Legenda
Sangkuriang yang mengejar-ngejar Dayang Sumbi, ibu kandungnya sendiri, untuk
dinikahi, bagai mendapat kisah tambahan di salah satu segmen sungai Cikapundung
yang membelah Taman Hutan Raya (Tahura) Ir H Juanda, Dago Pakar, Bandung.
Peserta Geowisata IAGI melantai di atas lava pahoehoe |
Di lokasi yang berada di posisi
cukup curam dari trek yang menghubungkan Tahura dengan Maribaya, kira-kira 4 km
dari gerbang Tahura, dapat ditemukan selendang Dayang Sumbi yang membatu.
Seolah-olah selendang Dayang Sumbi terlepas saat berusaha melarikan diri dari
kejaran anaknya.
Tentu saja ini bukan selendang
sungguhan yang membatu, apalagi selendang Dayang Sumbi, melainkan satu bentukan
batu berbahan dasar lava basalt, berbentuk seperti selendang yang
terlipat-lipat. Oleh karena itu penduduk setempat menjuluki situs ini sebagai
Batu Karembong; karembong dalam bahasa Sunda artinya adalah seledang.
Memang menjadi menarik ketika
sejarah geologis di kawasan Bandung dan sekitarnya selalu terkait dengan
aktivitas vulkanis Gunung Tangkubanparahu yang melatarbelakangi legenda cinta Sangkuriang kepada Dayang Sumbi.
Anggaplah pada 48 ribu tahun lampau,
aktivitas Gunung Tangkubanparahu meningkat. Magma yang terkandung di dalam
perutnya termuntahkan ke luar permukaan dan mengalir ke berbagai arah. Salah satu alirannya nongol di kawasan
Tahura Juanda, tepatnya di sisi Cikapundung hulu yang mengalir membelah tahura
tersebut.
Saat acara geowisata bersama Ikatan
Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Jabar-Banten pada Minggu (16/3/14), para geolog masih
mengembangkan rekonstruksi ihwal kisah lava Pahoehoe ini; yakni bagaimana lava
ini bisa jatuh di Tahura Juanda dan membatu dalam bentuk seperti adonan kue
tersebut.
Bahkan mereka pun masih belum
terlalu yakin apakah sumber lava Pahoehoe ini berasal dari aktivitas
Tangkubanparahu atau dari gunung yang lebih tua, yakni Gunung Sunda (sekadar
informasi, dinding kawah Gunung Sunda ada di Gunung Burangrang, tepatnya di
Situ Lembang), meskipun dugaan kuat lebih ke Tangkubanparahu. Namun yang pasti
adalah, situs lava Batu Karembong ini berasal dari masa 48.000 tahun lampau.
Dari sisi sejarah geologis, fenomena
Batu Karembong ini dapat dijelaskan sebagai lava pahoehoe, bersuhu 1.000
derajat Celcius, yang karena bertemu suhu dingin seketika, maka dia membatu
dalam bentuk masih berlipat-lipat. Jika disimulasikan, lava pahoehoe ini bagai
adonan roti/kue saat dikucurkan ke dalam loyang.
Sayang, foto lava yg tanpa sayanya (hihi) raib; burem pula |
Fenomena lava pahoehoe, banyak
ditemukan di Kepulauan Hawaii, meskipun bentuknya tidak melulu sama persis.
Bentukan lava seperti ini juga umum terdapat di Islandia. Sementara untuk
Indonesia, ini boleh jadi merupakan temuan lava Pahoehoe pertama, alias belum
ada duanya di negeri ini. Secara internasional, fenomena lava pahoehoe juga
masih terbilang langka.
Pahoehoe; awalnya kata ini (saya
pikir) seperti berasal dari bahasa Sunda, semacam “patoel-toel” (saling mencolek). Akan
tetapi ternyata kata ini berasal dari negeri di mana banyak terdapat fenomena
lava berlipat-lipat ini, yakni Hawaii; dilafalkan dengan “pahoyhoy”.
Secara harfiah, makna pahoehoe adalah
“halus/mudah berjalan di atasnya”. Dalam hubungannya dengan lava, artinya
menjadi lava yang halus; encer.
Hal yang menarik adalah, karakter
lava di Indonesia sebenarnya berbeda dengan di Hawaii dan Islandia. Sehingga
para geolog—setidaknya geolog yang tergabung di Ikatan Ahli Geologi Indonesia
(IAGI) Jabar-Banten yang mengadakan geowisata ke Tahura Juanda pada 16 Maret 2014
tersebut, pun masih belum menemukan jawaban, bagaimana bentukan lava ini bisa
terjadi di Indonesia.
Menurut geolog ITB, Budi Brahmantyo,
Indonesia dikenal sebagai zona subduksi yang biasanya menghasilkan lava
andesitis yang lebih kental. Sementara itu, lava Pahoehoe merupakan fenomena
lava encer, yakni yang bersifat basaltis, yang menjadi ciri khas gunung api
seperti di Hawaii.
Sekadar informasi, lava pahoehoe
dapat dibedakan dengan jenis lava lainnya, yakni lava aa (baca: ah-ah) yang
menghasilkan batuan lebih tajam (contohnya batuan lava yang ada di Gunung
Batur, Bali), dan lava pillow yang
saat mengalir mengalami pendinginan serentak oleh air laut sehingga bagian
kulitnya langsung membeku dan membentuk bagai bantal. Ada juga lava blocky, yang ketika mengalir dia
berguling-guling.
Gara-gara Cikapundung Meluap
Lava pahoehoe di Tahura Juanda,
tersingkap ketika suatu waktu Cikapundung meluap dan menyapu bersih tumpukan
tanah bekas galian perbaikan trek Tahura Juanda-Maribaya (2008), yang menutup situs
tersebut. Kendati begitu, warga setempat sebenarnya sudah lebih lama mengetahui
adanya fenomena tersebut.
@Cikapundung. Kanan: merubung situs |
Sementara secara resmi, situs ini boleh dikatakan “baru
ditemukan” pada 2010. Saat dilaporkan pertamakali oleh “kuncen” Tahura Juanda,
Ganjar, ke Balai Arkeologi Bandung, fenomena ini disebut-sebut sebagai batu “batik”.
Kini, untuk menuju ke lokasi situs Batu
Karembong, pihak Tahura Juanda sudah membangun tangga cukup kokoh, meskipun
masih cukup curam, yang akan memudahkan pengunjung menuju lokasi situs lava
Pahoehoe. Saking curamnya, pengelola masih melengkapi tangga tersebut dengan
tali tambang.
Adanya kemudahan ini sebenarnya menyisakan kecemasan
atas kemungkinan munculnya pengunjung-pengunjung tak bertanggung jawab yang
bisa saja melakukan vandalisme. Semoga pihak berwenang dapat mencegahnya.**