Tuesday, July 21, 2009

CEKUNGAN BANDUNG: KEINDAHAN YANG SARAT ANCAMAN

CITRA Cekungan Bandung hasil jepretan Inna Dewiyana salah seorang peserta “Jajal Geotrek I”, yang diambilnya dari puncak Gunung Batu, begitu mengesankan salah seorang teman facebook-nya yang berasal dari Chicago, Amerika Serikat (AS). “I wish, i was with you when you took this picture. It's so beautiful there,” tulis Jennifer Ivaska McMillan, saat mengomentari foto tersebut.



Pagi itu, sekitar pukul 10.00, di tengah kemarau Juli 2009 yang sedang merekah-rekahnya pada hari ke-12, puncak Gunung Batu - Lembang memang sedang menyuguhkan tampilan terbaiknya. Panorama Cekungan Bandung di arah selatan kami --para peserta Jajal Geotrek I-- itu, bak lukisan alam yang menyihir untuk tidak banyak-banyak memalingkan wajah ke arah lain

Satu-satunya pesaing adalah pemandangan ke arah utara, yakni ke penampakan Gunung Burangrang dan Gunung Tangkubanparahu, yang terjelas yang pernah dilihat penulis dalam beberapa kali kunjungan ke puncak Gunung Batu. Namun tak ada drama aktual yang bisa dibayangkan di sana kecuali legenda ala mitologi Yunani, Oedipus: yakni Sangkuriang yang menendang perahu setengah jadi karena cintanya ditolak sang ibu kandung. Sedangkan di bawah sana, di arah selatan, drama kehidupan manusia terkini membentang di hadapan mata: drama keindahan alam ciptaan-Nya, sekaligus keprihatinan ciptaan manusia.

Dari ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut ini, sulit diterima bahwa sehari-harinya --sebagai warga Bandung-- kami hidup dengan ditelikung kabut polusi, kabut yang sarat zat karsinogenik si pencetus kanker. Kami pun berdecak --sampai muncrat-muncrat-- demi melihat panorama pergunungan yang juga menelikung Cekungan Bandung. Di selatan sana, berjajar pergunungan, mulai G.Malabar dan G.Patuha. Menerus ke barat bisa terlihat citra G.Gede-Pangrango (Sukabumi-Bogor). Bahkan ciri strato G.Cikurai yang bagaikan piramid (pada foto di atas, tampak paling kiri), mencuat penuh pesona, mewakili Garut.

Andai berdiri di posisi sebaliknya, misalnya dari ketinggian G.Puntang yang memuntang (menggelayuti) pergunungan Malabar di posisi selatan, tentulah yang tersaji adalah hamparan pemandangan Cekungan Bandung arah utara dengan latar G.Burangrang, G.Tangkubanparahu, G.Bukittunggul, G.Palasari, G.Manglayang, dan boleh jadi G.Tampomas di Sumedang. Komplitlah sudah pesona keindahan Cekungan Bandung. Akan tetapi keindahan ini ternyata, menyimpan ancaman.

"Silent Killer"
Nyata sudah ancaman itu. Dari puncak “monumen” Patahan Lembang ini (bukit batu yang tampak pada kiri foto bawah), kian ke barat kabut polusi tampak kian kecoklatan. Kami menduga-duga --dugaan yang sangat beralasan-- bahwa semakin ke barat Bandung semakin dipadati pabrik. Tentu saja ditambah emisi gas buang kendaraan berbahan bakar fosil, yang jumlahnya semakin menyesakkan dada.

Cekungan Bandung, bekas hamparan air raksasa yang kini menjadi hamparan padatnya perumahan dan manusia, memang fenomena alam yang tiada tara. Namun, mangkuk raksasa ini sebenarnya bagaikan silent killer bagi para penghuninya. Kabut polusi yang menyaput angkasa Bandung, dan dari tahun ke tahun semakin terakumulasi, adalah alasan mengapa suhu Kota Bandung makin memanas. Sebelum Kutub Utara meleleh pun, Bandung telah menjadi contoh sempurna efek rumah kaca. Fenomena yang belakangan ditakuti Al-Gore.

Untuk jangka lebih pendek dari pemanasan global, kabut yang sarat karbonmonoksida ini bisa menjadi pencetus penyakit kanker. Untuk jangka lebih pendek lagi, smog alias smoke dan fog ini dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan akut. Dan tanpa kita sadari, emisi gas buang kendaraan (terutama lagi dari bahan bakar yang mengandung timah hitam/timbal), telah menghambat perkembangan otak anak-anak usia sekolah dasar. Walhasil, anak-anak yang terlalu sering terpapar emisi gas buang kendaraan, bisa jadi “lemot”.

Ancaman Gempa
Polusi smog adalah ancaman yang sudah bisa dibaca. Namun Bandung memiliki potensi ancaman lain, yang bisa jadi sekali datang langsung merusak dan mematikan banyak manusia. Namun, siapa pun tak bakal mengetahui kapan ancaman ini akan tiba.

Sedari awal tulisan, nama Patahan Lembang telah disebut berulangkali. Dari sini lah ancaman itu mengintip. Adanya Patahan Lembang di dekat Cekungan Bandung, sebenarnya bagaikan keberadaan lempeng Indo-Australia yang bertemu lempeng Eurasia di sepanjang pantai barat Sumatera. Kedua lempeng ini pada pada 26 Desember 2004 "bersalaman" hingga mendatangkan tsunami ke Aceh.

Meski telah berabad lamanya tidak aktif, namun Patahan Lembang adalah ancaman nyata bagi bencana gempa bumi di Kota Bandung. Dalam skala kecil, seismograf yang di tanam di puncak Gunung Batu, senantiasa mencatat adanya gerakan kerak bumi. Sejauh ini, gempa-gempa kecil itu umumnya terpicu aktivitas vulkanik G.Tangkubanparahu.

Sekedar mengingatkan kembali, Gunung Batu (bukit batu yang tampak pada kanan foto di atas) adalah bukit batu yang pada 27.000-an tahu lalu mencuat ke permukaan akibat gerakan dahsyat kerak bumi yang terpicu meletusnya G.Tangkubanparahu kala itu. Bayangkan jika patahan ini suatu saat aktif kembali, dampaknya akan sangat berat bagi kota Bandung. Sayangnya, pembangunan di Cekungan Bandung tidak didasarkan pada konsep mitigasi bencana, bahkan di masa penjajahan Belanda pun. Mungkin karena aktivitas Patahan Lembang memang teramat sangat langka. Patahan ini bergerak terakhir pada 500 tahun yang lalu dan menghasilkan gempa dengan magnitud 6,6 SR. (*)

Di Kampung Batulotjeng, tempat "berdiamnya" si jabang bayi batuloceng yang sekilas berbentuk seperti lonceng, bentuk cabe pun bagaikan lonceng. Entah ada hubungannya atau tidak dengan nama kampung ini.

Ke-46 peserta "Jajal Geotrek I", berpose dengan latar plang "Bukittunggul", seusai mengunjungi situs Batuloceng di Lereng G. Palasari yang berada di seberang G.Bukittunggul, Minggu (12/7/09). Jajal Geotrek I adalah bagian dari upaya "membuktikan" rute "Geotrek 2" yang terdapat di buku Wisata Bumi Cekungan Bandung. Kegiatan ini dipandu langsung oleh kedua penulis buku tersebut, Budi Brahmantyo dan T.Bachtiar. Kegiatan ini diselenggarakan oleh penerbit Truedee Pustaka Sejati

Menimang "Jabang Bayi", Memeluk Menhir

BIARPUN orang "bule" dikenal rasional dan sangat tidak percaya tahayul, namun Alison Victoria Thackray, tak peduli anggapan itu. Barangkali, kalau sudah berada di negeri berjuta mistisisme, siapapun akan menjadi lebih kompromis terhadap irasionalitas.

Sesampainya di lokasi tempat batuloceng disimpan, di suatu keteduhan lereng Gunung Palasari, Lembang Timur, wanita asal Inggris ini tak perlu menunggu antrian panjang para peserta "Jajal Geotrek I" untuk memutuskan "menimang" si jabang bayi batuloceng. Menurut kuncen batuloceng, Maman, ritual tersebut harus dilakukan sebelum seseorang dapat memeluk satu situs menhir bernama batukujang (??), seraya memanjatkan permintaan pada Tuhan.

Seusai menimang batu berbentuk seperti botol air galon atau sekilas seperti lonceng seberat puluhan kilogram tersebut, ibu satu anak ini pun dapat memeluk mesra menhir bernama batukujang itu, bagaikan Heydi Awuy sedang memetik harpa kesayangannya.

Batuloceng, adalah satu situs yang telah dilindungi sebagai cagar budaya, yang dianggap keramat oleh penduduk setempat di kampung bernama sama: Kampung Batuloceng. Suatu waktu, menurut penuturan Mak Emi (alm), kuncen situs Batuloceng generasi kedua, batu tersebut pernah meramalkan kedatangan Jepang ke Indonesia. Bahkan penduduk sana pun memercayai bahwa batu ini bisa meramalkan bakal terjadinya bencana gempa, semacam seismograf metafisis (lebih lanjut, lihat buku Wisata Bumi Cekungan Bandung, Geotrek 2).

Selain situs Batuloceng, di kawasan antara lereng G.Bukittunggul dan G.Palasari, lokasi dimana Kampung Batuloceng berada, juga terdapat situs Babalongan. Kesemua situs tersebut menandakan hadirnya budaya megalitik di kawasan tersebut. Adanya peninggalan budaya megalitik juga diperkuat dengan ditemukannya fenomena punden berundak. (naskah & koleksi foto: ruri andayani)