Thursday, November 19, 2009

GUNUNG PADANG, NASI LIWETMU NENDANG

(lanjutan dari tulisan: Kereta Dua Gerbong yang Humoris --tp://cekunganbandung.blogspot.com/2009/09/kereta-dua-gerbong-yang-humoris.html )

DARI jalur utama Bandung Cianjur (Warungkondang), bus berbelok di suatu daerah/kecamatan yang seingat penulis bernama Gekbrong (halah!). Dari pangkal jalan ini, lokasi Situs Gunung Padang ternyata masih cukup jauh. Sebelum sampai di sana, kami menyempatkan dulu mengunjungi Terowongan Lampegan. Pada jidat terowongan ini, tertulis 1879-1882.

Sampai tahun 2006, terowongan ini sebenarnya masih selalu dilalui kereta oranye kami itu (baca artikel: Kereta Dua Gerbong yang Humoris). Namun karena di jalur antara Cipeuyeum dan Lampegan sempat mengalami longsor dan sampai saat kami datang perbaikannya masih belum tuntas, maka terowongan ini sekarang hanya dimanfaatkan warga setempat sebagai akses memotong jalan.

Anehnya, meski sudah sejak 2006 sang duplikat Si Gombar -- kereta api oranye kami itu-- tak lewat terowongan ini lagi, warga setempat masih seringkali mendengar suara “Si Gombar” menjerit-jerit, terlebih di tengah malam buta. Ah, “Si Gombar” tak rela dirinya digantikan sang duplikat.

Di tengah kemarau yang masih berat di awal Agustus 2009, kami pun beringsut dari pelataran Stasiun Lampegan menuju bus untuk segera menuju tujuan utama: Situs Gunung Padang. Saya menunggu kejutan berikutnya seperti yang dijanjikan penyelenggara tur ini: PERKEBUNAN TEH!!

Berhubung pada plang Stasiun Lampegan tertulis bahwa ketinggian stasiun itu hanya 600-an meter di atas permukaan laut, penulis berpikir lokasi kebun teh pasti masih cukup jauh. Tapi ternyata hanya beberapa menit kemudian, panorama khas kebun teh sudah terpampang. “Suejuuuk!!!” Ya iya laaah…masih di dalam bus ber-AC.

Begitu sampai si suatu persimpangan dengan satu jalan ke arah bawah, rombongan diturunkan. "Selamat Datang di Perkebunan Teh Panyairan". Kami pun siap-siap menarik napas panjang untuk menghirup udara sejuk. Tapi...… Ah…penonton (agak) kecewa! Ternyata udara di luar tak sesejuk di dalam bus. Kemarau tahun ini memang cukup kejam!! Atau mungkin posisi perkebunan teh Panyairan memang tidak terlalu tinggi. Saya menduga, ketinggiannya belum sampai 1000 meter (??).

Walau bagaimana, berjalan-jalan di antara kebun teh selalu memberi sensasi tersendiri. Meski tiba-tiba.... rute jalan mulai tak bersahabat: curam, berdebu, dan licin! Teganya! Padahal banyak peserta yang sudah berusia di atas 60 tahun. Pihak penyelenggara beralasan, "kalau gak ada acara teawalk-nya, gak seru". Iya juga sih! Untungnya, pemandangan ke arah bawah, ke suatu desa –mungkin Desa Gunung Padang— cukup menyejukan mata. Suatu desa kecil yang seolah-olah berada di antara kehijauan alam.(foto kanan: menatap bukit Gunung Padang tepat di tengah)

Lepas pukul 12 siang, sampailah kami di kaki Gunung Padang yang lebih tepat disebut bukit. Dalam keadaan letih, lelah, begah, nyorocod tu’ur (lutut bergeletar), kami disambut “nasi liwet buffet”. Masakan orang Gunung Padang enak juga --nasi liwetnya terasa nendang, senendang batu-batu andesit Gunung Padang kalau diayunkan ke pantat anda (ahaha, pis ah pren, tapi lauk-pauknya jujur, enak kok).

Setelah kenyang, secangkir (tepatnya se-gelas "belimbing") kopi susu instan panas seharga Rp 2.000, sanggup melebarkan lagi neuron-neuron di batok kepala yang sempat mengkeret akibat digempur cuaca panas. Otak nge-hang, menjadi fresh kembali. Wahai “sejuta tangga” (cuma 300-an ding), kami datang!!

Di tangga terakhir menuju puncak Gunung Padang --yang juga nyaris menyisakan napas terakhir (hehe)-- fenomena uniknya susunan batu-batu peninggalan zaman Megalitik, sanggup menepis godaan untuk duduk menggelesot pada mulusnya permukaan batu andesit terakhir yang menjadi bahan penyusun tangga. Bujangga Manik, kami telah berada di lokasi tempatmu berharap bisa bertemu dengan Tuhanmu (lihat kisah singkat perjalanan Bujangga Manik mengarungi P.Jawa di halaman 16 buku Wisata Bumi Cekungan Bandung).

Menurut Yuda Buntar, salah seorang pengelola situs purbakala Gunung Padang, di masa kakek nenek-nya, pada malam-malam tertentu di atas bukit Gunung Padang, sering terdengar suara-suara musikal, dan tempat itu menjadi terang benderang. "Kami lalu menamai bukit ini dengan Gunung Padang (gunung terang)," ujarnya. (lihat: http://www.beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_jawa&id=12211&sub=Artikel&page=16)

Sayang, kemarau Agustus berhasil menepis jauh-jauh datangnya halimun, yang sebenarnya bisa lebih menguarkan aura mistikal Gunung Padang. Kami mungkin harus menginap di atas jika ingin bertemu kabut Gunung Padang, karena menjelang sore --saat kami sudah turun-- hujan pun turun juga, meretas debu-debu halus tanah perkebunan teh Panyairan. Saat bus beranjak meninggalkan Panyairan, kabut pun turun mengantar kepergian kami untuk kemudian dihadang kemacetan parah sejak Citatah-Padalarang. Ramainya Jalan Pasteur di malam minggu, menyambut kepulangan penulis kembali di Bandung.

Jejak Bujangga Manik di G.Padang
Tawaran menikah dengan putri yang cantik pun ditolaknya. Sang Pangeran memilih memenangkan rasa ingin tahunya tentang tanah air tempatnya tinggal dan dilahirkan. Maka, dia pun memutuskan untuk melakukan perjalanan kedua, setelah perjalanan pertamanya yang kurang memuaskannya.

Bujangga Manik, adalah seorang tokoh nyata dari abad ke-17. Semangatnya untuk mengetahui bagaimana sebenarnya bumi tepatnya berpijak ini, telah melampaui insting berpikir yang ada di kepala-kepala manusia kontemporer.
Apalagi pangeran muda dari Kerajaan Pakuan, Bogor, ini pun bisa menulis. Dengan segala keterbatasan pada masanya, sang pangeran menjadikan daun-daun lontar sebagai media untuk mencatatkan kisah perjalanannya mengarungi Pulau Jawa, dengan berjalan kaki.

Dalam salah satu lontarnya yang kini tersimpan aman di Museum Bodleian, Inggris (syukurlah), Bujangga Manik berujar, dia sudah bisa “tjarek djawa” (berbicara dalam bahasa Jawa). Beliau rupanya telah berhasil mencapai tanah orang-orang yang tinggal di timur kerajaannya.

Di akhir perjalanan keduanya ini, Bujangga Manik menemukan kabuyutan. Tertulis di lontarnya, kabuyutan ini berada di hulu Ci Sokan, Cianjur Selatan. Dia menggambarkan tempat ini sebagai tempat agung yang berundak-undak. Adakah ini Situs Gunung Padang di Lampegan, Campaka, Cianjur? Sang pangeran kemudian membenahi kabuyutan tersebut dan tinggal di sana... Persiapan perjalanan terakhirnya menuju Tuhannya (Pendahuluan buku "Wisata Bumi Cekungan Bandung"). ---ruri andayani

Rombongan Tur Situs Megalitik Gunung Padang, Sabtu/15 Agustus 2009