu dan tiga anak, rata-rata hanya tiga ringgit (sekitar Rp 25 ribu) sebulan. 

Belum lagi kalau teman saya ini bercerita tentang elpiji 12 kilogram. Menurut dia, saat masih tinggal di Bandung, elpiji 12 kg tak cukup bahkan untuk sebulan pun. Tapi di negeri jiran itu, tiga bulan kadang masih belum habis. Whewww!!

Saya pun menyarankan teman saya itu untuk tidak pulang ke Indonesia (hahaha...). Apalah arti nasionalisme kalau hidup di-crocodile-in melulu sama pemerintahnya.

Indonesia???? Bandung??? PDAM Bandung??? Hallloooowwww???!!!!! Kamana wae ateuuuuh???!!!


RESAPAN AIR!!!
Nah, bicara tentang resapan air, sudah pada rel-nya untuk sedikit menyambungkan tulisan ini dengan fenomena Cekungan Bandung.

Semakin ke sini, berita-berita tentang Bandung terancam kesulitan air semakin mengancam. Isu kerusakan Kawasan Bandung Utara (KBU) sebagai daerah resapan/tangkapan air, pun, makin mengemuka. Aneh bin ajaibnya, pembangunan semakin kurang ajar terjadi di daerah ini.

Bahkan di kota Bandung sendiri, pembangunan hotel atau kondominium atau apartemen atau flat, seperti tidak terkendali. Katanya izin pembangunan ini dilakukan pada masa pemerintahan walikota sebelumnya, yang sekarang tengah meringkuk di hotel prodeo.

Ajaib bin anehnya, terbukti sudah dari tahun 1970-an sampai sekarang, apakah ketika kondisi tangkapan air masih baik ataupun mulai memburuk di KBU, tetap saja modus pelayanan PDAM tidak berubah: dulu ancur sekarang masih agak ancur. 

Dikemanakan air di tahun 1970-1980-an wahai PDAM?? Saya menduga jawabannya pasti karena teknologinya saat itu juga tidak memungkinkan. Saat itu Indonesia dipimpin Suharto sih, bukan Mahatthir.

Tak perlulah kami berharap air ngocor 24 jam. Dengan jadwal pengocoran sekarang ini (rata-rata mulai pukul 9 malam) juga tidak apa-apa, asalkan airnya naik ke keran teratas di rumah saya. Rumah saya cuma gubuk, gak mungkin ada keran yang posisinya di atas dua meter.

Tapi saya ngeri. PDAM sudah sepanjang Orde Baru hingga sekarang berhasil "memasyarakatkan" agar warga membuat bak penampungan bawah tanah, tentu sepaket dengan pompa listrik. Jadi, pola pelayanan mereka sepertinya menyesuaikan dengan mayoritas pelanggannya yang sudah memiliki fasilitas tersebut. 

Nah, warga yang rekening bank-nya terkadang kosong melompong seperti saya, bagaimana bisa menjadikan pembuatan bak penampungan + pompa listrik sebagai prioritas pengeluaran.

Kalau sudah begini, saya kadang merasa menjadi warga yang lebih miskin mungkin malah lebih bagus. Warga yang terbiasa miskin akan beradaptasi dengan kemiskinannya, salah satunya mungkin dengan jarang mandi, atau membiasakan memanfaatkan fasilitas-fasilitas umum untuk mandi, nyaris seperti saya di masa remaja dulu.

Ihwal pembangunan bangunan gedung berfasilitas mewah semacam hotel dan apartemen, bagi saya mau tak mau memunculkan kecemburuan, terutama ya soal airnya. Di keran-keran kamar hotel mereka, air ngocor 24 jam, ya... di keran-kerannya yang bahkan berada di kamar tertingginya. 

Memang ada juga isu bahwa air di hotel-hotel adalah air daur ulang dari hotel itu sendiri. Ah tapi saya tidak yakin 100%. Toh mereka juga pastinya membutuhkan air bersih untuk keperluan lainnya.

Bermunculannya bangunan-bangunan yang berkebutuhan air berlebih ini, memunculkan ancaman akan turunnya muka air tanah, atau tanah ambles. Bagaimana tidak, air di bawahnya diduga akan disedot gila-gilaan. Dan tentu saja kondisi ini membuat si kancil yang dengan sederhana memanfaatkan air tanahnya, kembali terpinggirkan.

Saya ingin mengingatkan kembali bunyi pasal 33 UUD '45 ayat ketiga yang menyebutkan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk SEBESAR-BESARNYA KEMAKMURAN RAKYAT."

Andai saja dulu PDAM angkat tangan, mengaku tidak bisa memenuhi janji ayat ketiga itu, untuk mempergunakannya untuk "sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", mungkin perusahaan-perusahaan swasta pengelola air ledeng yang lebih profesional, akan bermunculan.

Lalu niscaya PDAM akan semenyedihkan PT Posindo  yang saat ini kelihatannya sulit bersaing dengan perusahaan ekspedisi swasta yang lebih kreatif, mengembangkan ketajaman intuisi dibarengi melek informasi dan teknologi. Inilah penyakit dari posisi status quo, monopolistik, konservatif, dan mental melayani seadanya, seperti masih terdapat pada mental pegawai-pegawainya saat ini.

Menongkrongi Air Ditemani "Nganu"
Oh ya, saya janji menceritakan pengalaman ibu saya nongkrongin air ngocor di dini hari, sambil diganggu oleh kegaiban. Tapi jangan berharap si hantu berupa penampakan, melainkan lebih ke suara-suara, ini pun bukan suara hantu.

Begini, di satu malam, seperti biasa ibu saya begadang demi mengumpulkan air ledeng. Sementara air terkumpul di ember besar, ibu saya masuk dulu ke dalam rumah. Ketika dirasa sudah penuh, beliau keluar rumah untuk memasukan air ke bak di kamar mandi. Terus seperti itu hampir setiap malam di tahun 1980-an.

Kawasan rumah kami saat itu tentu saja tak seramai sekarang, meskipun lokasi rumah berada di sisi salah satu jalan raya cukup sibuk. Bahkan dulu jalan ini merupakan pintu gerbang kendaraan-kendaraan dari Jakarta ke Bandung via Cimahi.

Namun kali itu ibu mendengar suatu pola suara. Bukan suara binatang pun suara hantu, namun suara ram yang dipasang di pojok rumah, di atas selokan kecil, untuk mempartisi rumah kami dengan rumah tetangga. Ram adalah semacam teralis besi.

Pola suaranya adalah seolah-olah ram tersebut dipukul sejajar menggunakan tongkat yang terbuat dari bahan besi juga, sehingga menghasilkan suara begini: "treleng... treleng... treleng". Menurut ibuku, suaranya perlahan tapi cukup nyaring, karena memang posisi ram tersebut hanya sekitar 5-6 meter dari posisi ibu mengurus air.

Namun jahilnya, suara itu hanya terdengar saat ibu masuk ke rumah. Ketika buka pintu, ke luar, untuk mengurus air yang sudah penuh, suara itu berhenti. Namun ketika ibu masuk rumah lagi, suara itu terdengar lagi. Begitu terus sampai berkali-kali, seolah-olah "dia" mengamati keberadaan ibu, sampai akhirnya ibu saya merinding juga dan membangunkan bapak.

Ibu berhasil meyakinkan bapak atas keanehan tersebut, karena memang "si hantu" bermusik dengan pola sama. Lama-lama, bapak kehilangan kesabaran. Beliau pun keluar rumah dan membalas dengan menciptakan suara sama dari ram yang dipasang dekat pintu: "brueleng...brueleng...brueleng!!", begitu suaranya jadinya saking keras dan cepatnya bapak memukul ram.

Ajaibnya, fenomena itu hilang saat itu juga. Bahkan tidak pernah muncul lagi di malam-malam berikutnya. Saya yang sampai sekarang masih tinggal di rumah yang sama, dan melakukan hal yang sama dengan ibu saya; begadang tengah malam ngumpulin air, syukurlah tidak pernah menemukan fenomena kegaiban. Mungkin karena suasananya sudah terlalu ramai. Dini hari, mobil atau motor lewat hampir setiap menit. 

Kalau saja sesepi dulu, mana berani saya tetap tinggal di rumah ini. Apalagi hampir semua yang mengaku memiliki indera ke-6 yang masuk rumah saya, menyatakan bahwa jangankan rumah ini, kawasan perumahannya saja sudah padat oleh makhluk gaib. Ah, semoga saya tidak pernah diberi kemampuan untuk berinteraksi dengan mereka.***







Sunday, August 16, 2015

Melaut ke Krakatau (2): Ber-homestay di Pulau Sebesi



Dari kejauhan, dermaga Pulau Sebesi tampak manarik. Saya pikir saya akan mendapati satu resort yang eksklusif semacam di Maldives (:P). Namun setelah mendekat, ternyata tidak lebih baik ketimbang dermaga Canti, Lampung. Rupanya banyak peserta lain yang berpikiran sama :D

Video perjalanan ke Krakatau. 
Produksi "visual storyteller" Kompas.com 

Tadinya juga saya pikir bisa mendapati pasar suvenir seperti di Pangandaran, dengan harapan bisa membeli kaos bertuliskan Pulau Sebesi. Aiih tapi ternyata Sebesi hanya sekadar pulau yang cukup besar, mengandung sumber air tawar sehingga layak dihuni manusia, serta memuat satu gunung api yang sudah tidak aktif. Jika dilihat dari kejauhan, gunung ini hampir tiga per empat menguasai daratan P.Sebesi. Atau bisa jadi Sebesi memang pulau gunungapi seperti halnya gunung Krakatau.

Kenyataannya, jangankan disambut dermaga mewah, gerbang ala gapura Agustusan bertuliskan “Selamat Datang di Pulau Sebesi” pun tak ada; kecuali selembar spanduk plastik bertulisan sama dalam bahasa Inggris yang dibentangkan di plang. Sepertinya plang bekas iklan.

Di bawah plang tersebut terdapat satu warung. Saya sempat memesan kopi instan panas seharga Rp 4000 di warung ini; sejak berangkat dari Bandung saya belum bertemu lagi minuman panas. Di sini juga kami dibagi homestay. Jujur, saya agak cemas; tapi dalam hati saya berharap semoga minimal kamar mandinya bersih.

Dermaga Canti, Kalianda, Lampung, Sumatera Barat
Homestay yang saya tempati bersama sembilan peserta lain berada di jalan utama Pulau Sebesi; jalan tanah yang cukup lebar. Dari dermaga jaraknya 100 meteran; berupa rumah penduduk di antara rumah penduduk lainnya. 

Prasangka buruk saya ihwal tempat menginap di pulau rada terpencil ini, terbantahkan. Meskipun terkadang ada ayam masuk rumah, namun rumahnya bersih. Di ruang depan dihamparkan kasur-kasur berseprei, beraroma baru dicuci. Dengan begitu, syarat untuk molor orang kota yang manja, terpenuhi.

Kamar mandinya luas. Sebagai yang dibesarkan dengan gaya kamar mandi tradisional Indonesia; ada bak dan toilet jongkok, hanya satu yang penting: BERSIH! Di tengah kamar mandi ini ada sumur sebagai sumber air tawar. Keberadaan sumur ini agak horor juga di malam hari; berharap tak ada Sadako di dalamnya. Sepulang dari Krakatau, saya sempat nekat kembali ke homestay ini hanya untuk mendapati kamar mandi yang lega dan bersih (tapi ternyata: wakwaw!! :D ikuti terus ceritanya).

Dengan kondisi seperti tersebut, saya berani merekomendasikan rumah milik Ibu Supiani (hmm…sepertinya namanya tidak tepat demikian) ini kepada orang lain yang berniat bermalam di Sebesi. Hanya saja listrik tidak menyala di siang hari. Bagi yang tidak membawa power bank, gawat juga. Padahal batere kamera saya waktu itu sudah menguning. Bisa mewek saya kalau pulang tak membawa bukti dari kamera saya sendiri  bahwa sudah pernah mendarat di Krakatau.

Pintu masuk ke Pulau Sebesi yang... kumuh.
Karena saya menghabiskan kopi dulu, saya tiba di homestay terlambat dibanding peserta lain. Di depan rumah, Ibu Supiani tampak sedang mengobrol dengan teman satu homestay. Saya nimbrung sebelum masuk ke dalam. Mengenai "program" homestay yang diikuti Supiani, dikataannya bahwa dia tidak langsung menyewakan rumahnya ke wisatawan, melainkan ada agen yang mengoordinasikannya.

Menurut Supiani, dia sempat harus meyakinkan suaminya yang sempat tak setuju rumahnya dijadikan homestay. Sebelum rumahnya menjadi salah satu yang bisa dijadikan homestay, si agen mengajukan sejumlah standar yang harus dipenuhi: tentu saja salah satunya soal kebersihan. Dan itu berhasil.

Wanita yang usianya saya duga tak jauh dari saya ini mengungkapkan, rumahnya disewa semalam Rp 200 ribu. Uang itu masuk kantong agennya lebih dulu. Dengan upaya Supiani menata rumahnya untuk menyambut kami, tarif itu terasa terlalu murah. Maka kami pun bersepakat udunan memberi uang tambahan untuknya. Apalagi setibanya kami di homsetay, Supiani menyuguhi kami pisang goreng dan bala-bala.

Sebenarnya kami tak sempat bermalam karena panitia menjadwalkan pukul dua dini hari adalah waktunya melaut ke Krakatau, sekaligus pamit dari Sebesi. Namun saya sempat memanfaatkan kasur-kasur yang digelar untuk tidur sepulang dari “berburu sunset yang gagal”, dan melelahkan pula.

Ihwal berburu sunset ini, semula konsep yang saya dengar adalah dengan naik kapal ke tengah laut. Tapi ternyata ada perubahan, yakni dengan semi “cross country”. Saya pikir, lokasi nonton sunset ini hanya berjarak 100-200 meter, tapi.......1-2-3-4-5 kilometer… masih juga belum sampai. Desas-desus yang beredar setelah sampai di Bandung, kami berjalan hampir 12 kilometer! Walaaaah…

Hampir semua peserta tidak siap: banyak yang tidak membawa minum padahal hausnya bukan kepalang. Saking tak sampai-sampainya, saya dan teman dari grup  homestay 3, mengikuti saran seorang warga untuk numpang “commuter line” berupa dua mobil pick-up.

Sampai berganti dua pick-up, lokasi untuk menonton sunset masih juga belum telihat. Sebelum kedua pick-up ini pergi, kami minta si supir untuk menjemput kami di lokasi terakhir kami turun.

Di depan "homestay" bersama nyonya rumah. Entah kenapa semua merem.
Ketika magrib tiba, kami sampai di satu tempat berupa teras karang yang cukup luas. Warga menyebut lokasi ini sebagai Gubuk Seng. Namun sunset itu tak tampak. Malah langit seperti pucat saja, seolah salah posisi.

Akan tetapi teras karang di Gubuk Seng merupakan fenomena alam yang tidak biasa juga, maka kami pun berfoto-foto. Kami tak mendapat pengetahuan bahwa air pasang akan terjadi.

Ketika kami semua baru saja kembali ke sisi terdalam pantai untuk pulang, air laut tiba-tiba meninggi dan menghempas garang ke posisi dimana sempat bertebaran. Fiuhhh… keputusan yang pas! Allah swt masih  melindungi kami.

Syukurlah komunikasi terjalin baik dengan para supir pick-up. Hanya sekitar 1 km bejalan kaki dari Gubuk Seng, waktu itu suasana sudah gelap, kedua pick-up sudah menunggu di tikungan. Alhamduillah. Di tengah perjalanan, muncul obrolan ihwal cara warga mengangkut kedua pick-up tersebut ke Sebesi.

Sudah pasti bukan “Hercules” yang mengangkutnya. Seperti halnya sepeda motor yang ikut menumpang salah satu kapal kami ke Sebesi, kedua pick-up ini tampaknya juga diangkut dengan cara sama.  

Kedua pick-up ini memang wara-wiri di jalur “mengejar sunset” tersebut, karena keduanya dipakai mengangkut hasil panen cokelat. Warga Sebesi memang mengandalkan salah satu penghasilannya dari menanam cokelat dibanding hasil laut. Tanaman cokelat tak hanya tampak di sepanjang jalur hingga Gubuk Seng, melainkan juga di sekitar homestay.

Sepulang  mengejar sunset yang gagal, saya menyempatkan mandi lagi karena pakaian yang basah oleh keringat. Saya melewatkan acara makan malam, juga acara barbekyuan (entah apa yang dibakar, mungkin ikan yang dibeli di Jawa, hehe...) karena saya memilih tidur. Ketika terbangun sekitar pukul 12 malam, rumah gelap gulita. Ah ya, pasokan listrik diputus, karena saya melihat Supiani memasang lampu tenaga surya. Untung batere hp dan kamera saya sudah penuh.

Gubuk Seng: gak dapet sunset, mejeng tetep wajib (foto punya BB)
Saya mecoba tidur lagi, tapi tidak bisa. Apalagi nyamuk tak henti berusaha mencicip darah saya, meskipun agak terminimalisasi karena saya menggunakan krim anti-nyamuk. Sepanjang terjaga hingga waktu melaut ke Krakatau tiba, saya mendengar hujan turun hingga empat kali (berarti berhenti empat kali juga). Keempatnya deras. Hujan terakhir turun bertepatan dengan persiapan kami meninggalkan homestay, sekitar pukul dua malam.

Seorang peserta tampak cemas. Dia berbicara tanpa ditanya bahwa melaut dalam cuaca buruk begini tidak baik. Tapi lalu saya bilang bahwa hujan akan berhenti, seperti tiga sebelumnya. Benar saja, saat berjalan kaki ke dermaga, hujan sudah berhenti.

Semula, kami ingin nongkrong di atas kapal seperti saat berangkat. Namun panitia menyuruh masuk ke dalam. Selain mengkhawatirkan angin laut yang katanya tak baik, apa pula yang bisa dilihat dalam gelap gulita laut. Perjalanan di tempuh sepertinya sekitar satu jam, namun rasanya lamaaa sekali.

Beda Kasta
Transit di Pulau Sebesi adalah satu alternatif ke Krakatau. Alternatif lainnya adalah melalui Pantai Carita, Anyer, Banten, Jawa. Kalo gitu ngapain jauh-jauh menyeberang dulu ke Sumatra? Rupanya ada perbedaan kasta.

Mereka yang berangkat dari Banten, umumnya menggunakan speed boat yang tarifnya sekitar Rp 4,5 jutaan per delapan orang. Sementara kapal tradisional tarifnya hanya sekitar sejuta, dan bisa mengangkut sekitar 30 orang.

Saat kapal meninggalkan Krakatau, saya sempat melihat pasangan bule--yang perempuan berbikini--merapat di Krakatau menggunakan speed boat. Pastinya mereka dari Banten, karena kami tak melihat ada speed boat bersandar di Sebesi.

Ah, bule kolokan. Padahal dengan homestay seperti yang dikelola Supiani, rasanya worthit worthit saja transit dulu di Sebesi. Bagi saya, kemerakyatan kadang lebih memperkaya pengalaman dan wawasan hidup. Lagipula kemerakyatan semestinya tak melulu harus kumuh dan bau. Cuma memang, para bule mungkin akan sulit untuk beradaptasi dengan gayung dan toilet jongkok, dan agak kurang praivet pastinya untuk berbikiniria :D.

Sebesi dan Masalahnya
Pulau Sebesi, yang mungkin diambil dari nama pohon sebesi, sebenarnya pulau yang cukup penting untuk wisatawan Krakatau kelas backpacker. Namun, entah mungkin saya yang salah persepsi, sektor pariwisata pulau ini seperti hidup segan mati tak mau. Warga seolah-olah melayani wisatawan yang datang sedatangnya saja.

Pulau Sebesi dari Google Earth. Sebesi pada hakikatnya adalah pulau gunungapi, tak ubahnya Krakatau.
Memang tak jauh dari dermaga tampak sejumlah bangunan yang sepertinya memang sengaja dibangun untuk penginapan, tapi seperti kurang terurus. Memang juga, jumlah wisatawan yang datang ke Sebesi tak melimpah. Waktu itu saja, padahal akhir pekan, hanya kami wisatawan yang datang (padahal Krakatau sendiri ramai pengunjung, mungkin yang langsung berlayar dari Canti).

Saya sempat mengobrol dengan ibu-ibu tetangga Supiani, dan terlontarlah masalahnya. Rupanya Sebesi pulau sengketa. Pemerintah, beginilah kira-kira persepsi saya, ogah memberdayakan pulau ini sebagai tujuan wisata karena warga yang menghuni pulau ini juga dinilai tak berhak atas tanah-tanah yang ditempatinya.

Sejarahnya, dulu ada seseorang bernama Ali Hasan, begitu kata salah seorang tetangga Supiani yang tampak lebih vokalis ketimbang yang lainnya, yang karena jasanya diberi hadiah pulau ini oleh seorang raja setempat. Namun kata dia, Ali Hasan tidak menarik uang apa pun terhadap warga, dan malah keluarganya hidup miskin di Jawa.
1. Pulau Sebesi. 2. Krakatau.

Warga yang kini menetap, jelas dia, memang tidak punya sertifikat atas rumah dan tanah yang mereka tempati, namun mereka berharap suatu saat bisa memilikinya. Mereka berharap pemerintah dapat memfasilitasi alih hak tersebut.

Warga Sebesi tidak memiliki tradisi sebagai nelayan. Menurut Supiani, kalaupun ada, ikan ditangkap secara tradisional saja dan hanya untuk konsumsi warga Sebesi dan mungkin sedikit ke luar pulau. Warga Sebesi berasal dari wilayah beragam, bukan asli orang Sumatera, apalagi asli Sebesi. Selain asli Lampung seperti Supiani, banyak juga dari Banten seperti halnya suami Supiani, dan bahkan yang merantau dari Sumedang.

Menurut Supiani yang mengaku sudah 20 tahun menetap di Sebesi, masih mending sekarang sudah ada SMA. Saat awal menetap, SD pun tak ada.

Drama Perjalanan Pulang
Pusat kota Pulau Sebesi tampak lebih padat
Pulang dari Krakatau, kapal yang saya tumpangi ternyata merapat kembali di Sebesi. Panitia rupanya memesan nasi bungkus dari warga Sebesi untuk makan siang peserta. Saya adalah peserta paling berkepentingan untuk mendarat dulu; mencari toilet. Alasannya amat sangat darurat sekali. Ada toilet umum di dekat dermaga, namun saya kalah cepat oleh sejumlah peserta lain.

Cemas menjalari jiwa. Selain mengantri, toilet umum ini juga kecil, dan sepertinya kurang bersih. Dengan keberanian ekstra saya akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah Supiani dengan menumpang sepeda motor warga yang kebetulan melintas di depan toilet umum.

Saya mengiming-imingi Rp 20.000, untuk pergi-pulang. Tentu saja dia bersedia. Hanya semenit, sudah sampai di rumah Supiani. Si warga pemilik motor saya minta menunggu di uar. Dia rupanya kenal juga dengan Supiani. Aiih, mimpi apa harus balik lagi ke homestay yang pemiliknya sudah saya pemiti ini.

Saya berteriak-teriak memanggil Bu Supiani, tapi dia tak ada. Kasur-kasur bekas kami tidur rupanya belum dibereskan sedikit pun. Ah, tak ada waktu menunggu Supiani muncul, saya langsung menerobos menuju kamar mandi.

Tapi betapa kagetnya saya. Kamar mandi itu padat dengan cucian piring, panci, dsb. Wuaduh! Saya sampai harus melangkahi cucian-cucian itu saking numpuknya. Syukurlah, di bak masih tersisa air yang bisa saya gunakan untuk sekalian buang air kecil.

Dengan adrenalin membanjiri otak sehingga kurang hati-hati, tiba-tiba celana panjang ganti yang sudah saya siapkan terjatuh ke lantai kamar mandi yang kotor dan becek. Satu dua tiga detik, sempat terbengong. Aah, tak boleh mikir lebih lama dari itu. Ya sutralah, tak ada opsi lain, hajaaarrr! Syukurlah tak terasa basah di kulit (hihi).

Jarak yang ternyata sangat dekat dengan dermaga, membuat saya akhirnya memutuskan untuk jalan kaki saja. Ojek dadakan itu hanya saya bayar Rp 10.000. Di toilet umum masih ada peserta yang antri. Wuiiih, legaa… meskipun kalau mengingat celana yang jatuh di kamar mandi, rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Namun sampai kembali ke Bandung, toh tak terasa ada rasa gatal di paha, hahaha…

Meski sempat jauh meninggalkan kapal kedua, gara-gara merapat dulu di Sebesi, kami sampai di Canti kalah cepat oleh kapal kedua. Sementara itu saya sudah tak mau ambil pusing dengan rasa cemas. Saya bungkus rasa cemas itu dengan memesan kopi instan di salah satu warung di Canti, sebelum kembali merayapi jalur yang sama, menggunakan angkot, menuju Bakauheni.

Drama berikutnya adalah kondisi Ferry yang lebih jelata. Sebenarnya kabin eksekutif seperti Ferry sebelumnya ada juga. Namun mungkin demi mengirit biaya, panitia memesan tempat duduk yang berjejer di luar, mirip ruang tunggu. Ajibnya lagi, tempat-tempat duduk ini menghadap tepat ke pintu toilet. Dan saya keburu kebagian duduk tepat di depan pintu toilet tersebut. SEMPURNA!!

Akhirnya, jatah kursi saya gunakan untuk menyimpan tas-tas saja. Seperti saat pergi dua malam lalu, saya lagi-lagi berdiri sepanjang perjalanan di dekat pagar pembatas ke laut. Setiap ada perokok yang mendekat, saya tegur agar mencari tempat lain yang agak jauh dari saya (kejam!). Ferry berjalan lambaaat sekali, kadang hampir seperti tidak bergerak; sehingga tak ada angin yang menyapu udara yang pengap dan gerah.

Tampaknya lalu lintas laut ke Merak di siang hari cukup padat. Syukurlah saya tidak merasa lelah, bahkan Ferry seolah sampai lebih cepat dari yang saya duga. Sebenarnya dengan membayar Rp 20 ribu di atas kapal, bisa saja kami masuk ke kabin eksekutif. Tapi seperti saat pergi, tak ada jaminan mendapati udara yang lebih segar di dalam sana.

Menjelang magrib, sampai juga kami di Merak. Saya menyempatkan mampir ke toilet yang super bersih dan modern di koridor yang menghubungkan antara dermaga dan tempat parkir mobil. Saya juga berganti pakaian atas yang sudah sejak di Krakatau menempel di tubuh, supaya bisa pulang dengan damai dan wangi, serta semua yang saya bawa termanfaatkan.

Tadinya saya pikir tarif toilet ini mahal, ternyata kata peserta lain yang juga masuk toilet dan membayari saya, hanya Rp 2000. Di pelataran parkir, bus kinclong ber-AC menjemput kami untuk kembali ke Bandung. Saya pun merasakan kelegaan teramat sangat, seolah sudah dekat ke rumah saja. Sesampainya di rumah, jam menunjukkan pukul satu malam. Saya pun bisa tidur dengan senyum lebar. (cek tulisan ke-1 di sini)***