Friday, July 9, 2010

MEMBEDAH ISI PERAHU YANG TERBALIK ITU

*Sekilas tentang G.Tangkubanparahu
*Sekilas Bandung Vooruit

Kawah Domas yang sudah pias oleh fenomena material vulkanis, kian memucat: kabut mulai turun. Di kejauhan, gelegar guntur terdengar bersahutan. Setitik dua titik air, terasa dingin di kulit kepala. Cemas? Sedikit. Kecemasan itu banyak terobati oleh indahnya suasana Kawah Domas di bulan-bulan yang masih musim penghujan ini, Februari, tepatnya hari ke-27, tahun ke 2010.

Akankah turun hujan? berdasarkan pengalaman menyurvei jalur yang sama pada 20 Januari lalu, hujan deras mengguyur
tepat saat kami berada di tengah-tengah rimba antara Kawah Domas dengan perkebunan teh Hegarmanah-Ciater.

Maka, seperti biasa, untuk ha
ri H-nya "mitigasi bencana" ditetapkan. Para calon peserta Jajal Geotrek jilid III diwanti-wanti agar membawa jas hujan, baju ganti, dan segala preparat yang bisa melindungi benda-benda rawan air dari kebasahan. (foto kiri: citra Gunung Tangkubanparahu, diambil dari mobil yang sedang melaju di atas jalan layang Paspati)

Yang mencemaskan, tidak semua peserta menurut atau mengetahui info tersebut. Ada yang memang tidak peduli dan siap berhujan-hujanan, ada yang beralasan belum memili'i, berat, dan ada juga yang memang kurang memperoleh informasi. Lebih mencemaskan lagi, yang tidak prepare dengan dengan segala ancaman hujan ini justru peserta paling senior, Dr Gunawan.

Pertama kali saya mengenal Dr Gunawan adalah saat mengikuti Tur Megalitik Gunung Padang Agustus 2009. Saat bertemu lagi di Jajal Geotrek III, style-nya tidak berubah, tetap dengan kaos lengan pendek, topi jepun, dan tas yang diselempangkan begitu saja di pundak, seperti orang mau sekolah saja. Dan….. waduh, dia nggak bawa jas hujan atau payung pun.

Tapi alhamdulillah, segmen paling mencemaskan karena berada pada jam-jam yang biasanya turun hujan —yakni jungle walk antara Kawah Domas dan perkebunan teh— berhasil dilewati semua peserta dengan selamat. Ancaman hujan besar yang sudah terasa sejak di Kawah Domas, ternyata tidak terbukti. (foto kanan: trek menurun menuju Kawah Domas)

Saat perkenalan di Taman Ganesha —meeting point langganan Jajal Geotrek— Dr Dadang Kurniadi, peserta setia Jajal Geotrek, memperkenalkan Dr Gunawan kepada saya sebagai mantan pimpinan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) pusat. Maka kemudian tersiarlah anekdot bahwa hujan tidak jadi turun karena ada “pawangnya”.

Lucunya, justru terselip “penyesalan” pada beberapa peserta, kok gak hujan? Padahal sudah berat-berat bawa jas hujan, payung, sepatu ganti, tutup ransel, dsb, dsb….. Lebih kasihan lagi yang sudah bela-belain beli jas hujan, padahal harganya gak murah juga (secara, ini pengalaman pribadi, hehe!!). Ah tapi….jas hujan kan bukan barang yang bakal busuk. So, lain waktu pasti terpakai lagi, apalagi buat para penjarambah leuweung seperti kita-kita ini.

Sejarah Gunung Tangkubanparahu
Tangkubanparahu adalah panorama alam yang paling banyak menyita perhatian untuk setiap orang yang sedang berada di Bandung. Meski proses pembentukan gunung ini menjadi seperti perahu terbalik sebenarnya proses lumrah, khususnya pada gunung-gunung jenis strato, namun "pemangkasan" pucuknya yang rapi sehingga menjadi berbentuk seperti perahu terbalik, sungguh menarik padangan mata.

Gunung berketinggian 2084 meter ini, bukanlah gunung utama. Dia merupakan anak dari gunung induknya yang dikenal dengan nama Gunung Sunda. Dinding kaldera Gunung Sunda ini masih bisa dilihat sisa-sisanya di lokasi bernama Situ Lembang. Situ alias telaga yang posisinya berada dalam lingkungan Gunung Burangrang (sebelah barat Tangkubanparahu) ini, menyimpan misteri dasar kaldera Gunung Sunda.

Pada 105.000 tahun lampau, Gunung Sunda meletus. Material letusannya yang berlimpah diduga telah menyumbat aliran Sungai Citarum purba. Peristiwa inilah yang diduga menyebabkan dataran tinggi yang kemudian bernama Bandung, terendam air dan menjadi danau raksasa berjuluk Danau Bandung Purba bernama Situ Hyang. Ihwal danau ini pastinya mengingatkan kita pada satu legenda terkenal dari Bandung: Sangkuriang Kesiangan. (foto kanan: foto Kawah Ratu yang diambil tahun 1930-an, kemungkinan dari posisi sama dengan foto di kiri atas yang diambil pada 2010. Mungkin juga dengan pohon cantigi yang sama?)

Nah, legenda Sangkuriang kesiangan ini uniknya sejalah dengan kronologis ilmiahnya. Dimulai dari meletusnya Gunung Sunda, Terbentuknya Situ Hyang, munculnya anak Gunung Sunda yang bernama Tangkubanparahu, hingga surutnya kembali air Situ Hyang—dan kini menjadi dataran tinggi yang dihuni ratusan juta manusia (sejarah Tangkubanparahu dan kesesuaian dengan legenda Sangkuriang bisa dibaca pada buku Wisata Bumi Cekungan Bandung).

Tangkubanparahu adalah gunung api aktif. Gunung ini bisa meletus kapan saja. Meski sekarang dalam fase "tidur", aktivitas gempa vulkanis dalam skala kecil (hanya tercatat seismograf) masih seringkali terjadi. Bahkan pada tahun 2001, kawasan wisata di sekitar gunung ini pernah ditutup karena terjadi peningkatan aktivitas vulkanis.
***

ADA yang sedikit berbeda saat rombongan memasuki gerbang tiketing Wanawisata Gunung Tangkubanparahu: para petugasnya berseragam batik dan tampak seolah-olah lebih profesional. Tapi, profesionalisme ternyata tak selalu identik dengan kabar baik, apalagi di Indonesia. Rupa-rupanya, pengelolaan Wanawisata Tangkubanparahu kini diambil alih oleh swasta dari semula oleh Perhutani (satu badan usaha milik negara).

Di negeri ini, istilah “swasta” biasanya identik dengan pengelolaan yang lebih baik ketimbang “plat merah”. Tapi anehnya untuk kasus Tangkubanparahu, yang muncul justru rasa KHAWATIR!! Pasalnya, institusi swasta —apalagi lokal— biasanya bukan suatu entitas yang mewakili idealisme, melainkan lebih ke mesin pembiak uang. Untuk pengelolaan aset properti, bolehlah mereka dikenal lebih baik dibanding pemerintah, tapi mengelola alam? Dengan telah dikantonginya hak kelola, apalagi diamini Kementrian Kehutanan, mereka bisa saja berbuat apa saja agar selama kontrak mengelola Tangkubanparahu dipegang (katanya 30 tahun, ajegileeeee!!!), laba bisa dikeruk. (foto kiri: diduga mirip MS.Kaban. WANTED!!!)

Gilanya, menurut kabar yang santer beredar di berbagai media termasuk facebook, hak kontrak ini dipegang oleh kerabat mantan menteri kehutanan era Presiden Megawati, M.S. Kaban, di bawah bendera PT GRPP. Yaah… siapa yang berpikir bahwa yang namanya menteri kehutanan bakal berada di posisi sebagai pelindung hutan. Bisa saja justru posisi ini adalah untuk sebesar-besarnya mengeruk keuntungan dari hamparan hutan yang ada di seluruh negeri, dan sialnya kebanyakan keuntungan itu masuk kantong pribadi. Biasa lah, mental mengkambinghitamkan target “Pendapatan Asli Daerah”, khas pejabat-pejabat Indonesia hingga papan paling bawah sejak era otonomi daerah. *gggrrhh.....!!! Ehm, kembali ke laptop!


Volcanotrek/Volcanowalk
Dalam ruang lingkup Cekungan Bandung, ada beberapa alternatif volkanotrek alias wisata kaldera/kawah gunung api. Selain Tangkubanparahu, volcanotrek bisa juga dilakukan di kawasan Ciwidey dengan Gunung Patuha-nya. Di sana misalnya selain ada Kawah Putih, juga ada kawah Cibuni, atau Situ Patenggang yang merupakan bekas kawah gunung api juga. Tetangga Tangkubanparahu, yakni Gunung Burangrang, juga punya kawah, namanya Situ Lembang., meskipun danau yang terbentuknya bersifat semi alami (sengaja dibendung). Kawasan ini selain menjadi ajang berkemah anak-anak muda, juga biasa dijadikan tempat tentara berlatih. Tak heran untuk ke sana, kadang kita harus meminta izin pihak TNI. Namun memang, Tangkubanparahu adalah lokasi yang paling mudah dan paling dekat dijangkau dari Bandung. Selain itu, lokasi kawahnya berada di satu kawasan sehingga bisa disusuri tanpa harus naik turun kendaraan. Namun dari 12 kawah yang ada di sana, hanya tiga yang memiliki jalur trek yang cukup representatif. Ketiga kawah ini adalah Kawah Ratu, Upas, dan Domas.

Kawah Ratu
Behubung kendaraan berbadan besar tak boleh naik ke pelataran dekat kawah, maka kami meneruskan perjalanan dengan naik “odong-odong”. Bus akan menanti kami di sebuah resort di Jalan Raya Subang-Lembang. Odong-odong menurunkan kami di plaza Kawah Ratu yang hiruk pikuk oleh pengunjung. Padahal pada satu dasawarsa ke belakang, hari Sabtu biasanya tak seramai ini.

Entah kenapa belakangan Tangkubanparahu kian menjadi primadona tujuan wisata (tak heran jika satu perusahaan swasta berminat sekali mengelola kawasan ini meski sudah tidak diizinkan Gubernur Jawa Barat sekali pun). Di sana-sini seringkali terdengar aksen-aksen melayu. Belakangan ini, Bandung dan sekitarnya memang menjadi destinasi wisata orang-orang Malaysia, terutama setelah kian murahnya tiket pesawat terbang dari negeri tersebut ke Indonesia, terlebih satu maskapai penerbangan sudah melayani penerbangan lansgung dari Malaysia ke Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Tak sedikit juga wisatawan yang terdengar ramai berbahasa Cina. Wisatawan bule pun terlihat cukup mewarnai suasana, antara lain (setelah ditanya) dari Jerman dan Belanda.

Sesuai namanya, Kawah Ratu adalah kawah utama juga terbesar di lingkungan Gunung Tangkubanparahu selain dua kawah lainnya yang relatif mudah dicapai yakni Kawah Upas dan Kawah Domas. Selain terbesar, panorama kawah ini juga memang paling memesona. Karena itu, para wisatawan minat umum, umumnya hanya muter-muter di sekitar kawah ini saja.

Walaupun tampak tenang, Kawah Ratu masih aktif. Di beberapa titik di dasar kawah, asap belerang terlihat masih mengepul. Meski demikian, keberadaan dua kawah lainnya yakni Upas dan Domas, sudah pasti akan menjadi pelengkap atraksi alam Gunung Tangkubanparahu yang sayang jika dilewatkan. Namun memang, mengunjungi dua kawah terakhir ini akan memerlukan waktu dan tenaga lebih ekstra.

Kawah Upas
Usai menikmati kawah utama Tangkubanparahu, kami menuju Kawah Upas. Dari plaza Kawah Ratu jaraknya kira-kira satu kilometeran. Syukurlah, para wisatawan umumnya memang tidak berniat mengunjungi Kawah Upas, sehingga suasana di sana tidak hiruk-pikuk seperti di sekitaran Kawah Ratu. Jarak Kawah Upas dari plaza Kawah Ratu memang terlalu jauh bagi wisatawan umum yang biasanya datang ke Bandung untuk mengunjungi destinasi wisata lainnya, terlebih lagi jika membawa anak-anak. Diperlukan waktu seharian untuk mengeksplor kawasan ini. Bahkan kami pun terpaksa tidak mengunjungi sejumlah "situs" yang dituliskan dalam map karena berusaha taat waktu. Selain itu, jalur jalan menuju Kawah Upas cukup terjal. Di beberapa titik, kita bahkan tak bisa hanya mengandalkan kaki, tapi juga cengkeraman tangan. (foto kiri: menuju Kawah Upas)

Namun semua itu akhirnya bisa terbayar dengan suasana alam yang tentunya tak bisa didapat jika berpuas diri di plaza utama Tangkubanparahu saja. Kawah Ratu --kawah utama dan terbesar gunung ini-- tampak lebih ueksotis jika dipandang dari jalur menuju Kawah Upas ini. Karena memang vegetasinya —terutama yang paling dominan adalah pohon cantigi— tumbuh lebih rapat, dipadu dengan pepohonan lainnya, hingga pakis-pakisan. Binatang pun masih berani menampakkan diri di sini, antara lain tupai kecil yang bergerak sangat lincah sampai tak terkejar oleh mata. (foto kanan: bagian kering dari Kawah Upas membentuk lapangan. Hati-hati, terutama untuk anak-anak. Banyak gas solfatara di sini)

Plaza Kawah Upas adalah surga narsisme. Begitu sampai di sini, tiada lain yang dilakukan peserta adalah berfoto-foto: mulai pose loncat rame-rame, loncat sendiri (untung gak ada yang berniat loncat ke kawah), termasuk foto tradisi JAJAL GEOTREK dengan semua peserta.

Kawah Upas adalah kawah yang relatif landai. Meski tampak tidak aktif, namun justru di sini banyak bahaya gas solfatara. Kata “upas” sendiri memiliki arti “racun”. Karena itu, untuk menghindari hal-hal buruk, peserta dilarang turun ke bawah. Meskipun sebenarnya pelataran kering di bawah sana sangat menggoda untuk didatangi, demi sekedar menyusun bebatuan menjadi sebentuk kata yang menunjukkan bahwa "kami juga sudah pernah ke sini".

Kembali ke plaza Kawah Ratu, beberapa peserta yang berbobot, termasuk penulis, mulai kepayahan. Jalur kembali yang menanjak, otomatis lebih menyulitkan "gerombolat si berat".

Kawah Domas
Apakah kita akan kembali ke atas? Pertanyaan ini boleh jadi akan terlontar dari siapa saja yang pernah TURUN ke Kawah Domas dari arah Kawah Ratu. Bagaimana tidak, jalur jalan tanah menuju Kawah Domas lebar-lebar namun jarak antar tangganya curam-curam bener dan seperti tak juga berujung. Kalau turun saja repot begini, apalagi kalo harus balik lagi.

Setelah menempuh curamnya trek menuju Kawah Domas sepanjang kira-kira 3 km (padahal katanya hanya 1,2 km. Makleumlah dalam kondisi kepayahan rasanya jauuuh sekali, hehe...), kami semua beristirahat dulu di sebuah “balkon” yang berada tepat di atas Kawah Domas, di dekat sebuah warung. Sebagian peserta menyempatkan memesan minuman tradisional masyarakat Jawa Barat, bandrek. Di sini, muncul wacana-wacana sinisme para peserta Jajal Geotrek terhadap PT GRPP. Salah satu pemicunya adalah sebuah plang peringatan yang ditulis dengan bahasa entah dari planet mana. Kami pun kian khawatir jika harus menyerahkan pengelolaan Tangkubanparahu kepada yang menulis plang peringatan saja kagak becus. (foto kanan: plang "lieur")

Kawah Domas adalah atraksi berikutnya. Meski sebagian peserta memilih melamun di atas bebatuan seperti iguana sedang berjemur (padahal karena masih syok setelah melewati trek curam ke Kawah Domas), namun sebagian besar tak melewatkan kesempatan untuk merendam kaki di kolam-kolam berair panas berwarna pucat keabuan karena bercampur lumpur vulkanis. Yang lainnya sibuk merebus telur di kolam sumber utama fumarola di Kawah Domas yang bergolak, panas!!! Narsisdotcom mah sudah pasti.(foto kiri: merebus telur di lubang fumarola)

Pada waktu-waktu dengan pengunjung lebih sedikit, biasanya banyak wisatawan baik lokal maupun asing (terutama asal negeri jiran) yang menyempatkan melulur betis dan kakinya menggunakan lumpur dari kolam-kolam air panas tersebut, dengan dipandu pramuwisata-pramuwisata "lokal". Pada satu kesempatan kunjungan lain ke Kawah Domas, penulis rada prihatin (bari hayang seuri) karena para pramuwisata native ini ternyata asal ngomong saja. Misalnya mereka mengatakan kepada wisatawan-wisatawan asing ini bahwa batu mulia yang dijual oleh sejumlah pengasong, dan terkadang oleh para pramuwisata itu sendiri, berasal dari Tangkubanparahu. Sejak kapan di Tangkubanparahu ditemukan batu mulia?

Jungle Walk
Hutan antara Kawah Domas dengan perkebunan teh Hegarmanah sebenarnya sangat menarik untuk lebih diakrabi. Sayang, kami diuber-uber waktu. Meski begitu, penulis sempat menikmati senyapnya suasana di tengah hutan itu. Hanya suara cericit binatang, harum tetumbuhan, dan deru angin menghempas pepohonan dan semak belukar, yang terdengar. WOW!!! Kemewahan yang kadang tidak bisa dinikmati barang setahun sekali pun.

Jenis hutan yang panjangnya sekitar satu kilometeran ini adalah hutan heterogen. Tanaman yang nama tradisionalnya bisa diidentifikasi antara lain pakis perdu dan pakis raja, pohon lemo yang harumnya herbalis sekali, dan pada satu segmen ada yang dipenuhi pandan raksasa berduri. Sedangkan vegetasi yang jenisnya tidak dikenal oleh penulis, lebih banyak lagi. Yang pasti di hutan yg vegetasinya relatif masih asli ini tentu saja tidak ada pohon pinus seperti yang bahkan tumbuh di tebing Kawah Upas.

Dengan anehnya, ternyata para peserta menanti turunnya hujan. Mungkin karena “iklan” Jajal Geotrek III (yang saya tulis juga) menyebutkan bahwa hujan deras di tengah hutan saat survei Januari lalu, ternyata tidak semenakutkan yang dibayangkan. Memang, ketika itu pohon-pohon yang tumbuh rapat saling-silang, seolah-olah telah menjadi pelindung alami dari tetesan hujan dan hempasan angin. Namun penulis pribadi bersyukur hujan tak turun, terlebih mengingat “gaya” DR Gunawan seperti yang telah diceritakan di atas. (foto kanan: menerobos rimbunan pohon pakis yang membentuk terowongan)

Tea Walk

Sehabis menempuh rute Kawah Upas, Kawah Domas lalu jungle walk, tibalah segmen tea walk di perkebunan teh Hegarmanah. Penulis membayangkan, sebelum menjadi hamparan kebun teh, ratusan tahun lalu sebelum kedatangan Belanda, tentulah areal kebun teh ini masih hutan seperti yang baru kami lalui itu. Mungkin saat itu di kawasan ini masih terdapat banyak macan kumbang.

Perkebunan Teh Hegarmanah: saat kunjungan pertama, masih hijau lucu.
Saat kunjungan kedua, gosong! Sepertinya sedang proses peremajaan.

Cuaca berkabut dan dingin di perkebunan teh, cukup membantu penyimpanan cadangan tenaga. Sebenarnya, jarak antara ujung hutan hingga ujung perkebunan teh, tidak terlalu jauh. Namun energi para peserta, terutama pada kaki, tampaknya sudah cukup terkuras saat menuruni jalur menuju Kawah Domas. Bahkan di pertengahan jalur tea walk mulai ada peserta yang mengalami lecet-lecet pada kakinya.Jajal Geotrek III diakhiri dengan rehat kopi di sebuah resort di sisi Jalan Raya Subang-Ciater. Terlalu mewah untuk tiket Rp 120.000 per orang sebenarnya, hehehe….

Akhirnya, menjelang pukul 17.00, setelah semua peserta masuk ke dalam bus, hujan turun dengan derasnya. Keadaan lalu lintas Bandung Utara di akhir pekan ini ternyata sangat lancar. Bahkan Jalan Setiabudi, tidak semacet yang diduga. Namun kemacetan justru menghadang parah di Jalan Siliwangi, hanya tinggal sekitar satu kilometeran lagi untuk sampai di tujuan akhir kami, gerbang utama ITB di Jalan Ganesha. Untung saja hujan sudah berhenti, sehingga semua bisa pulang dengan bahagia.(*)

Bandung Voruit "Menembus" Kawah Ratu
Berkat jasa satu perkumpulan orang-orang Belanda pinter, kaya, dan baik hati bernama BANDUNG VOORUIT, Kawah Ratu G.Tangkubanparah bisa ditempuh oleh banyak orang dengan lebih mudah. Perkumpulan yang dibentuk dengan semangat Politik Etis (politik balas budi terhadap negeri jajahannya) ini lah yang membangun jalan aspal pada 1920-an, sehingga Tangkubanparahu bisa dilalui kendaraan roda empat hingga ke bibir kawah. (ruri andayani)



TammaT