Monday, January 19, 2015

Wow, Ada Lauterbrunnen di Rancabali



Awal 2014 lalu, saya berkesempatan mengeksplor lebih jauh kawasan perkebunan teh Rancabali, negeri jirannya Ciwidey. Jika sebelumnya hanya berhasil menjangkau lokasi terjauh bernama Rancasuni dan Sinumbra, maka kali ini bahkan melampaui Kabupaten Bandung, yakni Cianjur Selatan. Mari bertualang!!

Curug Cisabuk, Cipelah, Kecamatan Rancabali. Coba cari, mana curugnya?
Curug Staubbach, Kecamatan Lauterbrunnen (sumber foto: media.holidaycheck.com)
Bukan kabar anyar bahwa melalui Ciwidey kita bisa mencapai kawasan Cianjur Selatan. Misalnya saya sering mendengar nama pantai Cidaun yang dapat ditempuh via Ciwidey. Oooh rupanya inilah jalurnya: jalur yang jueleeek di wilayah Kabupaten Bandung, dan mulus begitu masuk Cianjur.

Zoom-in: ini dia curugnya! Di atas curug ada kebun teh.
Saking bututnya, sampai-sampai dua truk rombongan acara geowisata yang saya ikuti, truk tentara, memilih pulang ke Bandung dengan berjauh-jauh melalui Cianjur daripada balik lagi lewat Ciwidey. Sang sopir truk tak mau ambil risiko truknya yang ramping beserta isinya terguling, dan memilih buang waktu lima jam lebih lama untuk kembali ke Bandung.

Sementara itu saya dan rombongan kerabat saya yang tidak kebagian duduk di dalam truk, akhirnya membawa mobil pribadi ke sana (tadinya ini mobil bakal ditinggal di Museum Geologi; meeting point rombongan). Kebetulan mobilnya cocok; mobil kabin ganda. Dan "kebetulan" juga sebenarnya kami adalah rombongan yang digratiskan oleh panitia karena satu dan lain hal (*rahasia perusahaan). Meskipun dudukan pantat gak kebagian, tapi alhamdulillah kebagian syal, handout, dan makan siang, hehe...

Di kawasan bernama Cipelah, memang ada turunan (pulangnya tentu jadi tanjakan) curam yang oleh penduduk setempat sampai ditabur sekam supaya tidak licin. Jadi, kami pun mengamini (aamiiin!) jika truk rombongan memilih tak kembali via Ciwidey, karena saya pun yang menggunakan mobil kabin ganda sempat merasa waswas sewaktu melalui turunan tesebut.

Sinumbra
Meski begitu, di sana banyak juga bertemu warga yang menggunakan mobil-mobil biasa seperti Kijang bahkan mobil jadul seperti Hijet1000. Untuk wilayah yang pemerintahannya belum sanggup juga melayani rakyatnya secara maksimal, motor (bebek) sepertinya masih menjadi pilihan yang masuk akal. Ah sudahlah…

Belok ke Arah Sinumbra
Curug Tilu
Saat berangkat dari Museum Geologi, cuaca masih bersahabat. Namun ketika mulai masuk wilayah Kabupaten Bandung (Soreang), hujan deras tak berhenti sampai mobil tiba di Ciwidey kota. Waktu itu, tepat setahun lalu, memang masih sedang musim hujan. Tapi alhamdulillah, saat roda mulai menjejak perkebunan teh Rancabali, hujan berhenti (baru turun lagi saat perjalanan pulang selepas Ciwidey). Jadi kami dapat mengapresiasi alam dengan maksimal.

Memasuki kawasan Rancabali, kita akan bertemu jalan yang bercabang. Plang penunjuk menyebutkan bahwa lurus menuju ke Situ Patengan sedangkan belok kanan menuju Sinumbra dan Rancasuni. Maka, pilihlah jalan yang belok. Sekitar dua kilometer kemudian, jalan akan bercabang lagi: lurus ke Rancasuni, sedangkan belok kiri adalah ke Sinumbra. Lagi-lagi pilihlah jalan yang belok.

Dari mulai percabangan dengan jalan ke Rancasuni, kontur jalan terlihat menurun cukup tajam sembari berkelak-kelok. Tak lama kemudian, ada keramaian yang menyambut. Khas kawasan perkebunan teh dimana pun di Indonesia, rumah-rumah peninggalan zaman Belanda memenuhi ruang pandang. Rumah-rumah ini merupakan bekas peristirahatan para menir preanger planter; pengusaha perkebunan berdarah Eropa, atau yang kata Haryoto Kunto dalam buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” disebutnya sebagai “tukang kebun”.  

Jajan Kue Balok
Dari posisi ini, di atas atap rumah orang, Curug Cisabuk jelas terlihat.
Karena menggunakan mobil sendiri, kami jadi bisa lebih leluasa berhenti di mana pun kami suka. Di dekat pabrik teh di Desa Sinumbra, kami sempat jajan kue balok bikinan warga setempat yang masih puanas, *enyak enyak*, sekalian mencari tempat untuk “buang muatan”.

Sebelum ikut acara geowisata ini, paling jauh jarak yang pernah saya kunjungi di Sinumbra adalah sekitar satu batu besar yang diduga muntahan Gunung Patuha ribuan tahun lalu. Nah, kali ini saya berkesempatan mencapai jarak lebih jauh.

Selanjutnya, perjalanan sangat menyenangkan, dengan pemandangan hamparan kebun teh yang berpola, perdesaan yang seolah-olah jauh kemana-mana padahal desa yang hidup, dan bukit-bukit batu kapur sisa laut dangkal jutaan tahun lampau. Buat saya, pemandangan sepanjang perjalanan ini lebih mengesankan ketimbang tujuan akhirnya, Curug Citambur.

Lauterbrunnen
Seusai “trek stop” pertama di tengah kebun teh selepas Sinumbra, dimana kedua interpreter (seorang geolog dan geografer) menjelaskan fenomena kegeologian di sekitarnya, beberapa peserta minta izin pada Dicky, pemilik mobil kabin ganda, untuk ikut naik di belakang. Mereka mengambil keputusan yang benar, karena dengan menggunakan mobil biasa (bukan truk tentara yang ditutup kain terpal), seluruh pemandangan terbentang.

Jika dilihat via Goole Earth, Curug Citambur yang berada di Kab Cianjur, berada di tegakan bukit yang sama dengan Curug Cisabuk serta Curug Tilu. Dua curug terakhir berada di wilayah Kab Bandung. Nama Cisabuk tampaknya terkait dengan tegakan dinding memanjang yang bagai sabuk.
Sementara truk tertinggal jauh di belakang, kami bahkan sempat ngopi-ngopi sambil menikmati satu pemandangan yang mengingatkan saya pada Lauterbrunnen! Jika nama curug di Lauterbrunnen adalah Staubbach, curug di Cipelah namanya Cisabbuk :D.


1. Curug Cisabuk, 2. Curug Tilu, 3. Lokasi tempat kami ngopi-ngopi sambil memandangi pemandangan Curug Cisabuk dan sekitarnya. Sementara itu garis yang tampak memutih adalah Sungai Cibuni.
Lauterbrunnen adalah satu tujuan wisata di Swiss, dengan pemandangan air terjun yang jatuh dengan bebasnya dari tebing yang nyaris tegak seperti halnya di Cisabuk. Seorang teman di Facebook sempat menertawakan interpretasi saya yang memirip-miripkan kawasan ini dengan Lauterbrunnen, heheh...

Ihwal tegakan tebing di Cipelah ini, sekilas terkesan semacam hasil aktivitas sesar/patahan seperti halnya tegakan tebing di Sesar Lembang. Akan tetapi menurut interpreter geowisata, tebing Cisabuk ini kemungkinan terbentuk karena proses longsor. 

Di posisi lain ada juga air terjun lain yang lebih seperti merayapi dinding tebing. Curug ini disebut Curug Tilu, tampaknya karena garis curahan airnya ada tilu alias tiga. Lokasi kedua curug ini berada di Desa Cipelah, Kecamatan Rancabali.

Curug Citambur
Sekitar 3-4 kilometer kemudian (perkiraan kasar banget), sampailah kami di wanawisata Curug Citambur. Lokasinya berada di Desa Karang Jaya, Kecamatan Pagelaran, sudah masuk Kabupaten Cianjur. Sebagaimana lokasi wisata alam di Jawa Barat, ada kesamaan dalam beberapa hal: agak kumuh di beberapa spot, ada warung dengan tampilan seadanya, dan tidak bebas dari sampah.

Itulah mengapa saya sering kurang suka mendatangi lokasi wisata yang "sengaja dikelola” dan banyak pengunjungnya (untuk membedakan dengan lokasi wisata alam yang sulit dijangkau yang biasanya relatif masih sangat alami dan bersih seperti Curug Siliwangi di Gunung Puntang).

Setelah makan siang, panitia kegiatan geowisata memperingatkan peserta yang ingin mendekati curug agar memakai jas hujan, kecuali berniat berenang. Setidaknya, gadget harus diamankan dari cipratan air curug.

Saya tadinya malas turun. Hanya rasa takut menyesal sudah jauh-jauh datang dan belum tentu bisa kembali ke sini, yang membuat saya akhirnya ikut turun. Merasa sayang juga, sudah bawa jas hujan yang menuh-menuhin ransel, kalau lantas tak dimanfaatkan. Untuk bisa menikmati pemandangan air terun secara utuh, kita memang harus turun. Jalur turunnya curam dan licin; bokong saya pun terpaksa harus membelai mesra tanah becek.
Memang, curug ini lebih indah dilihat dari bawah. Tapi teteeep saya ogah nyemplung. Pasalnya saya membayangkan jalur pulangnya akan sulit; akan makin sulit jika dengan kondisi seperti tikus kecebur di comberan. Eeeh ternyata, jalur pulang yang disarankan sangat landai dan langsung rata menuju ke tempat parkir--menyepelekan usaha yang cukup keras untuk turun sebelumnya *meh. Hanya saja tak ada jalan kering. Ini nyaris seperti sawah; bukan jalan pun jalur. Tanahnya empuk dan “menyedot” kaki seperti mbel.

Nama Citambur diduga berasal dari suara yang dihasilkan oleh jatuhan airnya yang mirip suara tambur. Kendati begitu, ada juga yang mengaitkan dengan sejarah zaman-zaman kerajaan di mana sering terdengar pasukan kerajaan membunyikan tambur (cmiiw :D). Sumber air curug ini berasal dari Gunung Kendeng.

Dalam perjalanan pulang, kami harus berbagi kabin dengan seorang peserta lain yang masih sepupu saya dengan anaknya. Dia tidak mau melanjutkan perjalanan menggunakan truk karena harus memutar ke Cianjur. Ketika kamu sudah melaju pulang sejauh sekitar dua kilometer, salah seorang interpreter “status quo” kegiatan geowisata ini (yang kebetulan juga masih saudara saya), sampai memanggil kami kembali ke gerbang tiket agar menjemputnya. Dia memilih berhujan-hujan dan terkocok-kocok di kabin terbuka ketimbang harus menghabiskan waktu berjam-jam melalui jalur Cianjur.

Besoknya kami mendapat kabar, ketika kami sudah sampai di Bandung sekitar pukul 7-8 malam, mereka baru sampai di Museum Geologi lepas tengah malam. Wow, geowisata memang cenderung wisata minat khusus yang kadang harus penuh pengorbanan untuk berkompromi dengan alam.** 

Curug Citambur dari arah kedatangan


Rombongan tagoni mejenk sejenak untuk promo sitkom terbaru :D, dengan latar Curug Cisabuk yang tampak cuma segaris putih (foto nyomot punya Deni Sugandi dari facebook)



eng ing eeng...