MUSIM hujan, tidak menjadi halangan bagi sekitar 55 peserta “Jajal Geotrek II” untuk maju terus pantang mundur berkumpul di teras Taman Ganesa pada 28 November lalu. Geotrek yang dijajal untuk kedua kalinya ini mengambil rute Geotrek ke-9, buku Wisata Bumi Cekungan Bandung: “Menguak Kabut Kendan dan Malabar” (minus Kendan).
Meski demikian, strategi ditetapkan agar air semakin tidak menjadi halangan pada setiap langkah kami saat menapaki tanah-tanah basah pergunungan. Maka disarankanlah agar setiap peserta siap dengan jas hujan di ransel masing-masing (yang gak mau di ransel masing-masing tapi di ransel pacarnya juga boleh :D). Urutan lokasi yang dituju juga diatur agar kalau hujan mengguyur pun bukan saat berada di trek sulit.
Maka, lokasi pertama yang didatangi adalah kawasan wanawisata Gunung Puntang. Tidak lucu memang jika harus memaksakan diri menyusuri Ci Geureuh —sungai yang mengalir di kaki G.Puntang— sambil berhujan-hujanan. Padahal salah satu yang dijanjikan kepada peserta di awal, dan merupakan unsur yang paling menyedot minat, adalah bermain di jernihnya air sungai tersebut.
Menyusuri Ci Geureuh cukup membuat gentar, (setidaknya buat penulis) sebab sungainya berkontur dengan aliran cukup deras menghanyutkan, dan batu-batu tempat pijakan yang terkadang licin. Tapi ada rasa penasaran jika tidak sampai ikut bercebur-cebur-ria, mengakrabi sungai model begini yang sudah nggak bisa ditemukan lagi di dekat rumah kita. (kanan: bercebur-cebur-ria di Ci Geureuh)
Sebenarnya lebih asyik jika membiarkan saja tubuh kita basah semua, sehingga hambatan seperti takut terpeleset, tidak perlu ada. Namun, peserta umumnya tidak ingin pakaiannya basah (apalagi ini baru seperempat dari total perjalanan), sehingga licinnya batu-batu yang berserakan di Ci Geureuh mau tak mau menjadi tantangan tersendiri. Padahal, “mitigasi” juga sudah ditetapkan, yakni selain disarankan membawa jas hujan, plastik pelindung kamera atau gadget lainnya, juga pakaian ganti dan sandal jepit.
Mengamati Ci Geureuh, hati ini terpesona. Jika lingkungan masih terpelihara, air bening yang menyegarkan tak habis-habisnya digelontorkan oleh alam.
Sejarah Alam dan Sejarah Perjuangan di G.Puntang
Mengapa nama gunung ini disebut “Puntang”? G.Puntang adalah bagian dari rangkaian komplek gunung yang “menyusun” Gunung Malabar. Gunung ini dalam bahasa Sunda disebut memuntang alias menggelayuti gunung induknya yakni G.Malabar, maka jadilah namanya Gunung Puntang. Yang menjadikan kawasan ini menarik, selain pemandangannya masih indah alami —khas alam pegunungan-- juga terdapatnya situs peninggalan dari masa kolonial, yakni berupa reruntuhan gedung Radio Malabar berikut komplek perumahan para pegawainya.
Seperti dikisahkan dalam buku Wisata Bumi Cekungan Bandung, geotrek ke-9, (yang dicuplik dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya-- Haryoto Kunto) seruan “Halo Bandung, Hier Den Haag” menggema hingga daratan Eropa dari stasiun radio ini. Sehingga sempat juga beredar kabar bahwa lagu "Halo-halo Bandung" (yang penciptanya masih belum jelas) terinspirasi dari seruan ini. Belanda memang tidak pernah main-main dalam memilih dan menentukan suatu lokasi untuk keperluannya., pdahal sekarang pun lokasi ini masih cukup belantara. Bisa dibayangkan, seperti apa kondisi lokasi ini waktu itu, di masa awal abad ke-20. (Kiri atas: Bangunan Radio Malabar dengan kolam di depannya saat masih utuh di tahun 1920-an. Kanan bawah: Lokasi yang sama di tahun 2010)
Dari berbagai data dan gambar yang cukup mudah dicari dengan meng-googling di internet, dapat diketahui bahwa pada masa itu, sekitar akhir 1920-an, di lokasi ini terdapat bangunan yang besar lagi megah, yang dilengkapi sejumlah perumahan untuk para pegawainya. Bahkan menurut catatan-catatan yang ada, di gedung ini juga terdapat bioskop dan boleh jadi semacam ballroom tempat bule-bule kolonialis berdansa-dansi.
Seusai menyusuri Ci Geureuh, kami pun menyempatkan mengunjungi bekas-bekas reruntuhan Radio Malabar ini. Setelah berjalan sekitar setengah kilometer dengan menyusuri jalan setapak yang cukup menanjak, sampailah kami di suatu pelataran yang cukup luas. Kira-kira hampir dua kali lapangan sepak bola jika dihitung dengan luas sisa bangunan dan kolam. (peserta Jajal Geotrek II memasuki pelataran depan sisa-sisa reruntuhan Radio Malabar. Tampak dinding kolam yang masih relatif utuh)
Bangunan Radio Malabar yang besar dan megah itu, kini tinggal tersisa sebaris dindingnya saja. Itu pun tertutup perdu dan ilalang. Sementara dinding kolam yang berbentuk khas zaman kolonial, masih cukup utuh. Hanya di beberapa bagiannya saja yang rompal. Kolam ini dikenal dengan nama Kolam Cinta karena bentuknya seperti jantung (hati).
Tak ada sumber yang bisa menjelaskan apa penyebab hancurnya bangunan Radio Malabar.
Seperti kita ketahui, saat itu ada perintah dari petinggi militer/pejuang RI di Bandung agar rumah-rumah ditinggalkan bahkan dibakar/dibom. Begitu pulalah yang mungkin terjadi pada bangunan ini. Jika sekarang yang tersisa benar-benar tinggal puing-puing, ada pula yang berteori bahwa kemungkinan sisa-sisa bangunan ini “dijarah” oleh penduduk setempat.
Saat ini, wanawisata Gunung Puntang banyak dimanfaatkan sebagai lokasi untuk berkemah baik oleh kelompok kecil remaja maupun lembaga seperti misalnya sebagai lokasi pendidikan dasar dan outbond. Dari kaskus sejumlah orang yang pernah berkemah di dekat situs Radio Malabar, tak jarang—katanya— mereka diganggu fenomena “dunia lain”. (satu dari beberap sisa-sisa fondasi perumahan para pegawai Radio Malabar --gambar kiri)
Di posisi lebih bawah, yakni yang dekat dengan tempat parkir mobil/bus, terdapat sejumlah rumah yang tinggal tersisa fondasi dan sebagian dinding batunya saja. Pada dinding-dindingnya, pihak pengelola sengaja menempelkan plang-plang bertuliskan nama-nama mantan penghuni masing-masing rumah tersebut, antara lain rumah bekas dihuni “Mr Bijkman” dan “Mr Djukanda”. Mungkin nasib bangunan-bangunan ini juga tak ada bedanya dengan Radio Malabar. (Kolam cinta, karena bentuknya seperti jantung-hati. Lihat bagian depan kolam ini pada foto klasik di atas --gbr kanan)
Vila Bosscha dan Rumah Jerman
Gunung Puntang kami tinggalkan untuk kemudian menuju perkebunan teh Malabar-Pangalengan. Sejak terjadinya gempa bumi pada September 2009, tanda-tanda bekas terjadinya gempa masih sangat kentara. Banyak rumah yang masih belum diperbaiki, bahkan di depannya masih dipasangi tenda-tenda biru. Pelataran untuk lokasi pengungsian resmi pun masih banyak dihuni korban. (Salah satu bagian dari Vila Bosscha yang mengalami kerusakan cukup prah akibat gempa --kiri)
Bus kami beringsut menuju –apa lagi kalau bukan-- Vila Bosscha. Bukan berwisata ke Pangalengan kalau tidak mengunjungi rumah bekas kediaman pendiri peneropongan bintang Bosscha ini. Hujan pun mulai turun. Di tengah hawa dingin dan perut yang sudah nge-jazz (maklum, penulis lebih demen jazz daripada keroncong), naluri kami membawa ke koridor tempat makanan disajikan. Soto Bandung, perkedel kentang, ayam goreng, telur rebus, bacem
Seusai mengisi perut, peserta dibebaskan untuk melihat-lihat Vila Bosscha yang lumayan mengalami kerusakan parah saat terjadi gempa bumi pada bulan Ramadan lalu (September 2009). Tampaknya, Vila Bosscha sudah mulai diperbaiki. Halimun pun mulai turun.
Nasib berbeda terjadi pada Rumah Jerman. Sungguh penonton kecewa (huuuuu!!) saat menjejakan kaki di
Menurut warga yang sempat kami temui di
Meski gerimis turun dengan rapatnya dan halimun tebal menyelimuti, kami tak surut langkah untuk tetap “mengapresiasi” legacy of ashes ini, daaaan……….. mengapresiasi suasana yang romantis berkabut ini dengan berfoto-fotoria…..teteeeeeup narseees!! (ditulis maraton antara Desember 2009 - Juni 2010 --ruri andayani)
Hasil gunting-menggunting semalam suntuk ini harus berakhir di Jajal Geotrek IV :D
No comments:
Post a Comment